Latest Entries »

PEMBAGIAN JIHAD

Dari jenis lawan yang dihadapi

1. Jihadun Nafsi:
Yaitu Pembinaan/Tarbiyyah manusia terhadap dirinya untuk menta’ati Allah, menolak fitnah syahwat dan syubhat, dan melaksanakan ketaatan walupun ia amat berat dan tidak disukai oleh hawa nafsunya.
Ibnul Qayyim membagi Jihadun-Nafsi ini menjadi empat martabat (bagian):
1. Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk memahami petunjuk dan Dien yang Haq.
2. Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk mengamalkan Dien yang Haq
3. Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk menyeru (Dakwah) kepada Dien yang Haq, untuk mengajari orang yang belum mengetahui.
4. Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk bersabar menghadapi kesulitan kesulitan dakwah (menyeru) kepada Allah dan bersabar menghadapi gangguan makhluk, dan juga menanggung semuanya itu karena Allah.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim mengatakan : “Jika manusia telah menyempurnakan keempat martabat ini, maka jadilah ia termasuk kedalam golongan Rabbaniyyin, karena sesungguhnya Ulama Salaf sepakat bahwa orang alim tidak berhak digelar Rabbaniy sehingga ia mengetahui Al-Haq, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu, barang siapa yang telah mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan Al-Haq, maka ia dipanggil sebagai manusia yang agung dalam kerajaan langit.
Oleh karena pentingnya jenis Jihad ini terdapat keterangan didalam hadist yang menunjukan pengertian Jihad secara ringkas dan singkat:
Fudulah bin Ubaid ra berkata : Rasulullah saw pada Hajjatul Wada’ (Ibadah Haji yang terakhir) bersabda : “ketahuilah kukhabarkan kepada kalian orang Mu’min ialah orang yang menyebabkan orang lain merasa aman baik harta maupun jiwanya, Muslim ialah orang yang orang lain selamat dari lidah dan tangannya, Mujahid ialah orang yang berjihad terhadap dirinya dalam menta’ati Allah dan Muhajir ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR Ahmad)
2. Jihadus Syaitan :
Yaitu Jihad melawan syaitan dengan menolak syahwat dan syubhat yang dilontarkan (godaan syaitan) kepada manusia.
Jihad terhadap syaitan dengan menolak syubhat yaitu dengan ilmu yang manfa’at dan warisan para nabi sehingga membuahkan keyakinan yang teguh kedalam hati. sedangkan Jihad terhadap syaitan dengan menolak syahwat dan segala keinginan yang merusak yaitu dengan perasaan takut kepada Allah dan banyak mengingat perjumpaan dengannya dan kedudukannya dihadapan Alla swt.
3. Jihadul Kuffar :
Yaitu Jihad menghadapi orang kafir dengan memerangi dan membunuh mereka, dan mengerahkan segala yang diperlukan dalam peperangan baik berupa harta, jiwa dan yang lainnya sebagaimana sabda nabi Muhammad saw :
“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan hartam, diri dan lisanmu.” (HR Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Baghawi dan Ibnu Asakir dari Anas ra)
Ia bertanya lagi : “Apakah Jihad itu? Beliau menjawab: “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau menjumpai dimedan perang.” Ia bertanya lagi : “Jihad macam mana yang paling utama?” Beliau menjawab : “Sesiapa yang dilukai anggota badannya dan dialirkan darahnya.” (HR Ahmad)
Sebagaimana telah dinyatakan dalam pembahasan pengertian Jihad bahwa lafaz Jihad fie Sabilillah dinyatakan secara mutlak maka tiada lain yang dimaksud adalah jenis Jihad ini, yaitu Jihadul-Kuffar. Oleh itu jika status hukum Jihad ini sudah menjadi fardu a’in maka kewajiban ini tidak dapat diganti dengan dakwah dan infaq atau amal-amal lainnya selain Jihad.
Adapun yang dimaksud dengan kaum Kuffar ialah Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), Majusi, Shobiah dan Non Muslim lainnya.
Ahli Kitab diarahkan untuk membuat pilihan : memeluk Islam, atau masuk jaminan kaum muslimin dengan membayar Jizyah atau Perang.
Firman Allah :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), (yaitu orang-orang) yagn diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah ayat 29)
Abu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Jika Rasulullah saw menyuruh seorang komandan perang atau sariyah, maka beliau saw berwasiat khas kepadanya agar bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan kebaikan kepada orang-orang Muslim yang bersamanya, kemudian beliau saw bersabda :
“Berperanglah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah dan janganlah berlebih lebihan, berkhianat dan mendendam. Janganlah membunuh anak kecil. Jika kamu menghadapai musuh dari kalangan orang-orang musryik, maka serulah mereka kepada tiga hal. Mana saja diantara tiga hal itu yang mereka penuhi, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhinya, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Kemudian serulah mereka agar berpindah dari daerah mereka ke daerah Muhajirin. Beritahukanlah mereka bahwa jika mereka mau melaksanakannya, maka mereka akan mendapatkan seperti yang didapatkan orang-orang Muhajirin dan berkewajiban seperti kewajiban orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk berpindah dari sana, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka seperti orang asing bagi orang-orang Muslim. Hukum Allah berlaku atas mereka seperti yang berlaku atas orang-orang Mukmin. Mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari harta rampasan perang dan Fa’i, kecuali jika mereka berperang bersama-sama orang Muslim. Jika mereka menolak hal itu maka mintalah Jizyah dari mereka. Jika mereka memenuhi seruanmu, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Jika mereka tetap menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad)
Adapun bagi kaum Kuffar lainnya selain Ahli Kitab dan kaum Murtad dari Islam, mereka diarahkan untuk memilih diantara dua pilihan : masuk Islam atau Perang.
Firman Allah :
“Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal:” Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)…(QS Al-Fath 16)
Pafa Fukaha berbeda pendapat mengenai kaum kuffar selain Ahli Kitab :
Menurut Mazhab Hanfi :
Didalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, dinyatakan : Pasal Jizyah…Jizyah dibebankan kepada Ahli Kitabm, dan Majusi, dan Wathani (penyembah berhala) yang berbangsa Ajam (bukan Arab dan bukan orang murtad). Oleh itu Jizyah tidak diterima dari Wathani yang berbangsa Arab dan dari orang Murtad. Mereka hanya disuruh memilih masuk Islam atau Perang.
Menurut Mazhab Maliki :
Didalam kitab Bulghatus – Salik dinyatakan : Pasal Jizyah : Harta yang dibebankan oleh Imam kepada orang kafir baik terhadap Ahli Kitab, orang Musyrik ataupun orang kafir selain mereka, walaupun kaum Quraisy.
Menurut Mahzab Syafi’i :
Didalam kitab A-Um, Asy-Syafi’i menyatakan : Majusi itu beragama selain agama berhala, tapi dalam sebagian agama mereka berbeda pula dengan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nashrani sebagaimana Yahudi dan Nasrani berbeda pula dalam sebagian agama mereka. Dan Majusi itu berada disatu kawasan bumi yang Ulama Salaf penduduk Hijaz tidak mengenal agama mereka sebagaimana mereka kenalnya terhadap agama Nasrani dan Yahudi. Dan Majusi itu adalah Ahli Kitab Wallahu A’lam, mereka tercakup pada satu nama Ahli Kitab bersama Yahudi dan Nasrani.
Menurut Mazhab Hambali :
Didalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan : Ahli Kitab dan Majusi diperangi sehingga mereka masuk Islam, atau mereka membayar Jizyah dalam keadaan hina, dan orang-orang kafir selain mereka diperangi hingga mereka masuk Islam.
4. Jihadul Murtaddien.
Perbuatan orang Murtad disebut Riddah.
Menurut bahasa : Riddah adalah mundur yaitu kembali dari sesuatu menuju sesuatu yang lain. jadi orang Murtad adalah orang yang kembali kepada kekafiran sesudah masuk Islam.
Menurut Syara’ : Riddah ialah kembali dari Islam kepada kekafiran. Jadi Murtad bermakna orang yang menjadi kafir sesudah memeluk Islam, baik dengan ucapan, keyakinan, keraguan ataupun dengan perbuatan. Seseorang atau sesuatu kumpulan boleh menjadi Murtad dengan melalui salah satu dari beberapa sebab berikut ini, antara lain :
1. Mempersekutukan Allah apakah melalui I’tikad, ucapan ataupun perbuatan seperti sujud kepada berhala atau berjalan ke gereja dengan fesyen orang Nashrani.
2. Mengingkari agama Islam atau satu rukun padanya, atau mengingkari satu hukum Islam yang dapat diketahui secara daruri
3. Orang yang meng’itikadkan bahwa tidak wajib berhukum denga hukum yang diturunkan Allah.
4. orang yang meninggalkan Sholat karena mengingkari kewajibannya, dan demikian pula jika ia mengingkari kewajiban sholat walaupun tidak meninggalkannya.
5. Orang yang meninggalkan sholat karena kesombongan atau kedengkian.
6. Orang yang meninggalkan sholat karena meremehkan dan memandang hina terhadap sholat
7. Orang yang meninggalkan sholat, dan berterusan meninggalkannya hingga dibunuh
8. Orang yang meninggalkan sholat karena berpaling daripadanya, ia tidak mengakui kewajiban sholat dan tidak pula mengingkarinya.
9. Dan banyak lagi yang lainnya.
Perbuatan perbuatan diatas jika dilakukan oleh seorang yang baligh serta berakal, baik laki-laki maupun wanita dan perbuatan demikian dilakukan dengan inisiatif sendiri maka perbuatan itu menjadikannya Murtad.
Hukum mengenai orang murtad ini adalah dibunuh.
Firman Allah :
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS Al-Baqarah ayat 217)
“Sesiapa yang menukarkan agamanya maka bunuhlah ia.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
“Dari Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdul Qari dari bapanya, bahwa seorang laki-laki dari arah Abu Musa Al-Asy’ari telah datang kepada Umar ra, kemudian Umar ra berkata kepadanya: “Adakah sesuatau khabar dari sebelah barat?” Ia menjawab : ” Ya…ada seseorang laki-laki menjadi kafir setelah ia memeluk islam.” Umar berkata : “Apa yang telah kalian lakukan terhadapnya?”Ia menjawab: “Kami hampiri dia kemudian ia kami bunuh.” Umar berkata: “Mengapa tidak kamu tahan selama 3 hari, kemudian kamu beri makan sepotong roti tiap harr, dan ia diminta bertaubat agar ia kembali kepada perintah Allah? ya…Allah, sesungguhnya aku masa itu tidak hadir, dan tidak menyuruh, dan aku tidak redha ketika khabar itu sampai kepadaku.” (Riwayat Imam Malik didalam Al-Muwhata, dan Asy-Syafi’i)
Mengenai hukuman bagi perempuan yang murtad, Jumhur Fuqaha sepakat bahwa ia harus dibunuh juga kecuali menurut Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ia harus ditahan masuk Islam kembali atau ditahan sampai mati.
“Telah thabit dari Abu Bakar ra : Bahwa beliau menghukum bunuh perempuan yang murtad.” (HR Darquthuni)
“Bahwa seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummu Ruman telah murtad dari Islam. Kemudian urusan itu sampai kepada Nabi, maka Nabi menyuruhnya bertaubat jika ia bertaubat maka ia bebas, sedangkan jika ia tidak bertaubat maka ia harus dibunuh.”
Apakah memerangi orang yang murtad termasuk Jihad fie Sabillah dengan makna menurut syara’?
Ya…, memerangi orang murtad termasuk Jihad fie Sabilillah dengan makna menurut syara’, karena ta’rif jihad sesuai baginya yaitu:
Memerangi orang kafir untuk meninggikan Kalimah Allah, sedangkan orang-orang murtad itu adalah orang-orang kafir dan memerangi mereka, untuk meninggikan kalimah Allah…bahkan Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni menetapkan bahwa memerangi kafir asli. Ibnu Qudamah berkata : mereka ini – yakni orang-orang Murtad – lebih berhak untuk diperangi, karena membenarkan mereka boleh jadi orang-orang seperti mereka membujuk uantuk menyerupai mereka dan murtad bersama mereka.
4. Jihadul Bughat al-Kharijin
Firman Allah :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Hujarat 9)
Sabda Nabi saw :
“Jika telah dibai’at bagi dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya.”
5. Jihadul Muhabirin al-Mufsidin
Firman Allah:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan akhirat mereka akan mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka: maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah 33-34)
Jihadul Munafiqin.
Yaitu Jihad menghadapi orang-orang munafiq dengan lisan, menegakkan hujjah atas mereka, mencegah mereka dari sikap kekafiran yang tersembunyi, menjauhkan segala permainan dan langkah-langkah mereka, dan menolak terhadap perbuatan dan perilaku mereka dsb. Dan Jihad terhadap mereka ini merupakan satu jenis dari Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. (Insya Allah uraiannya akan dibahas dalam makalah tersendiri)
Jihaduz Zalimin
yaitu Jihad terhadap orang-orang Fasik, Zalim, Ahli bid’ah dan pelaku kemungkaran. Dan Jihad terhadap mereka ini termasuk satu jenis Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. (Insya Allah uraiannya akan dibahas dalam makalah tersendiri)

