Category: Akhlaq


Tips Mengontrol Kemarahan

Hudzaifah.org – Rasulullah SAW menasehati seorang sahabatnya dengan kata-kata, “Jangan marah…!” Beliau mengulanginya sampai 3 kali dan ketika ada seorang yang marah padahal Rasulullah ada bersamanya, beliau menyuruh orang itu berlindung kepada Allah dari setan yg terkutuk.

Kemarahan adalah salah satu faktor yang menyebabkan depresi dan kesedihan.

Berikut ini ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan kita:

1. Lawanlah perasaan marah itu seolah-olah kemarahan itu adalah musuh kita sendiri.

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya & memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran 3:134)

“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syura 42:37)

2. Berwudhulah, karena kemarahan itu adalah bara api neraka, ia bisa dipadamkan dengan air.

3. Jika kita berdiri duduklah, dan jika kita duduk berbaringlah.

4. Ketika kita sedang marah, tetaplah diam.

5. Ingatkan diri kita sendiri tentang pahala bagi mereka yang bisa meredam kemarahan dan suka memberi maaf.

(disadur dari buku “Don’t Be Sad” karangan DR. ‘Aidh bin Abdullah al Qarni, MA)

MediaMuslim.Info – Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.
Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)

Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.

Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”

Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:
“Bila cahaya wajah berkurang,
maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang
Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.”

Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Alloh-lah yang paling berhak kita malui?

Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus Ditumbuhkan
Pengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.

(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)

Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya.
Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Lalu bagaimana solusi bagi orang yang sudah terjerat dari hawa nafsu agar terlepas dari jeratannya? Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut :
• Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya.
• Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.
kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniaannya meminum seteguk kesabaran tersebut. Karena hakikat keberanian tersebut adalah sabar barang sesaat! sebaik-baik bekal dalam hidup seseorang hamba adalah sabar!.
• Selalu memeperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

• Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.
Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.
• Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaanya daripada kelezatan kemaksiatan.
• Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah azza wa jalla suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal). Allah berfirman : Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shaleh. (At-Taubah:120). Dan salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya dan menaklukannya (musuh kekasih tersebut).
• Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar, yaitu beribadah kepada Allah pencipta dirinya. Perkara tersebut tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.
Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabiat yang dimilikinya, hewan tahu mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang membahayakan. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya, jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau mengetahui tetapi lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik dari pada dirinya.

(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari Asbaabut Takhallush minal Hawaa oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah)

Seri Mutiara Al Hikam
Oleh Aa Gym
Syaikh Ahmad Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Al Hikam,

“Amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa) nya adalah tempat terdapatnya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan”

Bab tentang ikhlas adalah bab yang mutlak dan paling penting untuk dipahami dan diamalkan, karena amal yang akan diterima Allah SWT hanyalah amal yang disertai dengan niat ikhlas.
“Tidaklah mereka diperintah kecuali agar berbuat ikhlas kepada Allah dalam menjalankan agama”.

Oleh karenanya, sehebat apapun suatu amal bila tidak ikhlas, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan ikhlas.
Tidaklah heran seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keikhlasan.

Ciri-ciri dari orang yang memiliki keikhlasan diantaranya :

1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa,
Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya disaat dia berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena ia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu berubah tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari Allah SWT.

2.Tidak tergantung / berharap pada makhluk
Sayyidina ’Ali pun pernah berkata, orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.

3.Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
Diriwayatkan bahwa Imam Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya beliau mendapatkan kabar bahwa amalan yang besar yang pernah beliau lakukan diantaranya adalah disaat beliau melihat ada seekor lalat yang masuk kedalam tempat tintanya, lalu beliau angkat lalat tersebut dengan hati-hati lalu dibersihkannya dan sampai akhirnya lalat itupun bisa kembali terbang dengan sehat. Maka sekecil apapun sebuah amal apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan yang muncul pada selain Allah, maka akan menjadi amal yang sangat besar dihadapan Allah SWT.

4. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia
Mungkin ketika kita mengaji dilingkungan orang banyak maka kita akan mengaji dengan enaknya, lama dan penuh khidmat, ketika kita shalat berjamaah apalagi sebagai imam kita akan berusaha khusyu dan lama, tapi apakah hal tersebut akan kita lakukan dengan kadar yang sama disaat kita beramal sendirian ? apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak dan lebih khusyuk maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.

5. Tidak membedakan antara bendera, golongan, ras, atau organisasi
Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari keberadaannya dan segala aktivitasnya, namun pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi atau instansi tempat kerja itu relatif dan akan senantiasa berubah, banyak orang yang pernah dianggap sebagai pahlawan namun seiring waktu berjalan adakalanya berubah menjadi sosok penjahat yang patut diwaspadai. Maka tiada penilaian dan pengakuan yang paling baik dan yang harus senantiasa kita usahakan adalah penilaian dan pengakuan dari Allah SWT.

Begitu besar pengaruh orang yang ikhlas itu, sehingga dengan kekuatan niat ikhlasnya mampu menembus ruang dan waktu. Seperti halnya apapun yang dilakukan, diucapkan, dan diisyaratkan Rasulullah, mampu mempengaruhi kita semua walau beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu namun kita senantiasa patuh dan taat terhadap apa yang beliau sampaikan.

Bahkan orang yang ikhlas bisa membuat iblis (syaitan) tidak bisa banyak berbuat dalam usahanya untuk menggoda orang ikhlas tersebut. Ingatlah, apapun masalah kita kita janganlah hati kita sampai pada masalah itu, cukuplah hanya ikhtiar dan pikiran saja yang sampai pada masalah tersebut, tapi hati hanya tertambat pada Allah SWt yang Maha Mengetahui akan masalah yang kita hadapi tersebut.

Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan-Nya sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang ikhlas. Amiin.

Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : “Apabila Allah mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.

Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang bersum-ber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu ia menuturkan: “Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.

Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu ‘anhu telah bersabda: “Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat.” ( HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya”. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu ‘anhu mengatakan, Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta’ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dariumatku”. (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka” (HR. Al-Bukhari).

Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menu-tup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya.Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng-gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : “Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong”. (Muttafaq’alaih).

Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallaahu ‘anha di dalam haditsnya berkata: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci’. (Muttafaq’-alaih).

Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca :”Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, katrena hadits mengatakan: “Pakaialah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu …” (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).

Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.

Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: “Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah”. Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya”. (Muttafaq’alaih).

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya”. Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”. Aisyah RA menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja”. Apakah Itu? “, tanya Abubakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi keujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana”, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu ? “. Abubakar RA menjawab, “Aku orang yang biasa.” “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatang! iku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”. Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA, dan saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim . Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq. Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.

Diantara kaum kita ada yang hobi mencaci-maki. Rasulullah, jarang membalas cacian orang. Di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan
Seorang laki-laki datang menemui Abu Bakar. Tanpa ba-bi-bu lelaki tersebut mencacimaki salah seorang sahabat nabi yang sangat beliau cintai ini. Rasulullah Salallaahu alaihi wassalam yang saat itu tengah duduk di sampingnya, tampak terheran-heran sambil tersenyum melihat Abu Bakar diam saja.
Namun ketika kata makian semakin banyak Abu Bakar pun meladeninya. Rasulullah bangkit dengan wajah tidak suka dengan sikap Abu Bakar itu. Beliau berdiri dan
Abu Bakar mengikutinya.
“Ya Rasulullah, tadi dia mencaci makiku namun engkau tetap duduk. Tapi ketika kuladeni sebagian kata-katanya, engkau marah dan berdiri. Mengapa demikian ya Rasulullah?” tanya Abu Bakar.
“Sesungguhnya bersamamu ada malaikat, kemudian dia berpaling dari padamu. Ketika engkau meladeni perkataannya, datanglah syaitan dan aku tak sudi duduk bersama syaitan itu,” jawab Rasul. Kemudian beliau meneruskan nasihatnya, “Tidak teraniaya seseorang karena penganiayaan yang ia sabar memikulnya kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan dan kebesaran.” (HR. Imam Ahmad dari Abu Kabsyah Al Anmari)
Ridha
Tidak ada suatu pun kejadian, bahkan selembar daun yang terjatuh pun, melainkan sudah di dalam skenario Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu pula apa pun yang menimpa kita dalam hidup keseharian. Mulai dari peristiwa besar hingga yang kecil semua telah direncanakan oleh Allah.
Karena itu sikap orang yang beriman dalam menghadapi segala kejadian diterimanya dengan hati lapang dan ridha; sebagai hidangan dari Allah. Musibah yang secara lahiriah merugikan, bagi orang yang bersabar justru ladang mendapatkan pahala di sisi-Nya.
“Kami (Allah) akan memberikan kepada orang- orang yang berhati sabar itu pahala menurut amalan yang telah mereka kerjakan dengan sebaik- baiknya.” (Surat. An Nahl: 96)
Salah satu kejadian yang mungkin sering terjadi dalam pergaulan adalah perkataan yang tidak menyenangkan, caci maki misalnya. Agar tidak sia-sia, menghadapi hal seperti ini perlu sikap yang tepat. Sikap Abu Bakar yang mampu bersabar menahan diri dan diam saja, membuat Rasul tersenyum. Namun pada saat Abu Bakar mulai meladeni caci makian, Rasul pun menunjukkan sikap tidak menyukainya. Padahal yang dilakukan Abu Bakar hanya meladeni sebagian kata-katanya saja. Lalu bagaimana dengan sikap kebanyakan kita selama ini?
Boro-boro menahan diri. Bahkan seringkali lebih emosional dan balasan spontan yang dilancarkan justru lebih gencar dari umpan caci makiannya. Dengan muka merah dan suara marah meledak-ledak meluncurlah kata-kata yang lebih tajam lagi. Bukan hanya menjawab sebagian kata-kata, tetapi satu kata malah dibalas dengan sepuluh kata. Naudhubillah.
Sikap emosional dan kehilangan kendali seperti itu, merupakan tanda kurang ridha dengan kejadian. Kita lupa bahwa apa yang terjadi sesungguhnya merupakan kiriman Allah untuk menguji sikap kita. Saat emosional seperti itu pusat orientasi bukan lagi ingin meraih ridha Allah, tetapi sekadar melampiaskan hawa nafsu. Dar der dor yang penting terpuaskan. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana sikap Rasul andai bersama kita. Yang beliau lakukan barangkali tidak hanya bangkit dan berdiri, tapi berlari menjauh. Sebab setan yang merubung kita terlalu banyak.
Dengan menyadari bahwa tiada kejadian yang kebetulan kecuali atas kehendak Allah, hati akan ridha. Sikap inilah yang dibutuhkan agar kita tetap terkendali.