Hukum Jihad itu terbagi dua : Fardu A’in dan Fardu Kifayah. Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A’in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A’in.
A. Fardu Kifayah :
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka.
Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
“Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar.” (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (QS Al-Fath 17)
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Taubah 91)
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS At-Taubah 92)
“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: “Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan.”
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun.”
Al-Qurtubi mengatakan: “Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dienullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah.”
Abu Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : “Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun.”
Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a’in.
Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, “Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad – dengan makna yang lebih umum – sebagai fardu a’in, maka beliau mengatakan : “Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a’in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya.”
Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a’in, antara lain :
“Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan.” (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)
“Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : “Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan “sebelum hari qiamat.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)
Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad.
Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.
Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a’in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan. Dibawah ini akah dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a’in.

B. Fardu A’in
Hukum Jihad menjadi Fardu A’in dalam beberapa keadaan:
1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a’in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:
“Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)

Makna Hadist ini : “Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah”
Ibnu Hajjar mengatakan : “Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam.”
2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan, maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (QS Al-Anfal 15)
“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS Al-Anfal 16)
Rasulullah saw bersabda : “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, “Beliau saw ditanya: “Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu’minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina).” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).
3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.
Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi fardu ain bagi penghuni wilayah tst. Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.
Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : “Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.

Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan : “…Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.
Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya.
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Dan juga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.
Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi’i) mengatakan : “Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan.
Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan :”Jihad menjadi fardu ‘ain didalam 3 keadaan:
a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan.
b. Apabila orang kafir telah masuk (menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka.
c. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajib berangkat.
C. Hukum Jihad pada masa sekarang.
Dari keterangan diatas kita memperoleh gambaran bahwa hukum jihad berubah ubah sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi.
Timbul pertanyaan : Apakah hukum jihad pada masa sekarang ini? Apakah fardu ‘ain atau fardu kifayah?
Ketetapan jumhur ulama bahwa hukum jihad itu fardu kifayah adalah fatwa mereka bagi kaum muslimin dalam keadaan khilafah Islamiyyah masih tegak, itupun dengan menetapkan pula adanya kondisi yang boleh menyebabkan berubahnya hukum jihad dari fardu kifayah menjadi fardu ‘ain.
Sekarang keadaanya lain, bumi sudah berubah, situasi dan kondisipun telah berubah dengan lenyapnya kekuasaan Islam, dan khilafah Islamiyah. Keadaan seperti ini mewajibkan kita untuk meninjau kembali pokok masalahnya.
Abu Ibrahim Al-Misri menyatakan : “Kita mulai dengan ta’rif dua istilah ini
Fardu ‘Ain : Yaitu kewajiban yang zatiah dibebankan kepada setiap muslim.
Fardu Kifayah : Yaitu perintah yang ditujukan kepada kaum muslimin secara umum, jika sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka berdosalah semua kaum muslimin.
Bertitik tolak dari fardu kifayah, membuahkan pertanyaan kepada kita tetapi jawabannya kita tangguhkan : Apakah perintah dalam urusan kita dan apakah tujuan jihad kita? Pertanyaan tidak sempurna melainkan ditambah dengan pertanyaan lainnya : Apakah tujuan Jihad itu akan tercapai dengan hanya melibatkan sebagian kaum muslimin atau tidak?…Sesungguhnya fatwa yang ringkas dan jalan pintas bagi menetapkan hukum mengenai masalah ini, saya katakan:
Dengan mentakhrij pada usul fuqaha dan syarat-syarat yang ditetapkan mereka, orang muslim itu tidak dapat menyatakan melainkan bahwa telah terjadi Ijma para Fuqaha umat Islam bahwasannya Jihad itu adalah fardu ‘ain pada zaman kita sekarang ini. Berbagai keadaan yang menetapkan jihad menjadi fardu ‘ain telah terkumpul pada zaman ini, bahkan telah berlipat ganda dengan sesuatu yang tidak terlintas dalam benak salah seorang mereka sekiranya ia tidak meninggalkan kesan di tengah-tengah penyimpangan dari hukum ini.
Imam Qurtubi bekata : “Setiap orang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuhnya, dan ia mengetahui bahwa musuhnya itu akan dapat mencapai mereka sementara ia pun memungkinkan untuk menolong mereka, maka ia harus keluar bersama mereka (menghadapi musuh tsb)
Imam Ibnu Taimiyyah berkata : “Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menolak musuh itu menjadi wajib atas semua orang yang menjadi sasaran musuh dan atas orang-orang yang tidak dijadikan sasaran mereka.
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan – hampir saja jiwa ini binasa karena kesedihan terhadap mereka
“Siapakah diantara kita yang tidak dituju dan tidak dijadikan sasaran makar (rencana) para pembuat makar. Belahan bumi yang manakah sekarang ini yang selamat dari permainan para pembuat bencana? Hamparan tanah yang manakah sekarang ini yang diatasnya panji Khilafah dan Kekuatan Islam ditinggikan? Jika engkau tidak tahu maka tanyalah bumi ini, ia akan menjawab sambil mengadukan kepada Rabbnya kezhaliman para Thogut dan sikap masa bodo’ nya kaum muslimin sesama mereka sendiri…maka adakah benar perbantahan orang-orang yang bermujadalah bahwa jihad itu fardu kifayah, bukan fardu ‘ain?”
Kami ingin keluar dariapda perselisihan dan mengakhiri perbantahan, maka kami katakan : Apakah tujuan yang dituntut di dalam kewajiban Jihad atas pertimbangan bahwa sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka kewajiban itu gugur dari yang lain? Serahkan jawabannya pada Fuqaha kita…
Al-Kasani berkata : “Yang mewajibkan jihad ialah : Dakwah kepada Islam, meninggikan Ad-Dien yang hak, dan menolak kejahatan orang-orang kafir dan pemaksaan (paksaan) mereka.”
Imam Ibnul Hammam mengatakan : “Sesungguhnya jihad itu diwajibkan hanyalah untuk meninggikan Dienullah dan menolak kejahatan manusia. Maka jika tujuan itu berhasil dengan dilaksanakannya oleh sebagian kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, sama halnya seperti sholat jenazah dan menjawab salam.”
Kami memohon ampun kepada Allah karena kami tidak patut mendahului Allah dan Rasul-Nya. sesungguhnya Allah telah menerangkan jauh sebelum ini dan selanjutnya telah dirinci (dijelaskan) pula oleh Rasulullah saw mengenai tujuan jihad yang dimaksud ini.
“Perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah..” (QS Al-Anfal 39)
“Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad dan Tabrani)
“Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali sebab haknya (mereka melakukan pelanggaran); sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah.” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Adakah Fitnah telah sirna? Adakah kejahatan, pemaksaan dan penguasaan orang- orang kafir telah sirna(hilang) dan semua agama itu semata-mata untuk Allah?
Maka bukan dipandang dari segi fardu ‘ainnya jihad yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dan bukan pula dari segi fardu kifayahnya, sejumlah kaum muslimin telah lupa/malas/enggan berjihad sehingga mencapai kejayaan dan kekuasaan yang sangat minim (kecil) bagi kaum muslimin, yaitu berpuluh puluh tahun mereka tetap berada dalam kerendahan, kehinaan, dan dibawah pemaksaan musuh serta dalam keadaan tertindas.
“Maka kemanakah kalian hendak pergi? Al-Qur’an itu tiada lain sebagai peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.”
Dan sekiranya dalam kondisi gelap gulita yang mengancam umat secara individu dan kelompok ini, hukum jihad tidak menjadi fardu ‘ain, maka bilakah tujuan itu akan dapat tercapai? Adakah ia akan wujud seperti hidangan yang turun dari langit, yang pada hidangan itu ada mangkok Khilafah yang berisi ketentraman dan pertolongan rabbmu, serta berisi kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin lainnya? Ataukah sekiranya hidangan yang turun itu terlambat, hukum jihad akan menjadi fardu ‘ain setelah musuh merampas negeri kaum muslimin, dan setelah perlengkapan untuk memikul agama ini sempurna? Padahal kita tahu bahwa Allah itu Maha Benar lagi Maha Menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.
Manakah toifah yang berperang untuk membela Dien ini, yang tidak akan dimudaratkan oleh orang yang menyalahinya dan oleh orang yang meremehkannya?
Manakah Rub’i bin Amir yang mengatakan :
“Allahlah yang telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia menuju penghambaan terhadap rabb seluruh manusia, dari kezhaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat.”
Manakah fuqaraul Muhajirin yang (mereka telah diusir dari kampung halaman dan harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan karena menolong Allah dn Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yagn benar)?
Dan diantara ujian buruk dan lucu, ada seorang syaikh yang terhormat ditanya oleh salah seorang muridnya dalam keadaan kerhormatan kaum muslimin tengah dirusak dan bumi mereka tengah dirampas. Murid itu bertanya tentang kewajiban Jihad, kemudian ia menjawab: “Fardu Kifayah.” Kemudian ia melanjutkan pertanyaan :”Bilakah Jihad menjadi Fardu ‘ain?” Ia menjawab:”Ketika musuh memasuki negeri kita.”
Maka salah seorang syaikh mujahid memberikan komentar dengan mengatakan : “Maha suci Rabbku, adakah ayat-ayat yang diturunkan tentang Jihad dan tentang mempertahankan bumi kaum muslimin dengan menetapkan hanya sebidang tanah ini? Bukan bumi Allah yang luas?”
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan: “Mungkin syaikh kita ini belum membaca apa yang dikatakan oelh Ibnu Taimiyyah tentang itu.”
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Apabila musuh telah memasuki negeri-negeri Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa mempertahankannya adalah wajib atas orang-orang yang paling dekat, kemudian atas orang-orang yang terdekat berikutnya. karena pada hakikatnya kedudukan seluruh negeri-negeri Islam itu adalah satu negeri. Dan sesungguhnya berangkat ke negeri tersebut adalah wajib hukumnya, tanpa perlu izin orang tua dan orang yang berpiutang. Dan nash-nash dari Imam Ahmad dalam hal ini sangat jelas.
Dan diantara perkara yang menambah sakit dan kerugian seseorang itu jika dia tidak pernah mengetahui keadaan kaum muslimin, kehinaan mereka, dan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak dan kehormatan mereka baik dibarat maupun di timur. Itu adalah musibat, karena sesungguhnya orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin tidak mungkin dia akan termasuk dalam golongan kaum muslimin. Dan sekiranya kamu mengetahui tapi tetap berdiam diri maka musibat itu jauh lebih besar lagi.
Kesimpulannya : Mesti diketahui bahwa yang dimaksud dengan fardu kifayah yang jika dilaksanakan oleh sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, keadaan kelompok tersebut haruslah memadai untuk melaksanakannya sehingga gugur kewajiban bagi yang lain. Dan bukanlah yang dimaksud hanya sekelompok saja yang tampil/turun melaksanakannya tetapi tidak memadai(mencukupi).
Oleh itu tidak benar pengguguran kewajiban jihad dari semua kaum muslimin dengan tampilnya sekelompok pelaksana pada sebagian bumi walaupun ia mencukupi ditempat tersebut, sedangkan pada bagian-bagian bumi lainnya panji kekufuran tegak dengan megahnya. Maka kaum muslimin yang berdekatan dengan kawasan-kawasan tersebut wajib berjihad menghadapi orang-orang kafir itu sehingga dapat menguasai mereka. Dan demikianlah seterusnya hingga tercapai keadaan yang mencukupi (memadai)
Di dalam hasyiyah Ibnu Abidin, ia berkata : janganlah kalian menyangka bahwa kewajiban jihad itu akan gugur dari penduduk India dengan sebab jihad itu dilaksanakan oleh penduduk Rum, misalnya. Bahkan sebenarnya jihad itu wajib atas orang yang terdekat kepda musuh, kemudian atas orang yang terdekat berikutnya sehingga terjadilah keadaaan yang memadai. Maka sekiranya keadaan yang memadai itu tidak dapat wujud melainkan mesti dengan mengerahkan semua kaum muslimin, maka jihad menjadi fardu ‘ain seperti sholat dan puasa.
Orang yang memperhatikan keadaan kaum muslimin dan orang-orang kafir pada zaman sekarang ini tentu ia akan mendapatkan bahwa jihad adalah fardu ‘ain atas setiap muslim yang mampu, bukan fardu kifayah.
Ini disebabkan karena sebagian kelompok kaum muslimin yang melaksanakan jihad menghadapai orang-orang kafir dibeberapa tempat, mereka tidak memadai utnuk mencukupi keperluan di tempat-tempat lainya yang di situ musuh tengah menyerbu kaum muslimin ditengah-tengah kampung halaman mereka sendiri, sementara ditempat itu tidak ada kelompok yang bangkit melaksanakan kewajiban jihad untuk menghadapinya.
Berdasarkan keterangan di atas sungguh terang dan jelas bagi kita bahwa hukum jihad pada masa sekarang ini adalah FARDU ‘AIN.

Diantara hal yang membuat hati kaum Mukminin tenteram dan karenanya mereka semakin yakin ialah; bahwa negeri yang menjadi tempat berkumpulnya bebagai macam suku Yahudi Dunia, yang kemudian secara zalim dan bathil dinamakan negara Israel, adalah negara yang akan musnah dan terhapus dari muka bumi. Kita tidak katakan tanggal sekian dan tanggal sekian seperti yang dilakukan secara tidak benar oleh sebagian orang yang memiliki semangat menggebu.

Bisa jadi waktunya akan datang sebelum ramalan mereka jatuh tempo, dan itu tidak sulit bagi Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala. Tetapi, bisa jadi (waktunya akan datang) jauh sebelum itu. Wallohu A’lam.
Firman Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala, yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Rabb-mu kecuali Dia sendiri” (QS. Al-Muddatstsir: 31). Tidak ada yang mengetahui kecuali Dia Yang Maha Tahu dan Maha Waspada.

Karena itulah ada tokoh politik (Muslim) konteporer yang mengatakan: Sesungguhnya perdamaian kita bersama Yahudi hanya semata-mata perdamaian politis, bukan keyakinan.

Sesunguhnya ada beberapa riwayat hadits Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam yang shahih dan tegas, bahwa petempuran besar (melawan bangsa Yahudi-pen) akan terjadi, pasti. Dan bahwa kalimat Tauhid pasti akan mengalahkan orang-orang Yahudi tersebut, baik majikan-majikan maupun budak-budaknya (para pemimpinnya maupun pengikut-pengikutnya -pen).

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallaahu anhu, sesungguhnya Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Kalian akan memerangi bangsa Yahudi sampai seseorang di antara mereka bersembunyi di belakang batu. Maka batu itu berkata : Wahai hamba Alloh, ini di belakangku ada Yahudi, bunuhlah!.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Tidak akan terjadi hari kiamat sebelum kaum Muslimin memerangi orang-orang Yahudi. Kemudian kaum Muslimin membunuh mereka sampai orang Yahudi bersembunyi di belakang batu atau pohon. Maka batu -atau- pohon itu berkata :” Wahai Muslim, wahai hamba Alloh, ini di belakangku ada Yahudi, kemarilah lalu bunuhlah”. Kecuali pohon Gharqad (sebuah pohon berduri yang dikenal dikalangan bangsa Yahudi), sesungguhnya Gahrqad itu adalah salah satu pohon bangsa Yahudi.”

Dua riwayat di atas adalah riwayat paling kuat dan paling shahih yang di satu sisi menjelaskan pasti dan benar-benarnya kejadian perang melawan Yahudi, sedangkan di sisi lain menjelaskan tentang yakin (pasti)nya kemenangan di tangan kaum Muslimin.

Riwayat tersebut -segala puji bagi Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala-, dan dengan taufiq-Nya amat sangat jelas, jelas dan jelas. Tidak perlu komentar dan tidak membutuhkan keterangan.

Dalam dua nash di atas terdapat berbagai petunjuk yang bersifat ajaran, yang paling menonjol di antaranya adalah dua hal:
• Berkaitan dengan awalnya, yaitu perkataan Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam kepada para sahabat: Kalian pasti akan memerangi (orang Yahudi). Sabda ini memberi petunjuk yang tegas bahwa masa depan hanya untuk Islam saja -bi idznillah-.
• Berkaitan dengan akhirnya, yaitu sabda Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam ketika menceritakan perkataan pohon atau batu: Wahai Muslim, wahai hamba Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala!. Kisah ini menunjukkan bahwa manhaj Tarbawi Ishlahi (pola pendidikan yang bertujuan perbaikan) yang tegak berdasarkan realisasi tauhid dan peribadatan adalah betul-betul memiliki kesiapan untuk menegakkan syari’at Alloh Ta’ala di muka bumi dan untuk memulai kehidupan baru dengan kehidupan Islami yang sesuai dengan pola kenabian.
Di sana ada riwayat lemah -dari berbagai periwayatan- yang tersebar di tengah-tengah masyarakat dan bergulir di kalangan orang-orang khusus dan orang-orang awam, yang wajib diungkap dan dijelaskan (yaitu): Riwayat Ibnu Sa’d dalam Tahabaqatnya VII/422, Al-Bazzar dalam Musnadnya IV/138, Az-Zawaid, Ibnu Abi Ashim dalam Al-Ahad wa Al-Matsani 2458, dan lain-lain, dari Nahik bin Shuraim As-Sakuni, bahwa Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Musyrikin sampai akhirnya sisa-sisa (pasukan) kalian akan memerangi Dajjal di sekitar sungai di Urdun (Yordan), kalian di sebelah timurnya dan mereka di sebelah baratnya. Perawinya berkata: Saya tidak tahu di bumi sebelah manakah Urdun (Yordan) pada waktu itu”

Hadits ini sanadnya dha’if, di dalamnya terdapat Muhammad bin Aban Al-Qurasyi. Abu Dawud, Ibnu Ma’in, Al-Bukhari dan imam-imam lain mendha’ifkan (melemahkan)nya. Ulama Umat, ‘Allamah, Imam, lautan ilmu, Syaikh Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani -semoga Alloh Ta’ala melimpahkan rahmat kepadanya- telah mengeluarkan hadits tersebut secara rinci dalam kitab karyanya yang mengagumkan: Silsilah Al-Hadits Adh-Dha’ifah III/460-461. Beliau menjelaskan kelemahan hadits itu, kemudian beliau Rahimahullah berkata: Saya tulis hadits ini setelah banyak pertanyaan mengenainya, bertepatan dengan pendudukan bangsa Yahudi di tepi barat Yordania pada awal bulan Haziran (Juni) tahun 1967M. Semoga Alloh menghinakan dan merendahkan mereka serta membersihkan negeri ini dari mereka dan dari pendukung-pendukungnya.