Bayangkanlah bahwa kita sedang menyaksikan episode sinetron tiga dimensi luar biasa yang diskenario oleh Allah. Nikmatilah caci makiannya seperti sedang menyaksikan bintang yang berakting di layar kaca. Bila mulai terpancing, ucapkan istighfar dan orientasikan hati pada ridha Allah, tentu akan membuat pikiran lebih tenang. Dengan suasana spiritual seperti itu malaikat yang bersama kita tetap mendampingi.
Sikap marah-marah dan emosional, justru menjerembabkan kita pada kenistaan. Maunya membela kehormatan, tetapi dengan ucapan balasan yang lebih tajam justru menunjukkan kualitas ruhani kita. Malaikat malah menyingkir dan yang datang merubung malah setan. Tidak hanya kehilangan kehormatan di depan manusia, tetapi juga di depan Allah dan Rasulnya.
Memilih
Seringkali respon tindakan seseorang ditentukan oleh keadaan. Kalau yang diterima caci maki maka reaksinya juga caci maki. “Yah, kami tidak ada pilihan lagi kecuali membalasnya. Dia telah menghina kehormatan kami, maka kami pun menghinanya untuk membela diri.” Demikian alasan yang dikemukakan.
Manusia sesungguhnya tidak semata ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Bahkan sebagian orang malah mampu mempengaruhi lingkungan.
Mereka mencairkan lingkungan yang beku, memperbaiki keadaan yang buruk. Menghadapi keadaan yang ada manusia diberi kemampuan memilih. Saat menghadapi caci maki, seorang dapat merenungkan dalam hati, apa tindakan terbaik yang ingin dilakukan; diam atau membalas.
“Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menentreramkan jiwa dan hati. Dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati.” (HR.Imam Ahmad)
Kita akan dapat memilih tindakan terbaik jika dilandasi sikap ridha. Dengan menyadari bahwa semua dari Allah akan membuat hati tetap bening dan pikiran juga jernih. Akhirnya yang muncul tindakan terpilih.
Suara hati yang mendorong nilai-nilai kebaikan tetap terdengar. Pikiran pun dapat memilih kata yang paling tepat dan lisan mengucapkannya dengan indah, tidak asal nerocos. Tentu saja akan berbeda halnya jika caci maki dihadapi dengan sikap emosional. Hati dikuasai hawa nafsu dan amarah sedangkan pikiran pun jadi kotor. Akhirnya yang mengalir di lisan adalah kata-kata kotor bahkan lebih tajam lagi.
Sebenarnya, seorang yang mencaci maki dengan kata-kata kotor tidak akan membuat orang lain rendah kecuali merendahkan dirinya sendiri. Kata-kata kotor yang keluar dari mulut, lebih menunjukkan siapa yang mengatakan dari pada siapa yang dikata-katai. Kotor kata-katanya, berarti kotor pula pikirannya. Jadi sebenarnya tanpa membalasnya, sudah cukup orang lain menilai siapa yang sesungguhnya lebih buruk itu. Tapi bila kita membalas caci makian itu dengan caci maki yang lebih tajam dan berlebihan, malah menunjukkan keburukan sisi jiwa kita. Sikap berlebihan dalam membalas itu justru membuat kita sama-sama terjerembab bersama orang yang mencaci itu.
Hikmah
Allah menghadapkan kita pada keadaan yang tidak kita senangi itu tentu ada hikmahnya. Dengan sikap ridha kita dapat menjadikan caci maki sebagai alat evaluasi diri. Tidak mudah lho melihat kekurangan diri. Dari yang dikatakan itu mungkin ada yang tidak sesuai, tapi beberapa bagian sebenarnya agak sesuai juga. Bahkan kalau mau jujur kita masih perlu bersyukur; bahwa Allah masih menutupi aib-aib kita. Apa yang dikatakan itu sebenarnya belum seberapa dari semua kekurangan kita. Dengan demikian kita terhindar dari sikap sombong dan sok sempurna. Kita tersadar merasa masih banyak kekurangan dan lebih terpacu lagi memperbaiki diri.
Dicacimaki juga memberi pengalaman tak telupakan. Ternyata kata-kata tajam itu bisa membuat hati ini terluka. Barangkali tanpa kita sadari kita pernah mencaci maki teman atau orang lain, dan kemudian melupakan begitu saja setelah melampiaskan. Padahal luka hati akibat caci maki itu sulit disembuhkan.
Nah, jika kita merasa tidak enak dicaci maki, sadarlah bahwa orang lain pun seperti itu juga. Karenanya terdorong dari pengalaman berharga itu segeralah bertobat dan mintalah maaf kepada orang yang pernah kau sakiti. Engkau tidak akan bisa menanggung beban di akhirat kelak menghadapi pengadilan Allah. Amal-amalmu habis beralih tangan pada orang lain yang kau dzalimi itu. Sedangkan dosa-dosa orang yang kau dzalimi ditimbunkan pada dirimu. Itulah orang yang bangkrut menurut Rasul.
Setelah mendapatkan hikmah yang sangat besar itu, kita pun dapat lebih berlapang dada. Caci makian yang menimpa kita itu ternyata seperti jamu. Meski terasa pahit, ternyata dapat menyehatkan jiwa. Oleh sebab itu kita perlu berlatih bagaimana sikap terbaik menghadapi caci makian agar kejadian yang diskenario Allah itu tidak sia-sia. Justru menjadi ladang kita mendapat kemuliaan dan kebesaran di sisi-Nya.
Dicontohkan dalam sejarah; kita ketahui Rasul pun tak luput mendapatkan makian bahkan lebih keras lagi. Penduduk Thaif yang diajaknya pada kebenaran tidak menyambutnya dengan baik, justru menyambutnya dengan olokan, lemparan batu dan potongan besi. Wajah, badan dan kaki beliau pun berdarah-darah. Namun yang dilakukan beliau tidak membalasnya tapi justru mendoakan; Allahummahdi qawmi. Innahum laa ya’lamuun.
”Ya Allah berilah petunjuk kaumku itu. Karena sesesungguhnya mereka tiada mengetahui.”
Caci makian tidak membuat beliau terhina, malah sebaliknya membuat namanya kian mulia dan besar. Coba bayangkan jika Rasul juga membalasnya dengan olokan emosional yang lebih tajam, tentu akan lain ceritanya.
Memang terasa sulit membayangkan. Namun bila kita menyadari hikmah yang demikian banyak di balik cacian.
Rasanya orang yang mencaci maki kita itu memang tak layak dibalas dengan cacian. Karena di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan dan kebesaran di sisi Allah yaitu dengan bersabar.
Jadi sudah selayaknya orang yang membukakan peluang kesadaran, dan kemuliaan itu kita maafkan. Bahkan kita bisa mendoakan semoga dia mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah menjadi lebih baik. Bukankah doa orang yang terdzalimi makbul? [Hanif Hannan. Tulisan ini diambil dari rubrik ’Hikmah’ majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Maraji’: http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4686&Itemid=1

Merampas dan mengambil hak orang lain dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah memancangkan pondasi-pondasi keadilan dan pembelaan bagi hak setiap orang agar mendapatkan dan mengambil haknya yang dirampas. Dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan semata-mata untuk jalan kebaikan dengan bimbingan karunia yang telah Alloh curahkan berupa perintah dan larangan. Kita tidak perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan pelanggaran hak di rumah beliau.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar kehormatan Allah Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang, maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR: Ahmad)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: “Suatu kali aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengenakan kain najran yang tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui, tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu miliki dari harta Alloh!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu mengabulkan permintaannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ketika Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas tunggangan. Beliau lantas berkata, yang artinya: Kembalikanlah selendang itu kepadaku, Apakah kamu khawatir aku akan berlaku bakhil? Demi Alloh, seadainya aku memiliki unta-unta yang merah sebanyak pohon ‘Udhah ini, niscaya akan aku bagikan kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan mendapatiku sebagai seorang yang bakhil, penakut lagi pendusta.” (HR: Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Merupakan bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah adalah berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.

Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong mereka untuk menyanggah setiap melihat orang yang keliru dan tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang berhak melakukan hal itu! Namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam yang lembut dan penyantun melarang mereka melakukan seperti itu, karena orang itu (pelaku kesalahan itu) jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih besar. Tentu saja, perilaku Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk diteladani.

Abu Hurairah radhiallahu anhu menceritakan: “Suatu ketika, seorang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid (tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas berdiri untuk memukulinya. Namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan: “Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan bukan untuk membuat kesukaran.” (HR: Al-Bukhari)

Kesabaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah layak menjadi motivasi bagi kita untuk meneladaninya. Kita wajib berjalan di atas manhaj (metode) beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa membela kepentingan pribadi.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada hari peperangan Uhud?” beliau menjawab, yang artinya: “Aku telah mengalami berbagai peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata Malaikat Jibril alaihissalam ada di sana. Lalu ia menyeruku: “Sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Alloh Subhanahu wata’ala telah mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki? jika kamu menghendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!” Beliau menjawab: “Tidak, justru aku berharap semoga Alloh Subhanahu wata’ala mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Alloh Subhanahu wata’ala semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada hari ini, sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru dalam berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya membela kepentingan pribadi yang justru hal itu merusak dakwah dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab itu, berapa banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!

Setelah bersabar dan berjuang selama bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang dicita-citakan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam sebuah syair disebutkan:
Bagaimanakah mungkin dapat diimbangi
seorang insan terbaik yang hadir di muka bumi.
Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya.
Semua orang yang mulia tunduk di hadapannya.
Para penguasa Timur dan Barat rendah di sisi-nya.

Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu anhu mengungkapkan: “Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdoa (yang artinya): “Ya Alloh, ampunilah kaumku! karena mereka kaum yang jahil.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada suatu hari ketika Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tengah melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui beliau untuk menuntut utangnya. Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang beliau sambil memandang dengan wajah yang bengis. Dia berkata: “Ya Muhammad, lunaskanlah utangmu padaku!” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu Umar Radhiallahu’anhu pun marah, ia menoleh ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya berkata: “Hai musuh Alloh, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak senonoh terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapanku!” Demi Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku!”

Sementara Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar radhiallaahu anhu dengan tenang. Beliau berkata, yang artinya: “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan dia untuk menuntut utangnya dengan cara yang baik pula. Wahai umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma.”

Melihat Umar radhiallahu anhu menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya: “Ya Umar, tambahan apakah ini? Umar radhiallahu anhu menjawab: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu!” Si Yahudi itu berkata: “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?” “Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar Radhiallahu’anhu balas bertanya. “Aku adalah Zaid bin Su’nah” jawabnya. “Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi. “Benar!” sahutnya. Umar lantas berkata: “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam ? Zaid menjawab: “Ya Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan, yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil, dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin menambah kemurahan hati-nya?” Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Alloh Subhanahu wata’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad . Umar berkata: “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam saja? sebab hartamu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad .” Zaid berkata: “Ya, untuk sebagian umat Muhammad . Zaid kemudian kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan kalimat syahadat “Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu, wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu”. Ia beriman dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR: Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan menshahihkannya).

Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar Muhammad . Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri mereka.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Suatu kali aku pergi melaksanakan umrah bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dari kota Madinah. Ketika tiba di kota Makkah, aku berkata: “Wahai Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, engkau mengqasar shalat namun aku menyempurnakan-nya, engkau tidak berpuasa justru aku yang berpuasa?” beliau menjawab: “Bagus, wahai ‘Aisyah!” Beliau sama sekali tidak mencela diriku.” (HR: An-Nasaai)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Kediaman Rasululloh
Izin telah diberikan, tibalah kita di dalam rumah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam. Cobalah layangkan pandangan sejenak ke sudut-sudut rumah, para sahabat radhiyallaahu anhum akan menggambarkan kepada kita situasi di dalamnya berupa peralatan dan perabotan dll. Kita maklumi bersama bahwa tidaklah diperkenankan melayangkan pandangan ke dalam kamar atau rumah orang lain. Namun tujuan kita di sini adalah untuk mengambil contoh dan teladan dari rumah yang mulia tersebut. Rumah dengan ketawadhu’an sebagai asasnya dan keimanan sebagai modalnya.
Dapat engkau lihat, dindingnya bersih dari gambar-gambar makhluk bernyawa yang banyak dipajang orang di rumah-rumah kebanyakan orang pada hari ini. Padahal Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, yang artinya: “Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing atau gambar.” (HR: Al-Bukhari)

Kemudian arahkan pandanganmu kepada perabotan rumah yang biasa dipakai beliau Shalallaahu alaihi wasalam sehari-hari. Diriwayatkan dari Tsabit ia berkata: Anas radhiyallaahu anhu memperlihatkan kepada kami sebuah gelas terbuat dari kayu yang tebal dan disepuh dengan besi. Ia berkata, yang artinya: “Wahai Tsabit, inilah gelas Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam .” (HR: At-Tirmidzi)

Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam biasa meminum air, nabidz, madu dan susu dengan gelas itu. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyalaahu anhu ia berkata, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam biasa bernafas tiga kali sewaktu minum.” (HR: Muttafaq ‘alaih) Yaitu bernafas di luar gelas. Beliau melarang bernafas di dalam gelas sewaktu minum dan beliau juga melarang meniup minuman. (Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits Riwayat At-Tirmidzi)

Adapun baju perang yang biasa beliau kenakan saat berjihad di medan peperangan, pada hari-hari yang keras dan penuh kesulitan, sudah tidak ditemukan lagi di rumah beliau. Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam telah menggadaikannya kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum, sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah radhiyalaahu anha. Ketika Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam wafat, baju perang itu masih ada di tangan orang Yahudi tersebut.

Beliau Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah membuat kaget keluarga atau membuat mereka takut. Namun beliau menemui keluarga dengan sepengetahuan mereka dan dengan memberi salam terlebih dahulu. (Lihat Zaadul Ma’aad II/ hal 381)

Perhatikanlah dengan saksama hadits Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam berikut ini: “Alangkah beruntungnya orang yang mendapat hidayah kepada Islam, lalu dia mencukupkan diri dengan kehidupan yang sederhana serta bersikap qana’ah.” (HR: At-Tirmidzi)

Simaklah baik-baik hadits yang agung berikut ini, yang artinya: “Barangsiapa yang aman sentosa di tengah-tengah kaumnya, sehat jasmaninya, lagi memiliki makanan pokoknya sehari-hari, maka seakan-akan ia telah meraih dunia dengan segala isinya.” (HR: At-Tirmidzi)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

MediaMuslim.Info – Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai keberanian yang mengagumkan dan tiada tandingannya dalam membela agama dan menegakkan kalimatullah Ta’ala. Beliau mempergunakan nikmat-nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang dicurahkan atas beliau pada tempat yang semestinya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah mengungkapkan hal itu dalam sebuah hadits, yang artinya: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorangpun kecuali dalam rangka berjihad di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita.” (HR: Muslim)
Di antara bukti keberanian beliau adalah kegigihan beliau dalam mendakwahkan agama Islam seorang diri menghadapi kaum kafir Quraisy dan pemuka-pemuka-nya. Demikian juga keteguhan beliau di atas keyakinan tersebut hingga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya. Beliau tidak pernah mengeluh atau berkata: “Tidak ada yang sudi menyertaiku, sedangkan orang-orang semuanya memusuhiku.” Akan tetapi beliau bersandar serta bertawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan tetap meneruskan perjuangan dakwah beliau.

Beliau adalah seorang pemberani dan sangat teguh dalam memegang dan melaksanakan pendirian. Ketika orang-orang lari bercerai berai, beliau tetap teguh bagaikan karang.

Beliau mengasingkan diri untuk beribadah di gua Hira’ selama beberapa tahun. Kala itu beliau belum merasakan gangguan dan orang-orang Quraisy pun belum memerangi beliau. Kaum kafir itu tidak menembakkan sebatang anak panah pun dari busurnya kecuali setelah beliau menyebarkan aqidah tauhid dan memerintahkan untuk memurnikan ibadah mereka kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Beliau sangat mengherankan ucapan kaum kafir sebagaimana yang difirmankan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab:”Alloh”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS: Yunus: 31)

Sementara itu mereka menjadikan berhala-berhala sebagai perantara antara mereka dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala firmankan, yang artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS: Az-Zumar: 3)

Padahal mereka juga meyakini tauhid Rububiyah, sebagaimana yang diungkapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” mereka akan menjawab: “Alloh”.