Syaikh Ali Hasan berkata: “Saya aminkan do’a beliau Rahimahullah di atas, sambil saya jelaskan bahwa sebab penulisan makalah ini adalah karena pembantaian, pengusiran serta perusakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi semenjak kurang labih tiga bulan yang lalu (dihitung sejak Syawal 1421H) terhadap saudara-saudara kita kaum Muslimin di Palestina yang terjajah. Hanya Alloh-lah yang dapat memberikan pertolongan.

(Sumber Rujukan: Majalah al-Ashalah edisi 30/Th.V/15 Syawal 1421H, diterjemahkan secara bebas oleh Suparlin Abdurrohman)

Oleh: Hafiz Firdaus Abdullah

1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi.
2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if
3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if:
• Ulasan kepada syarat pertama
• Ulasan kepada syarat kedua.
• Ulasan kepada syarat ketiga
4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan
5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal

Setiap kali ketibaan bulan Rejab, timbul perbincangan di kalangan orang ramai berkenaan beberapa amalan yang khusus kerananya seperti puasa sunat Rejab, solat sunat malam tertentu bulan Rejab dan sebagainya. Di satu pihak terdapat mereka yang mengatakan tidak ada apa-apa amal ibadah yang khusus dengan bulan Rejab kerana semua hadis yang menganjurkan ibadah tersebut adalah tidak sahih. Di pihak yang lain mereka membolehkan pengamalan ibadah-ibadah tersebut dengan hujah hadis yang tidak sahih – yakni hadis-hadis dha‘if – boleh digunakan dalam keutamaan beramal.

Dalam risalah ini penulis akan cuba mengupas isu beramal dengan hadis yang dha‘if. Kupasan bersifat umum tanpa terhad kepada amalan bulan Rejab sahaja kerana terdapat banyak lagi amalan kita di Malaysia yang disandarkan kepada hadis-hadis yang dha‘if.

Kata-Kata al-Imam al-Nawawi

Kebanyakan orang yang membolehkan penggunaan hadis dha‘if menyandarkan hujah mereka kepada kata-kata al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):[1]

Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if dalam bab keutamaan (al-Fadha’il), memberi anjuran (al-Targhib) dan amaran (al-Tarhib) asalkan ianya bukan hadis maudhu’.

Adapun dalam bab hukum-hakam seperti halal dan haram, jual-beli, penceraian dan apa-apa lain yang seumpama, tidak boleh beramal dengan hadis dha‘if kecuali dengan hadis yang sahih atau hasan. Melainkan jika hadis-hadis tersebut bersangkutan dengan sikap berhati-hati terhadap bab-bab tersebut, seperti hadis dha‘if yang menyebutkan makruhnya hukum melakukan sebahagian bentuk jual-beli atau pernikahan, maka disunatkan untuk menghindari daripadanya (yang makruh tersebut) namun ia tidak jatuh kepada hukum wajib.

Ada yang menerima kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas sebulat-bulatnya, bahkan menganggap mudah bahawa pengamalan hadis dha‘if diperbolehkan asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Sebenarnya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh seseorang sebelum dia boleh mengamalkan hadis dha‘if. Syarat-syarat ini juga diketahui dan dipegang oleh al-Imam al-Nawawi, hanya beliau tidak menggariskannya dalam kitabnya al-Azkar kerana kitab tersebut bukanlah kitab ilmu hadis tetapi kitab yang dipermudahkan untuk menjadi amalan orang ramai. Hal ini seperti yang disebutkan sendiri oleh al-Imam al-Nawawi di bahagian muqaddimah kitab al-Azkarnya tersebut.

Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if

Dalam kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas, beliau menyebut bahawa: “Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if……” Kata-kata di atas sebenarnya bukan mencerminkan pandangan ijma’ tetapi jumhur ilmuan Islam. Hal ini diterangkan oleh al-Hafiz al-Sakhawi rahimahullah (902H):[2]

……bahawa dalam pengamalan hadis dha‘if terdapat tiga pendapat: (yang pertama adalah) tidak dibolehkan beramal dengannya secara mutlak, (yang kedua adalah) boleh beramal dengannya jika dalam bab tersebut tidak ada yang selainnya (tidak ada hadis yang sahih atau hasan) dan yang ketiga – ini merupakan pendapat jumhur – boleh beramal dengannya dalam bab keutamaan asalkan bukan dalam bab hukum-hakam sepertimana yang telah disebutkan sebelum ini akan syarat-syaratnya.

TOP

Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if.

Sepertimana yang dikatakan oleh al-Hafiz al-Sakhawi di atas, jumhur ilmuan membolehkan penggunaan hadis dha‘if dalam bab keutamaan beramal selagi mana diperhatikan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh beliau seperti berikut:[3]

Saya mendengar guru kami rahimahullah (yakni al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, 852H) selalu berkata, bahkan telah mencatitkannya dengan tulisannya untuk saya bahawa syarat pengamalan hadis dha‘if ada tiga:

1. Yang disepakati, bahawa kelemahan hadis tersebut tidak berat. Maka terkeluarlah apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta atau dituduh sebagai pemalsu hadis serta yang parah kesalahannya.

2. Bahawa ianya mencakupi asas umum (agama). Maka terkeluarlah sesuatu yang diada-adakan kerana tidak memiliki dalil asas yang mengasaskannya.

3. Bahawa ia diamalkan tanpa berkeyakinan ia adalah sabit (daripada Nabi), agar tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang tidak disabdakan olehnya.

Seterusnya marilah kita mengulas lanjut tiga syarat di atas.

Ulasan kepada syarat pertama

Hadis dha‘if yang diperbolehkan penggunaannya ialah hadis yang ringan kelemahannya. Maka dari sini dapat kita ketahui bahawa setiap hadis yang ingin digunakan, sekalipun untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran, perlu dirujuk kepada sumbernya yang asal dan disemak darjatnya. Ini kerana tanpa merujuk kepada sumbernya yang asal dan menyemak darjatnya, kita tidak akan mengetahui sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Dirujuk kepada sumbernya yang asal bererti mencari hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis sama ada ia benar-benar wujud atau tidak. Disemak darjatnya bererti dikaji sanadnya sama ada ianya sahih atau tidak. Jika ianya tidak sahih, maka disemak sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Jika kelemahannya ringan maka ia lulus syarat yang pertama ini, jika kelemahannya adalah berat maka ia gagal.

Di sini penulis merasa perlu untuk membetulkan salah faham masyarakat, termasuk para da’i, penceramah, penulis dan ilmuan yang selain daripada ahli hadis, yang berpendapat boleh menggunakan apa jua hadis asalkan ia duduk di dalam bab keutamaan beramal (al-Fadha‘il) dan memberi anjuran serta amaran (al-Targhib wa al-Tarhib). Mereka tidak menyemak asal-usul hadis tersebut sama ada ia wujud atau tidak dalam kitab-kitab hadis yang lengkap dengan sanadnya. Lebih memberatkan, mereka tidak memberi perhatian langsung kepada darjatnya. Setiap hadis yang mereka temui dalam bab ini disampaikan terus dalam kuliah-kuliah atau karya-karya mereka.

Ini sebenarnya adalah kesalahan yang amat berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta, maka dia termasuk dalam salah seorang pendusta.” [Shahih Muslim, muqaddimah] Terhadap hadis ini, al-Imam Ibn Hibban rahimahullah (354H) menukil daripada al-Imam Abu Hatim rahimahullah:[4]

Dalam hadis ini terdapat dalil yang membenarkan apa yang kami sebut, bahawa apabila seseorang itu meriwayatkan sebuah hadis yang tidak sah daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apa sahaja hadis yang disandarkan kepada baginda, padahal dia mengetahui bahawa ia tidak sah, (maka) dia termasuk salah seorang pendusta.

Malah maksud zahir hadis ini adalah lebih berat kerana baginda shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta…”, baginda tidak mengatakan bahawa orang tersebut yakin bahawa hadis tersebut adalah dusta (tetapi sekadar memandangnya sebagai dusta). Maka setiap orang yang ragu-ragu sama ada yang diriwayatkannya itu adalah sahih atau tidak sahih termasuk dalam zahir perbicaraan hadis ini.

Perkara yang sama juga disebut oleh al-Imam al-Thohawi rahimahullah (321H):[5]

Sesiapa yang menyampaikan hadis daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan sangkaan, bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara batil. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara batil (maka) dia berdusta ke atas baginda sebagaimana seorang pendusta hadis. Mereka termasuk dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesiapa yang berdusta ke atas aku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” Kami berlindung daripada Allah Ta‘ala daripada yang sedemikian.

Berdasarkan syarat yang pertama ini, hendaklah kita pastikan bahawa setiap hadis yang digunakan untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran memiliki sumber rujukannya serta dijelaskan darjatnya. Tidak boleh disampaikan sesuatu hadis dengan sangkaan ia memiliki rujukan dan darjat yang paling rendah adalah ringan kelemahannya kerana sangkaan seperti ini termasuk dalam kategori mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Umpamakan hal ini seperti seorang jurujual yang mempromosi sebuah buku. Dia menceritakan kepada para pelanggannya bahawa buku tersebut adalah baik serta banyak maklumat yang benar lagi besar manfaatnya. Padahal si jurujual itu sendiri pada asalnya tidak pernah membaca buku tersebut untuk membezakan sama ada ia adalah baik atau tidak, jauh sekali daripada mengkaji maklumat di dalamnya sama ada ia adalah benar atau tidak. Nah, apa yang dipromosikan oleh si jurujual ini terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Namun oleh kerana dia tetap membuat promosi tanpa menerangkan hakikat yang sebenar, dia sebenarnya berdusta kepada para pelanggannya.

Demikianlah juga dengan seseorang yang menyampaikan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa dia sendiri mengetahui asal usul dan darjatnya. Apa yang disampaikannya terbuka kepada kemungkinan benar atau salah. Namun apabila dia tetap menyampaikan hadis tersebut dan menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia juga dikira berdusta ke atas baginda. Oleh itu hendaklah kita sentiasa peka kepada syarat yang pertama ini, sama ada kita adalah sebagai penyampai atau penerima hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pastikan ia memiliki sumber rujukan dan dijelaskan darjatnya. Jika syarat yang pertama ini tidak dipenuhi, hendaklah hadis tersebut ditinggalkan sekalipun ia memiliki kedudukan yang masyhur di kalangan masyarakat.

TOP

Ulasan kepada syarat kedua.

Hadis dha‘if tidak boleh digunakan untuk menetapkan sesuatu amalan, perintah atau larangan. Peranan hadis dha‘if tidak lain sekadar menerangkan keutamaan satu amalan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Hadis dha‘if juga tidak boleh digunakan untuk menganjur atau melarang sesuatu perkara melainkan perkara tersebut telah tetap hukumnya daripada al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata:[6]

Berkata (al-Imam) Ahmad bin Hanbal, apabila datang (persoalan) halal dan haram kami memperketatkan semakan sanad dan apabila datang (persoalan) memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib) kami memudahkan semakan sanad. (Ibn Taimiyyah mengulas lanjut): Demikianlah apa yang disepakati oleh para ilmuan tentang beramal dengan hadis dha‘if dalam keutamaan beramal. Ia tidaklah bermaksud menetapkan hukum sunat berdasarkan hadis yang tidak boleh dijadikan hujah dengannya (kerana ia adalah dha‘if). Ini kerana “sunat” merupakan hukum syari‘at yang tidak boleh ditetapkan melainkan dengan dalil syari‘at juga. Sesiapa yang mengkhabarkan daripada Allah bahawasanya Dia menyukai (menyunatkan) sesuatu amal tanpa dalil syari‘i maka sungguh dia telah mensyari‘atkan dalam agama apa yang tidak diizinkan Allah.

Sebagai contoh, hadis-hadis berkenaan puasa pada bulan Rejab dan solat khusus pada malam-malam tertentu bulan Rejab semuanya tidak ada yang sahih. Syaikh Sayid Sabiq menegaskan:[7]

Berkenaan puasa pada bulan Rejab, tidak ada kelebihan yang menonjol (tentang bulan Rejab) berbanding bulan-bulan lain, kecuali bahawa ia termasuk daripada bulan-bulan haram (yakni bulan Zulqa‘idah, Zulhijjah, Muharram dan Rejab). Tidak diterima dalam sunnah yang sahih bahawa berpuasa dalam bulan Rejab memiliki keutamaan yang khusus. Adapun apa yang datang tentangnya (keutamaan berpuasa pada bulan Rejab), ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai hujah. Berkata (al-Hafiz) Ibn Hajar (al-Asqalani), tidak diterima (apa-apa) hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujah tentang keutamaannya (bulan Rejab), mahupun tentang puasanya dan puasa pada hari-hari tertentu daripadanya mahupun solat pada malam yang tertentu daripadanya.

Apabila tidak wujud hadis yang sahih yang menetapkan wujudnya “Puasa sunat Rejab” dan “Solat malam Rejab yang ke sekian-sekian hari”, hadis-hadis yang menerangkan keutamaan berpuasa dan bersolat pada bulan Rejab tidak memiliki apa-apa nilai. Yang lebih penting, ia tidak boleh dijadikan dalil untuk menghukum sunat berpuasa dan bersolat secara khusus kerana bulan Rejab.

Sebenarnya terdapat banyak lagi amalan yang dilakukan oleh umat Islam berdasarkan hadis yang dha‘if tanpa diperhatikan sama ada amalan tersebut terlebih dahulu telah ditetapkan atau tidak oleh dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Setakat ini berdasarkan ulasan kepada syarat yang pertama dan kedua, hendaklah setiap orang yang ingin beramal dengan hadis dha‘if menyemak terlebih dahulu bahawa:

1. Hadis yang ingin dijadikan sumber amalan memiliki rujukan dalam kitab yang asal dan telah disemak bahawa ia sekurang-kurangnya memiliki darjat kelemahan yang ringan.

2. Amalan tersebut telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih manakala hadis yang lulus syarat pertama di atas tidak lain hanyalah untuk menerangkan keutamaan amalan tersebut.

TOP

Ulasan kepada syarat ketiga
Apabila menggunakan hadis dha‘if yang telah memenuhi dua syarat yang pertama di atas, hendaklah diingati bahawa tidak boleh berkeyakinan hadis tersebut adalah sabit daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berdasarkan syarat yang ketiga ini, para ahli hadis telah menetapkan bahawa hadis yang dha‘if tidak boleh disandarkan sebutannya kepada diri Rasulullah secara jelas tetapi perlu diisyaratkan kelemahannya.

Misalnya, tidak boleh berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda bahawa……” tetapi hendaklah berkata: “Dalam kitab Mu’jam al-Kabir oleh al-Imam al-Thabarani, terdapat sebuah hadis dha‘if yang berbunyi ……” atau apa-apa lain yang seumpama. Al-Imam al-Nawawi menjelaskan:[8]

Berkata para ilmuan peneliti (al-Muhaqqiqun) daripada kalangan ahli hadis dan selain mereka, apabila sebuah hadis adalah dha‘if tidak boleh dikatakan terhadapnya “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …” atau “Rasulullah telah berbuat…” atau “Rasulullah telah memerintahkan…” atau “Rasulullah telah melarang…” atau “Rasulullah telah menghukum…” dan apa-apa lain yang menyerupainya daripada bentuk kalimah yang menunjukkan kepastian.

Demikian juga, tidak boleh dikatakan terhadap (hadis dha‘if tersebut) “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah…” atau “Berkata Abu Hurairah…” atau “Disebut oleh Abu Hurairah…” atau “Dikhabarkan oleh Abu Hurairah…” atau “Dihadiskan oleh Abu Hurairah…” atau “Dinukil oleh Abu Hurairah…” dan apa-apa lain yang menyerupainya. Demikian juga, tidak boleh dikatakan yang seumpama terhadap para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka terhadap apa yang dha‘if. Tidak boleh berkata terhadap apa jua riwayat yang dha‘if dengan kalimah yang menunjukkan kepastian.

Sesungguhnya yang (boleh) dikatakan hanyalah “Diriwayatkan daripadanya…” atau “Dinukil daripadanya…” atau “Dihikayatkan daripadanya…” atau “Didatangkan daripadanya…” atau “Disampaikan daripadanya…” ……… dan apa yang menyerupainya daripada kalimah yang menunjukkan kelemahan, tidak daripada kalimah yang menunjukkan kepastian.

Mereka (para ilmuan peneliti) berkata, kalimah yang menunjukkan kepastian ditujukan untuk hadis yang sahih atau hasan manakala kalimah yang menunjukkan kelemahan ditujukan kepada apa yang selain daripada kedua-dua (bukan hadis sahih dan bukan hadis hasan).

Amat penting untuk mengisyaratkan kedha‘ifan hadis tersebut agar:

1. Orang ramai dapat mengetahui bahawa si penyampai telah menyemak sumber dan darjat hadis tersebut,

2. Orang ramai tidak menganggapnya sebagai sebuah hadis yang sahih,

3. Orang ramai tidak menetapkan hukum berdasarkan hadis tersebut,

4. Seandainya wujud kemusykilan dalam maksud hadis tersebut, ia tidak mengelirukan orang ramai kerana mereka tahu ia tidak sahih.

Jika syarat ketiga ini tidak diperhatikan, orang ramai tidak akan dapat membezakan antara hadis yang sahih dan tidak sahih. Akibatnya mereka akan mengamalkan hadis tersebut sebagai sumber hukum dan menyebarkannya kepada masyarakat dengan anggapan ia adalah benar dan baik. Akhirnya ia akan menjadi masyhur dan sebati di dalam masyarakat dan menganggapnya sebahagian daripada syari‘at Islam. Ini sama-sama dapat kita perhatikan di negara kita sendiri masa kini. Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang natijah buruk ini kira-kira 500 tahun yang lalu:[9]

Sedia dikenali bahawa para ahli ilmu mempermudahkan penerimaan hadis dalam bab keutamaan (al-Fadha’il) sekalipun di dalamnya memiliki kelemahan selagi mana ia bukan hadis maudhu’. Namun disyaratkan bagi orang yang mengamalkannya bahawa dia yakin hadis tersebut adalah dha‘if dan dia tidak memasyhurkannya kerana dibimbangi seseorang lain akan beramal dengan hadis yang dha‘if tersebut (tanpa mengetahui ia adalah dha‘if) sehingga mensyari‘atkan apa yang tidak disyari‘atkan atau dia meriwayatkannya kepada sebahagian orang yang jahil sehingga disangkakan ia adalah sunnah yang sahih.

Demikianlah ulasan kepada tiga syarat penting yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menggunakan hadis dha‘if. Apabila sesebuah hadis telah lulus tiga syarat di atas, terdapat dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, iaitu:

TOP

Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan
Jika di dalam sebuah bab terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan dan dha‘if, maka hendaklah seseorang itu memberi prioriti kepada yang sahih dan hasan sahaja. Sebabnya:

1. Hadis yang sahih dan hasan adalah sabit daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam manakala hadis yang dha‘if masih terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Maka berpegang kepada yang pasti adalah lebih utama daripada yang diragui.

2. Menyibukkan diri dengan hadis yang dha‘if lazimnya akan menyebabkan hadis yang sahih dan hasan terpinggir. Ini kerana setiap individu memiliki kemampuan yang terhad. Jika kemampuan itu dipenuhi dengan menyibukkan diri dengan hadis dha‘if, maka hadis yang sahih dan hasan akan tercicir daripada dirinya.

Poin kedua di atas pernah diulas oleh al-Imam ‘Abd al-Rahman bin Mahdi rahimahullah (198H):[10]

Tidaklah wajar seseorang itu menyibukkan dirinya dengan menulis hadis-hadis yang dha‘if kerana kesibukannya itu akan mengakibatkan tercicirnya hadis daripada para perawi yang thiqah (terpercaya = hadis sahih) sebanyak hadis daripada perawi lemah yang ditulisnya.