Wahai saudaraku, lihatlah praktek-praktek syirik yang bertebaran di seantero negeri-negeri kaum muslimin, seperti memohon kepada orang yang sudah mati, bertawassul dengan perantaraan mereka, bernadzar karena mereka, takut serta mengharap kepada mereka. Sampai-sampai terputus hubungan antara mereka dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala disebabkan kemusyrikan yang mereka lakukan. Mereka telah menempatkan orang-orang yang sudah mati setara dengan kedudukan Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (se-suatu dengan) Alloh, maka pasti Alloh mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS: Al-Maidah: 72)

Sekarang kita beranjak dari rumah beliau menuju gunung yang berada di sebelah utara. Itulah gunung Uhud, disitulah terjadi peristiwa besar yang menunjukkan keperkasaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan keteguhan serta kesabaran beliau atas luka yang diderita pada peperangan tersebut. Pada waktu itu wajah beliau yang mulia terluka dan beberapa gigi beliau patah serta kepala beliau terkoyak.

Sahal bin Sa’ad menceritakan kepada kita tentang luka yang diderita beliau . Ia berkata: “Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala, aku benar-benar mengetahui siapakah yang mencuci luka Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah yang menyiramkan airnya dan dengan apa luka itu diobati.” Ia melanjutkan: “Fathimah radhiyallahu ‘anha putri beliaulah yang mencuci luka tersebut, sementara Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu menyiramkan airnya dengan perisai. Namun ketika Fathimah radhiyallahu ‘anha melihat siraman air tersebut hanya menambah deras darah yang mengucur dari luka beliau, ia segera mengambil secarik tikar lalu membakarnya kemudian membungkus luka tersebut hingga darah berhenti mengucur. Pada peristiwa itu gigi beliau patah, wajah beliau terluka dan kepala beliau terkoyak lebar.” (HR: Al-Bukhari)

Al-Abbas bin Abdul Muththalib radhiallaahu anhu menceritakan kepahlawanan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peperangan Hunain. Ia berkata: “Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam justru memacu bighalnya ke arah pasukan kaum kafir, sementara aku terus memegang tali kekang bighal tersebut supaya tidak melaju dengan cepat. Saat itu beliau berkata: “Aku adalah seorang nabi bukanlah pendusta. Aku adalah cucu Abdul Muththalib.” (HR: Muslim)

Sementara itu, penunggang kuda yang gagah berani, yang sudah masyhur dan terkenal dengan kisah-kisah kepahlawanannya, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu menceritakan keberanian Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut: “Apabila dua pasukan sudah saling bertemu dan peperangan sudah demikian sengit, kamipun berlindung di belakang Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada seorangpun yang paling dekat kepada musuh daripada beliau.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah , silakan lihat di dalam Shahih Muslim III / no.1401)

Kesabaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah pantas dijadikan contoh dan teladan yang baik. Hingga akhirnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menegakkan pilar-pilar Islam dan melebarkan sayapnya di segenap pelosok jazirah Arab, negeri Syam dan negeri-negeri di seberang sungai Tigris. Hingga tidak tersisa satu rumahpun kecuali telah dimasuki cahaya Islam.

Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya aku telah mendapat berbagai teror dan ancaman karena membela agama Alloh . Dan tidak ada seorangpun yang mendapat teror seperti itu. aku telah mendapat berbagai macam gangguan karena menegakkan agama Alloh . Dan tidak seorangpun yang mendapat gangguan seperti itu. Sehingga pernah kualami selama 30 hari 30 malam, aku dan Bilal tidak mempunyai sepotong makanan pun yang layak untuk dimakan manusia kecuali sedikit makanan yang hanya dapat dipergunakan untuk menutupi ketiak Bilal.” (HR: At-Tirmidzi dan Ahmad)

Walaupun harta dan ghanimah serta perbenda-haraan dunia dari kemenangan yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau terus mengalir, namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewariskan sesuatupun kepada umatnya, tidak dinar maupun dirham, beliau hanya mewariskan ilmu. Itulah warisan nubuwat, barangsiapa yang ingin mengambilnya, maka silakan maju untuk mengambilnya dan selamat berbahagia menerima warisan yang agung itu.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dinar, tidak pula dirham, tidak meninggalkan kambing, tidak pula unta. Beliau tidak mewasiatkan harta apapun.” (HR: Muslim)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Orang-orang yang keras hati tidak akan mengenal kasih sayang. Tidak ada sedikitpun kelembutan pada diri mereka. Hati mereka keras bagaikan karang. Kaku tabiat, baik ketika memberi maupun menerima. Kurang peka perasaan, lagi tipis peri kemanusiannya. Berbeda halnya dengan orang yang dikaruniai Alloh Ta’ala hati yang lembut, penuh kasih sayang lagi penuh kemurahan. Dialah yang layak disebut pemilik hati yang agung penuh cinta. Hati yang diliputi dengan kasih sayang dan digerakkan oleh perasaan yang halus.

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR: Al-Bukhari)

Kasih sayang tersebut tidak hanya terkhusus bagi kerabat beliau saja, bahkan beliau curahkan juga bagi segenap anak-anak kaum muslimin. Asma’ binti ‘Umeis Radhiallaahu anha –istri Ja’far bin Abi Thalib- menuturkan, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam datang menjengukku, beliau memanggil putra-putri Ja’far. Aku melihat beliau mencium mereka hingga menetes air mata beliau. Aku bertanya: “Wahai Rasululloh, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja’far?” beliau menjawab: “Sudah, dia telah gugur pada hari ini!” Mendengar berita itu kamipun menangis. Kemudian beliau pergi sambil berkata: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang berita musibah yang memberatkan mereka.” (HR: Ibnu Sa’ad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketika air mata Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menetes menangisi gugurnya para syuhada’ tersebut, Sa’ad bin ‘Ubadah Radhiallaahu anhu bertanya: “Wahai Rasululloh, Anda menangis?” Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Ini adalah rasa kasih sayang yang Alloh Ta’ala letakkan di hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba yang dikasihi Allah Ta’ala hanyalah hamba yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR: Al-Bukhari)

Ketika air mata Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallaahu anhu bertanya kepada beliau: “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Ta’ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR: Al-Bukhari)

Akhlak Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam yang begitu agung memotivasi kita untuk meneladaninya dan menapaki jejak langkah beliau. Pada zaman sekarang ini, curahan kasih sayang terhadap anak-anak serta menempatkan mereka pada kedudukan yang semestinya sangat langka kita temukan. Padahal mereka adalah calon pemimpin keluarga esok hari, mereka adalah cikal bakal tokoh masa depan dan cahaya fajar yang dinanti-nanti. Kejahilan dan keangkuhan, dangkalnya pemikiran serta sempitnya pandangan menyebabkan hilangnya kunci pembuka hati terhadap para bocah dan anak-anak. Sementara Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam, kunci pembuka hati itu ada di tangan dan lisan beliau. Cobalah lihat, Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam senantiasa membuat anak-anak senang kepada beliau, mereka menghormati dan memuliakan beliau. Hal itu tidaklah mengherankan, karena beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi.

Setiap kali Anas bin Malik melewati sekumpulan anak-anak, ia pasti mengucapkan salam kepada mereka. Beliau berkata, yang artinya: “Demikianlah yang dilakukan Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam .” (Muttafaq ‘alaih)

Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam tidaklah marah, memukul, membentak dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.

Dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata, yang artinya: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam , lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR: Al-Bukhari)

Wahai pembaca yang mulia, engkau pasti mengetahui bahwa duduk di rumah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam merupakan sebuah kehormatan. Lalu, tidakkah terlintas di dalam lubuk hatimu? Bermain dan bercanda ria dengan si kecil, putra-putrimu? Mendengarkan tawa ria dan celoteh mereka yang lucu dan indah? Ayah dan ibuku sebagai tebusannya, Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam selaku nabi umat ini, melakukan semua hal itu.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menuturkan, yang artinya: “Rasululloh sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiallaahu anha, beliau memanggilnya dengan: “Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil) (Lihat Silsilah Hadits Shahih no.2141 dan Shahih Al-Jami’ 5-25)

Kasih sayang beliau kepada anak tiada batas, meskipun beliau tengah mengerjakan ibadah yang sangat agung, yaitu shalat. Beliau pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasululloh dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih)

Mahmud bin Ar-Rabi’ Radhiallaahu anhu mengungkapkan, yang artinya: “Aku masih ingat saat Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menyemburkan air dari sebuah ember pada wajahku, air itu diambil dari sumur yang ada di rumah kami. Ketika itu aku baru berusia lima tahun.” (HR: Muslim)

Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam senantiasa memberikan pengajaran, baik kepada orang dewasa maupun anak-anak. Abdullah bin Abbas menuturkan: “Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau bersabda, yang artinya: “Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: “Jagalah (perintah) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah (perintah) Alloh, pasti kamu selalu mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Alloh, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR: At-Tirmidzi)

Telah kita saksikan bersama keutamaan akhlak dan keluhuran budi pekerti serta sejarah kehidupan yang agung. Semoga semua itu dapat menghidupkan hati kita dan dapat kita teladani dalam mengarungi bahtera kehidupan. Putra-putri yang menghiasi rumah kita, selalu membutuhkan kasih sayang seorang ayah serta kelembutan seorang ibu. Membutuhkan belaian yang membuat hati mereka bahagia. Sehingga mereka dapat tumbuh dengan pribadi yang luhur dan akhlak yang lurus. Siap untuk memimpin umat, sebagai buah karya dari para ibu dan bapak, tentu saja dengan taufik dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.

Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.
Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.

Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki

Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)

Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)

Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)

Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)

Sebab-sebab Dengki

Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan sama sekali.

Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.

Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.

Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.

Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.

Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)

Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.

Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.

Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.

Terapi Mengobati Dengki

Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.

Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”

(Sumber Rujukan: Al Qur’an)

Hudzaifah.org – Khalifah Harun ar-Rasyid mengajarkan kepada al-Ashmai tentang prinsip-prinsip dan kaidah nahi mungkar terhadap penguasa (pejabat). Suatu ketika seorang dai yang tidak mengetahui sedikit pun tentang prinsip-prinsip itu mendatangi khalifah, dan menasehatinya dengan kata-kata keras dan kasar. Meskipun ar-Rasyid menyenangi para ulama dan sering duduk-duduk bersama mereka sambil mendengarkan nasehat mereka, lain halnya dengan orang yang satu ini.

Ar-Rasyid berkata kepadanya, ”Cobalah engkau berbicara dengan baik dan objektif kepadaku.”

Dai itu menjawab, ”Itu adalah yang paling minimal bagimu.”

Ar-Rasyid, ”Cobalah beritahu kepadaku siapa yang lebih jahat, aku atau Firaun?”

Sang dai, ”Firaun.”

Ar-Rasyid, ”Siapakah yang lebih baik, engkau atau Musa bin Imran?”

Sang dai, ”Musa.”

Ar-Rasyid, ”Apakah engkau tidak tahu ketika Allah SWT mengutus Musa dan saudaranya Harun kepada Firaun? Allah berpesan kepada keduanya, ”Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Sang dai, ”Ya, aku tahu.”

Ar-Rasyid, ”Itu adalah Firaun yang penuh kesombongan dan kezaliman, sementara engkau datang kepadaku dengan keadaan begitu. Aku melaksanakan kewajiban-kewajibanku terhadap Allah, aku hanya menyembah kepada Allah. Aku menaati hukum-hukum, perintah dan larangan-Nya, sedangkan engkau menasehatiku dengan nada yang keras dan kata-kata yang kasar tanpa tata krama dan akhlak. Engkau tidak akan aman dan selamat jika aku menangkapmu. Dan jika engkau telah menawarkan jiwamu, berarti engkau sudah tidak memerlukannya lagi.”