Izinkan penulis memberi satu contoh. Setiap tahun ketika tibanya Nisfu Sya’ban, ada di antara kita yang berpuasa, bersolat malam, membaca surah Yasin tiga kali dengan doa tertentu di antaranya dan pelbagai lagi. Semua amalan ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Hadis-hadis yang menganjurkannya tidak ada yang sahih dan tidak boleh dijadikan dasar bagi menetapkan sesuatu amalan. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizahullah menukil kata-kata al-Imam Ibn al-‘Arabi rahimahullah (543H) dalam persoalan ini:[11]

Tidak ada sebuah hadis jua yang dipercayai kesahihannya mengenai keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Jika kita (hendak) menerima hadis-hadis yang menerangkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan kita hendak memperingatinya dengan amal kebajikan, maka hal ini tidak pernah berasal daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mahupun daripada para sahabat radhiallahu ‘anhum dan kaum muslimin abad-abad pertama. Padahal mereka semua termasuk umat Islam yang terbaik.

Daripada semua sumber tersebut tidak ada riwayat yang menerangkan bahawa malam Nisfu Sya’ban diperingati dengan berkumpul di masjid-masjid, membaca doa-doa tertentu dan melakukan solat-solat khusus seperti yang kita saksikan di beberapa negeri kaum muslimin. Bahkan di beberapa negeri sejumlah orang berkumpul sesudah solat Maghrib di masjid-masjid lalu membaca surah Yasin, solat dua rakaat dengan niat memohon panjang umur, ditambah dua rakaat lagi dengan doa dijauhkan ketergantungan hidup daripada orang lain, kemudian mereka membaca doa panjang lebar yang tidak berasal daripada seorang pun daripada kalangan Salaf. Doa yang mereka baca itu pula menyalahi nas-nas (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta mengandungi hal-hal yang saling berlawanan maksudnya.

Dalam kesibukan kita membaca, menyebar dan mengamalkan hadis-hadis yang dha‘if berkenaan malam Nisfu Sya’ban, kita telah keciciran sebuah hadis yang sahih mengenainya. Hadis tersebut ialah: “Allah akan memperhatikan semua makhluk pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia mengampuni semua makhluknya kecuali orang musyrik dan yang bermusuhan (sesama sendiri).”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban, berkata Syaikh Syu‘aib al-Arna’uth hafizahullah dalam semakannya ke atas Shahih Ibn Hibban (Muassasah al-Risalah, Beirut 1997) jld. 12, ms. 481, no: 5665: “Hadis sahih bi syawahid.” Hadis ini juga dihimpun oleh al-Imam al-Munziri rahimahullah (656H) dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib (Dar Ibnu Katsir, Damsyik 1999), jld. 2, ms. 51, no: 1517. Berkata para penyemak: Shaikh Samir Ahmad al-‘Athar, Yusuf Ali Badiwi & Muhyiddin Dibb Matsu: “Sahih bi syawahid.” Berkata Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib (Maktabah al-Ma‘arif, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 597, no: 1026: “Hasan Sahih.”

Sama-sama kita bertanya kepada diri kita, adakah kita mengetahui tentang hadis ini? Adakah selama ini hadis di atas tersembunyi atau tercicir daripada pengetahuan kita kerana selama ini kita sibuk dengan pelbagai hadis lain, yang tidak satu jua yang sahih, berkenaan malam Nisfu Sya’ban? Lebih jauh, sudahkah kita mengamalkan hadis ini?

Mengamalkan hadis ini bukanlah dengan berpuasa, bersolat malam, berzikir, berdoa dan sebagainya. Akan tetapi beramal dengannya ialah kita melayakkan diri kita supaya memperoleh pengampunan Allah Subhanahu wa Ta‘ala pada malam Nisfu Sya’ban. Terdapat dua syarat kelayakan, yang pertama kita lulus, alhamdulillah. Yang kedua perlu kita pastikan bahawa kita tidak bermusuhan dengan sesiapa di kalangan umat Islam. Jika ada, mungkin saudara, jiran, rakan kerja dan sebagainya, hendaklah kita bermaafan dan menghubungkan semula silraturahim. Inilah cara “mengamalkan” hadis sahih di atas berkenaan malam Nisfu Sya’ban.

TOP

Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal

Kepentingan atau keburukan sesuatu amal tidak boleh diukur berdasarkan hadis-hadis dha‘if sahaja. Sering kali para penulis dan penceramah begitu ghairah menyampaikan hadis-hadis dha‘if dalam memberi anjuran dan amaran tanpa disedari bahawa anjuran dan amaran tersebut nilainya telah dilebih-lebihkan daripada apa yang sepatutnya. Mereka menganggap hal ini akan memberi manfaat kepada umat tetapi yang benar adalah di sebaliknya. Ganjaran yang dibesar-besarkan kepada amalan yang kecil akan mengakibatkan seseorang itu meremehkan agama, dengan anggapan memadailah dia membuat amalan yang sedikit kerana ganjarannya sudah lebih dari mencukupi. Sedangkan amaran yang dibesar-besarkan terhadap kesalahan yang kecil akan menyebabkan seseorang itu menjauhkan diri daripada Allah dan merasa putus asa daripada keampunan-Nya. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menerangkan hal ini dengan lebih lanjut:[12]

Hadis-hadis yang memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib), sekalipun tidak memuat hukum halal atau haram, ia memuat sesuatu lain yang sangat penting dan berbahaya, iaitu ia merosakkan nilai amal atau kewajiban yang telah ditentukan oleh Pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana. Setiap amal yang diperintahkan ataupun dilarang memiliki “nilai” tertentu di sisi Pembuat syari’at dalam kaitannya dengan amal-amal yang lain. Kita tidak boleh melampaui had yang telah ditentukan oleh Pembuat syari’at sama ada dengan menurun atau menaikkannya.

Di antara hal yang sangat berbahaya ialah memberi nilai sebahagian amalan lebih besar dan banyak daripada ukurannya yang sebenar dengan membesar-besarkan pahalanya sehingga mengalahkan amalan lain yang lebih penting dan lebih tinggi derajatnya dalam pandangan agama. Demikian juga memberikan kepentingan kepada amalan yang dilarang dengan membesar-besarkan seksanya sehingga mengalahkan amalan lainnya.

Membesar-besarkan dan melebih-lebihkan janji pahala dan ancaman siksa akan mengakibatkan rosaknya gambaran agama di mata sebahagian orang karena mereka akan menyandarkan apa yang mereka dengar atau baca tersebut kepada agama padahal agama itu sendiri bebas dari semua itu. Seringkali tindakan melebih-lebihkan, terutama dalam soal ancaman, akan menimbulkan akibat yang sebaliknya dan kegoncangan jiwa. Bahkan seringkali orang yang berlebih-lebihan itu akan menjauhkan diri mereka daripada-Nya (kerana putus asa dan merasa tidak layak memperoleh keampunan Allah ke atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan)

Kita wajib menjaga amal perbuatan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya yang telah digariskan oleh syari‘at tanpa terjerumus ke dalam tindakan melebih-lebihkan. Ini hanya akan membawa kita kepada salah satu dari dua bentuk pelampauan, sama ada yang menambah atau mengurang, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anh: “Kalian harus mengambil sikap pertengahan, yang kepadanya orang tertinggal harus disusulkan dan kepadanya pula orang yang berlebihan harus dikembalikan.

Berdasarkan tiga syarat pengamalan hadis dha‘if dan dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, sama-sama dapat diambil iktibar bahawa menggunakan hadis dha‘if tidaklah semudah yang disangka. Hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu sumber syari‘at di sisi al-Qur’an al-Karim. Maka kita perlu berinteraksi dengannya melalui disiplin-disiplin yang telah digariskan oleh para ahli hadis. Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan berkenaan agama tidak lain adalah wahyu Allah. Apabila kita bersikap leka dalam berinteraksi dengan hadis-hadis baginda, kita bukan sahaja mendedahkan diri kepada kemungkinan berdusta di atas nama Rasulullah tetapi juga berdusta di atas nama Allah.

Oleh itu hendaklah setiap individu memberi perhatian khusus dalam bab ini. Jangan menerima sebarang hadis sekalipun yang menyampaikannya adalah orang yang masyhur di mata masyarakat. Pastikan bahawa setiap hadis yang disampaikan mematuhi syarat-syarat di atas. Apabila membaca buku-buku agama, pastikan setiap hadis diberikan rujukan, lengkap dengan nombor hadis dan bab. Jangan berpuas hati dengan catitan “Hadis riwayat al-Bukhari” atau “HR Muslim” kerana terdapat sebahagian penulis yang berbuat demikian padahal hadis tersebut tidak wujud di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Apabila mendengar khutbah, kuliah, ceramah dan sebagainya, jangan segan-segan bertanya kepada penyampainya: “Ustaz, hadis yang ustaz sebut itu siapa yang meriwayatkannya dan apa darjatnya?” atau apa-apa lain yang seumpama. Setiap mukmin yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya berhak untuk bertanya dan setiap penyampai yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak boleh merasa ego untuk menjawab. Akan tetapi jika penyampai tersebut tidak ingat pada saat itu, berilah dia tempoh untuk menyemak semula agar dia dapat menjelaskannya pada masa yang akan datang.

Tanpa berlebih-lebihan, penulis menganjurkan para pembaca sekalian meninggalkan mana-mana penulis dan penyampai agama yang tidak berdisiplin dalam mengemukakan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita perlu bertegas dalam hal ini, bukan sahaja supaya amalan kita sentiasa berada di atas ukuran yang benar tetapi supaya para penulis dan penyampai tersebut tidak mengambil mudah perkara ini.

Risalah 3: Bagaimana kita menyambut Ramadhan?