Sang dai, ”Aku telah bersalah, wahai Amirul Mukminin dan aku minta maaf.”

Ar-Rasyid, ”Semoga Allah mengampunimu.”

Kemudian khalifah memberinya uang dua puluh ribu dirham, tetapi sang dai menolak menerimanya. []

Sumber : Hikmah dalam Humor, Kisah dan Pepatah Jilid 1-6

Amanah

“Sesungguhnya KAMI telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanh itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS 33/72)

MAKNA AMANAH

1. Secara Bahasa : Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan).

2. Secara Definisi : Seorang muslim memenuhi apa yg dititipkankan
kepadanya. Hal ini didasarkan pd firman ALLAH SWT : “Sesungguhnya ALLAH
memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan2 kepada yg memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dg adil … (QS 4/58)

Maka yg termasuk amanah bukan hanya dlm hal materi atau hal yg
berkaitan dg kebendaan saja, melainkan berkaitan dg segala hal, seperti
memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dg manusia dg cara yg terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.

DALIL-DALIL SYARIAT

1. Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan
QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32.

2. As-Sunnah :

a. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat, seorang pemimpin
pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang
rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban tentang rumahtangga suaminya serta anak2nya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)

b. “Ada 4 perkara yg jika semuanya ada pd dirimu maka tdk
berbahaya bagimu apa yg terlepas darimu dlm dunia : Benar ketika berbicara,
menjaga amanah, sempurna dlm akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR
Ahmad dalam musnadnya 2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam al-Mundziri ttg hadits ini : Telah meriwayatkan Ahmad,
Ibnu Abi Dunya, Thabrani, Baihaqi dg sanad yg hasan, lih. At-Targhib wa
Tarhib 3/589)

HUBUNGAN AMANAH DG KEIMANAN

1. Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda
hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dlm diri seseorang.
Sabda nabi SAW : “Tdk ada iman pd orang2 yg tdk ada amanah dlm dirinya,
dan tdk ada agama pd orang yg tdk bisa dipegang janjinya.” (HR Ahmad
3/135, Ibnu Hibban dlm shahihnya Mawarid azh-Zham’an-47, al-Bazzar dlm
musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dlm Albani Shahih Jami’
Shaghir-7056)

2. Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yg salah satu cirinya
adalah dipegangnya amanah oleh yg orang2 bukan ahlinya dlm masalah tsb.
Sabda nabi SAW : “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah
tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra : Bagaimanakah disia-siakannya wahai
rasuluLLAH? Jawab nabi SAW : “Ketika suatu urusan dipegang oleh yg
bukan ahlinya maka tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul
Bari’ hadits no. 59 dan 6496)

3. Hilangnya Amanah Terjadi Bertahap, sbgm sabda nabi SAW :
“Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari hatinya bagaikan titik hitam,
lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah amanah tsb bagaikan
bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tdk ada lagi amanah dihatinya, dan
tdk ada lagi di hati manusia, sehingga mereka tdk menemukan lagi orang
yg amanah. Maka berkatalah sebagian mereka : Di tempat anu masih ada
seorang yg bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang : Ia tdk bisa
dipegang, tdk berakal, tdk ada dihati mereka sebesar biji sawi dari
keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)

JENIS2 AMANAH
Islam adalah agama yg sempurna, ia adalah sistem yg mencakup
IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi, POLitik, Ekonomi, SOSial BUDaya serta pertaHANan dan KeAManan). Islam tidak hanya bicara aqidah atau ibadah saja melainkan ia adalah sebuah sistem yg paripurna mencakup aqidah dan ibadah, agama dan negara, peradaban dan pedang.

Oleh karenanya maka amanah yg dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dg aturan ALLAH
SWT, dan membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dlm seluruh aspek kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada
sekutu bagi-NYA, untuk-NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.

Oleh karena itu maka amanah yg diberikan kepada manusia adalah sbb :

1. Amanah Fithrah : Yaitu amanah yg diberikan oleh Sang Pencipta
SWT sejak manusia dlm rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam
azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sbg RABB/Pencipta, Pemelihara dan
Pembimbing (QS 7/172).

2. Amanah Syari’ah/Din : Yaitu untuk tunduk patuh pd aturan ALLAH
SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yg
tdk mematuhi amanah ini maka ia zhalim pd dirinya sendiri, dan bodoh
thd dirinya, maka jika ia bodoh thd dirinya maka ia akan bodoh thd
RABB-nya (QS 33/72).

3. Amanah Hukum/Keadilan : Amanah ini merupakan amanah untuk
menegakkan hukum ALLAH SWT secara adil baik dlm kehidupan pribadi, masyarat
maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath
(ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/ berkurangan).

4. Amanah Ekonomi : Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem
ekonomi yg sesuai dg aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yg
bertentangan dg syariat serta memperbaiki kurang sesuai dg syariat (QS
2/283).

5. Amanah Sosial : Yaitu bergaul dg menegakkan sistem
kemasyarakatan yg Islami, jauh dari tradisi yg bertentangan dg nilai Islam,
menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling
menasihati dlm kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).

6. Amanah Pertahanan dan Kemanan : Yaitu membina fisik dan
mental, dan mempersiapkan kekuatan yg dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tdk dijajah oleh imperialisme kapiotalis maupun komunis dan berbagai
musuh Islam lainnya (QS 8/27).

Ya muqallibal quluub tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika…

(TSG | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)