——————————————————————————–

[1] al-Azkar (diteliti oleh ‘Amr bin ‘Ali Yasin; Dar Ibn Khuzaimah, Riyadh 2001), ms. 53

[2] al-Qaul al-Badi’ fi Fadhli Shalat ‘ala al-Habib al-Syafi’ (diteliti oleh Muhammad ‘Awwamah; Muassasah al-Rayan, Beirut 2002), ms. 473

[3] al-Qaul al-Badi’, ms. 472

[4] al-Majruhin min al-Muhadditsin (diteliti oleh Hamidi bin ‘Abd al-Rahman; Dar al-Shomi‘in, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 16-17

[5] Musykil al-Atsar (diteliti oleh Muhammad ‘Abd al-Salah Syahin; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut 1995), jld. 1, ms. 123

[6] Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah 2001), jld. 18, ms. 65

[7] Fiqh al-Sunnah (Dar al-Fath, Kaherah 1999), jld. 1, ms. 516

[8] al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (diteliti oleh Muhammad Najib Ibrahim; Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut 2001), jld. 1, ms. 134

[9] Tabyin al-‘Ujab bi ma warada fi Fadhli Rejab, ms. 3-4; dinukil daripada Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah oleh Syaikh al-Albani rahimahullah (1999) (Dar al-Rayah, Riyadh 1409H), jld. 1, ms. 36

[10] Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi (463H) dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Maktabah al-‘Alamiyah, Madinah), ms. 132

[11] Fatawa Mu‘ashirah (edisi terjemahan oleh al-Hamid al-Husaini dengan judul Fatwa-Fatwa Mutakhir; Pustaka Hidayah, Bandung 1996), ms. 480-481

[12] al-Muntaqa min Kitab al-Targhib wa al-Tarhib li al-Munziri (Dar al-Wafa’, Kaherah 1993), jld. 1, ms. 49-50

Hadith-hadith Mawdhu’ itu dapat dikenali pada sanadnya dan juga pada matannya. Di antara ciri-cirinya yang utama ialah:

1. Pengakuan yang dibuat oleh pembuat hadith itu sendiri

Umpamanya seperti yang diakui sendiri oleh Abdul Karim bin Abu Al-Auja’, Maisarah bin Abdul Rabbih dan Nuh bin Abi Maryam.

2. Perawinya terkenal pembohong

Sedangkan Hadith yang diriwayatkan tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang tsiqah (dipercayai).

3. Bertentangan dengan kenyataan (fakta) sejarah

Umpamanya seorang perawi meriwayatkan sebuah hadith dari seorang guru, yang menurut kenyataan ia tidak pernah menemui guru itu, atau ia dilahirkan sesudah guru yang dikatakan itu meninggal dunia, ataupun ia tidak pernah datang berguru dengan guru tersebut.

Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi mendakwa ada mendengar hadith dari Hisyam bin ‘Amman kekanda kepada Ibn Hibban, maka Ibn Hibban bertanya:

“Bilakah engkau ke kota Syam?” Ma’mun menjawab: “Pada tahun 250H.” Mendengar itu Ibn Hibban berkata: “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245H.”

Termasuk dalam golongan ini ialah orang-orang yang mengaku sebagai sahabat Nabi dan mendengar hadith-hadith Nabi dari Nabi SAW atau dari sahabat-sahabat Nabi SAW, padahal mereka hidup ratusan tahun setelah Nabi SAW dan para sahabat meninggal dunia.

4. Motif yang mendorong membuat hadith palsu itu

Sebenarnya ada motif dan tujuan yang tertentu yang mendorong orang membuat hadith-hadith palsu itu, seperti politik, fanatik golongan, fanatik mazhab, kerana membodek raja, kerana mencari rezeki atau sebagainya.

Contoh-contohnya:

“Bubur Harisah itu akan menguatkan belakang.”

Hadith ini dibuat oleh Muhammad bin al-Hajjah Al-Lakhmi, seorang penjual bubur Harisah untuk melariskan buburnya itu.

“Aku beriman kepada Jibril di sisi Ka ‘bah, maka Ia mengeraskan bacaan.”

Hadith ini dibuat untuk mempertahankan pendapat dalam mazhab Syafi’e yang mengatakan Bismillah adalah salah satu ayat dari surah al-Fatihah yang wajib dibaca dengan suara keras dalam solat Jahriyyah.

Apa yang telah lalu disebutkan ialah mengenai ciri-ciri Hadith Mawdhu’ pada sanadnya. Selain itu Hadith Mawdhu’ dapat diketahui melalui matannya, iaitu:

1. Perkataan dan ayat-ayatnya sangat jelek dan janggal

2. Kerosakan maknanya:

(a) Berlawanan dengan perkara yang mudah diketahui oleh akal dan tak dapat pula dita’wil

Contoh: “Bahawasanya bahtera Nuh bertawaf di Baitullah selama 7 hari dan bersolat 2 rakaat di Maqam Ibrahim.”

(b) Berlawanan dengan hukum akal mengenai Allah. Akal menetapkan bahawa Allah suci daripada menyerupai makhluk

Seperti hadith:

“Bahawasanya Allah menciptakan kuda lalu dipacunya kuda itu hingga berpeluh, maka Ia menciptakan dirinya dari kuda itu.”

“Allah mengadu sakit mata, maka para Malaikat datang melawatnya.”

(c) Berlawanan dengan ilmu kedoktoran

Contoh: “Buah terung itu adalah penawar bagi segala penyakit.”

(d) Mengandungi dongeng yang tidak diterima akal

Seperti hadith: “Ayam putih itu adalahku dan kekasih bagi kekasihku Jibril.”

(e) Bertentangan dengan kenyataan dan ilmu

Seperti hadith:

“Bahawasanya Qaf itu adalah sebuah bukit dari permata zamrud hijau yang mengelilingi dunia bagaikan tembok mengelilingi kebun dan bahu-bahu langit terletak di atasnya.”

“Bahawasanya bumi ini di atas batu hampar dan batu hampar di atas tanduk lembu, maka apabila lembu jantan itu menggerakkan tanduknya bergeraklah batu hampar itu.”

Al-Imam Ar-Razi berkata:

“Semua hadith yang kau dapatinya bertentangan dengan akal, berlawanan dengan dasar-dasar agama dan berlainan dengan yang dinukilkan dari Nabi, maka ketahuilah bahawa itu adalah Hadith Mawdhu’.”

(f) Menyalahi keterangan Al-Quran yang qathi’e dan tidak pula dapat dita’wilkan

Contoh: “Anak zina tidak akan memasuki Syurga sampai 7 keturunan.”

Hadith ini bertentangan dengan Al-Quran:

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am: 64)

(g) Menyalahi Hadith Mutawatir

Contoh: “Apabila diriwayatkan kepada kamu sebuah hadith yang sesuai dengan kebenaran, maka ambillah dia sama ada saya mengkhabarkannya ataupun tidak.”

Hadith ini bertentangan dengan Hadith Mutawatir:

“Barangsiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja maka bersedialah mengambil tempatnya dari Neraka.” (Hadith Muttafaq ‘Alaih dan Hadith ini adalah Mutawatir)

(h) Menyalahi kaedah umum yang diambil dari al-Quran dan Sunnah

Contoh: “Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang bayi lelaki lalu diberi nama Muhammad, maka dia dan anaknya di dalam Syurga.”

Ini bertentangan dengan kaedah umum, iaitu masuk Syurga mesti melalui amal soleh, bukan semata-mata kerana nama atau gelaran belaka.

(i) Menyalahi kenyataan sejarah yang memang sudah terkenal pada zaman Nabi SAW

Umpamanya hadith yang menerangkan bahawa Nabi SAW memberatkan jizyah atas penduduk-penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa’ad dan dituliskan oleh Abu Sufyan, pada hal menurut riwayat yang benar bahawa jizyah itu belum lagi dikenakan pada waktu itu. Ia baru dikenakan sesudah peperangan Tabuk. Sa’ad meninggal sebelum itu pada tahun peperangan Khandak dan Abu Sufyan memeluk Islam setelah pembukaan kota Makkah.

(j) Hadith yang sesuai benar dengan mazhab yang dipegang oleh perawinya dan ia pula terlalu sangat fanatik kepada mazhabnya

Misalnya hadith: Kata Ali: “Aku menyembah Allah bersama-sama Rasul-Nya sebelum lagi Dia disembah oleh seseorang dari umat ini 5 tahun atau 7 tahun.”

Hadith ini diriwayatkan oleh Habbah bin Juwain yang terlalu fanatik kepada mazhab Syi’ah.

(k) Hadith yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap sesuatu kebajikan yang sangat kecil

Misalnya:

“Sesuap makanan yang diberikan kepada orang lapar lebih utama daripada membina 1,000 jami’ (masjid).”

“Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha Illallah, maka Allah menjadikan untuknya seekor burung yang mempunyai 70,000 lidah dan bagi tiap-tiap lidah 70,000 bahasa yang mereka beristighfar dengannya untuknya.”

“Barangsiapa bersolat Dhuha sekian rakaat, maka akan diberikan kepadanya pahala 70 orang Nabi.”

(l) Hadith yang menerangkan dosa dan siksa yang sangat besar atas kesalahan yang kecil

Umpamanya: “Barangsiapa memakan bawang putih pada malam Jumaat, maka hendaklah ia masuk Neraka selama 70 tahun.”

(m) Hadith yang menerangkan sesuatu urusan agama yang kalau ada semestinya diriwayatkan oleh orang ramai

Demikianlah ciri-ciri Hadith Mawdhu’ itu, dan dengan memerhatikan ciri-ciri itu, maka Hadith Mawdhu’ dapat dikenal dengan mudah.

Ar-Rabi’ mengatakan:

“Bahasawanya di antara Hadith-hadith itu ada Hadith yang bersinar seperti sinaran waktu siang dan bahawasanya di antara Hadith-hadith itu ada Hadith yang gelap seperti malam, kita mengetahuinya dengan gelap itu.”

Perkataan Ar-Rabi’ ita menunjukkan, bahawa perbezaan antara Hadith Nabi dengan Hadith Palsu itu terlalu sangat jelas dan terang, dan tanda-tandanya sangat mudah diketahui, ia bagaikan malam dengan siang.

Dan Al-Imam Ibn Al-Jawzy pula berkata:

“Hadith Mungkar yakni Hadith Mawdhu’ itu menggementarkan kulit (badan) penuntut ilmu dan kebiasaannya tidak diterima oleh hati.”

Allahu a’lam bisshawab

*Dipetik dari kitab Himpunan Hadith Dha’if dan Mawdhu’, susunan Drs Abdul Ghani Azmi Haji Idris

dari: http://dhanysarip.blogspot.com/2005/11/ciri-ciri-hadith-maudhu-palsu.html

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Alloh ‘Azza wa Jalla, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.

Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).

Adalah hikmah Alloh ‘Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, yang artinya: “Semoga Alloh mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR: Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).

Para imam tersebut telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi sangat disayangkan sekali kita melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR: Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, yang artinya: “Barangsiapa yang berkata dengan mengatas namakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.

Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR: Muslim dan selainnya)

Wallahu A’lam.

(Sumber Rujukan: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)

Oleh: Ust. Ahmad Syarwat, Lc.

Secara umum kita bisa membagi jenis-jenis hadits menjadi dua kelopok besar dengan berdasarkan jumlah perawinya. Yang pertama adalah hadits mutawatir, yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang banyak. Yang kedua adalah hadits Ahad, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak, tapi tidak sampai sejumlah hadits mutawatir.

Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga. Meski tidak sampai derajat mutawatir. Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits shahih, melainkan ditempatkan berlawanan dengan hadits mutawatir.

Lalu apa yang dimaksud dengan hadits mutawatir dan hadits ahad, untuk lebih detailnya, silahkan baca rincian berikut ini.

A. Hadits Mutawatir

1. Definisi:

Yaitu suatu hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta.

2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Untuk bisa dikatakan sebagai hadits mutawatir, ada beberapa syarat minimal yang harus terpenuhi.
• Pemberitaan yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancainderanya sendiri
• Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat dusta. Sebagian ulama menetapkan 20 orang berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal:65. Sebagian yang lain menetapkan sejunlah 40 orang berdasarkan QS. Al-Anfal:64.
• Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah perawi dalam lapisan berikutnya.

Karena syaratnya yang sedemikian ketat, maka kemungkinan adanya hadits mutawatir sedikit sekali dibandingkan dengan hadits-hadits ahad.

3. Klasifikasi hadits mutawatir

Hadits mutawatir itu sendiri masih terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitumutawatir lafdhy dan mutawatir ma’nawy. Hadits mutawatir lafzhy adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Atau boleh disebut juga dengan hadits yang mutawatir lafadznya.

Hadits mutawatir ma’nawy adalah hadits mutawatir yang perawinya berlainan dalam menyusun redaksi hadits, tetapi terdapat persamaan dalam maknanya. Atau menurut definisi lain adalah kutipan sekian banyak orang yang menurut adapt kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan.

4. Manfaat Hadits Mutawatir

Hadits Mutawatir memberi manfaat ilmudh-dharury yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).

B. Hadits Ahad

1. Definisi:

Semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Dengan demikian, sudah bisa dipastikan bahwa jumlah hadits ahad itu pasti lebih banyak dibandingkan dengan hadits mutawatir.

Bahkan boleh dibilang bahwa nyaris semua hadits yang kita miliki dalam ribuan kitab, derajatnya hanyalah ahad saja, sebab yang mutawatir itu sangat sedikit, bahkan lebih sedikit dari ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.

2. Klasifikasi Hadits Ahad

Kalau kita berbicara hadits ahad, sebenarnya kita sedang membicarakan sebagian besar hadits. Sehingga kita masih leluasa untuk mengklasifikasikannya lagi menjadi beberapa kelompok hadits ahad.

a. Hadits Masyhur

Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits masyhur sendiri masih terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu masyhur di kalangan para muhadditsin dan golongannya; masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu dan masyhur dikalangan orang umum.

b. Hadits Aziz

Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapar pada satu lapisan saja, kemudian setelah itu orang-orang lain meriwayatkannya.

c. Hadits Gharib

Hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang (rawi) yang menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Klasifikasi hadits Gharib:

1. Gharib mutlak (Fard),

Terjadi apabila penyendiriannya disandarkan pada perawinya dan harus berpangkal pada tabiin bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan dalam penyendirian rawi ini adalah untuk menetapkan apakah ia masih diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.

2. Gharib Nisby

Yaitu apabila penyendiriannya mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, misalnya:
• Tentang sifat keadilan dan ketsiqahan rawi
• Tentang kota atau tempat tinggal tertentu
• Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu

Jika penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya (matan atau sanadkah), maka terbagi menjadi:

[1] gharib pada sanad dan matan dan

[2] gharib pada sanadnya saja sedangkan matannya tidak

III. Ketentuan Umum Hadits Ahad

Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan mardud-nya suatu hadits tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad.

Sedangkan membagi hadits Ahad menjadi Shahih, Hasan dan Dhaif adalah untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits. Maka hadits Masyhur dan Aziz, masing-masing ada yang shahih, hasan dan dhaif dan tidak semua hadits gharib itu dhaif walaupun hanya sedikit sekali.

Menurut Imam Malik, sejelek-jeleknya ilmu Hadits adalah yang gharib dan yang sebaik-baiknya adalah yang jelas serta diperkenalkan oleh banyak orang.

Sumber: eramuslim

(TSG | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

Ibadah umroh termasuk syiar Islam yang paling besar. Terutama kalau dilaksanakan pada bulan Romadhon karena mempunyai nilai dan pahala yang lebih bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Umroh di bulan Romadhon sebanding dengan haji atau haji bersamaku.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Untuk tata cara pelaksanaan umroh, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
1. Disunnahkan mandi besar (janabah) sebelum ihram untuk umroh.
2. Memakai pakaian ihram. Untuk lelaki 2 kain yang dijadikan sarung dan selendang, sedangkan untuk wanita memakai pakaian apa saja yang menutup aurat tanpa ada hiasannya dan tidak memakai cadar atau sarung tangan.
3. Niat umroh dalam hati dan mengucapkan Labbaika ‘umrotan atau Labbaikallahumma bi’umrotin. Kemudian bertalbiyah dengan dikeraskan suaranya bagi laki-laki dan cukup dengan suara yang didengar orang yang ada di sampingnya bagi wanita, yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka.
4. Jika sudah sampai kota Makkah, disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum memasukinya.
5. Sesampai di ka’bah, talbiyah berhenti sebelum thowaf. Kemudian menuju hajar aswad sambil menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya jika mampu dan mengucapkan Bismillahi wallahu akbar. Jika tidak bisa menyentuh dan menciumya, maka cukup memberi isyarat dan berkata Allohu akbar.
6. Thowaf sebanyak 7 kali putaran. 3 putaran pertama jalan cepat dan sisanya jalan biasa. Thowaf diawali dan diakhiri di hajar aswad dan ka’bah dijadikan berada di sebelah kiri.
7. Shalat 2 raka’at di belakang maqom Ibrahim jika bisa atau di tempat lainnya di masjidil haram dengan membaca surat Al-Kafirun pada raka’at pertama dan Al-Ikhlas pada raka’at kedua.
8. Sa’i dengan naik ke bukit Shofa dan menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangan dan mengucapkan Innash shofa wal marwata min sya’aairillah. Abda’u bima bada’allahu bihi (Aku memulai dengan apa yang Allah memulainya). Kemudian bertakbir 3 kali tanpa memberi isyarat dan mengucapkan Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdahu anjaza wa’dahu wa shodaqo ‘abdahu wa hazamal ahzaaba wahdahu 3x. Kemudian berdoa sekehendaknya.
9. Amalan pada poin 8 diulangi setiap putaran di sisi bukit Shofa dan Marwah disertai dengan doa.
10. Sa’i dilakukan sebanyak 7 kali dengan hitungan berangkat satu kali dan kembalinya dihitung satu kali, diawali di bukit Shofa dan diakhiri di bukit Marwah.
11. Mencukur seluruh rambut kepala bagi lelaki dan memotongnya sebatas ujung jari bagi wanita.
12. Dengan demikian selesai sudah amalan umroh
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Alloh untuk dapat segera melaksanakan ibadah umroh. Amin Yaa Mujiibas saailin.

Hari raya adalah saat yang berbahagia dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Robb-nya, yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugrah dan ampunan-Nya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Katakanlah:Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan Rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS: Yunus: 58).

Sebagian orang bijak berujar: Tiada seorangpun yang bergembira dengan selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala kecuali karena kelalaiannya terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sebab orang yang lalai selalu bergembira dengan permainan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal merasa senang dengan Robbnya..

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, kaum anshar mempunyai dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Alloh telah memberi ganti bagi kalian dua hari raya yang jauh lebih baik, yaitu ‘Idul fitri dan ‘Idul Adha” (HR: Abu Daud dan An-Nasaa’i, dengan sanad hasan).

Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di hari raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas hari raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharapkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa tetapi tidak menjadikannya lupa untuk taat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun yang dilakukan kebanyakan orang di saat hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan, karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyariatkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hari Raya tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari raya adalah untuk berdzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Makanya Allah gantikan bagi umat ini dua buah hari raya yang sarat dengan hiburan dan permianan dengan dua buah hari raya yang penuh dzikir, syukur dan ampunan.

Di dunia ini kaum mukminin mempunyai tiga hari raya: hari raya yang datang setiap pekan dan dua hari raya yang masing-masing datang sekali dalam setiap tahun.

Adapun hari raya yang selalu datang tiap minggu adalah hari jum’at, ia merupakan hari Raya pekanan, terselenggara sebagai pelengkap bagi shalat wajib lima kali yang merupakan rukun utama agama Islam setelah dua kalimat syahadat.

Sedangkan dua hari Raya yang tidak berulang dalam waktu setahun kecuali sekali adalah:
Pertama: ‘Idul Fitri setelah puasa Romadhon, hari raya ini terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun oan asas islam keempat. Apabila kaum muslimin merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari neraka.
Sebagian manusia dibebaskan dari Neraka padahal dengan berbagai dosanya ia semestinya masuk Neraka, maka Allah mensyariatkan bagi mereka hari Raya setelah menyempurnakan puasanya, untuk bersyukur kepada Allah, berdzikir dan bertakbir atas petunjuk dan syariatnya berupa shalat dan sedekah pada hari raya tersebut.

Hari raya ini merupakan hari pembagian hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah hari raya tersebut mereka mendapatkan ampunan.

Kedua:’Idul Adha (Hari raya kurban), ia lebih agung dan utama daripada ‘Idul Fitri. Hari Raya ini terselenggara sebagai penyempurnaaan ibadah haji yang merupakan rukun islam yang ke lima, bila kaum muslimin merampungkan ibadah hajinya, niscaya diampuni dosanya.

Inilah macam-macam hari raya kaum muslimin di dunia, semuanya dilaksanakan saat selesainya ketaqwaan kepada Yang Maha Menguasai dan Yang Maha Pemberi, disaat mereka berhasil memperoleh apa yang dijanjikan-Nya berupa ganjaran dan pahala.

Puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Romadhon adalah amalan sunnat yang dianjurkan bukan wajib. Seorang muslim dianjurkan mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal. Banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi puasa ini. Diantaranya, barangsiapa yang mengerjakannya niscaya dituliskan baginya puasa satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan Romadhon).
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh.” (HR: Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Rasululloh telah menjabarkan lewat sabda beliau: “Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas ‘Iedul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat.”

Dalam sebuah riwayat berbunyi, yang artinya: “Alloh telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Romadhon setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun.” (HR: An-Nasa’i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dengan lafazh: “Puasa bulan Romadhon setara dengan puasa sepuluh bulan. Sedang puasa enam hari bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Itulah puasa setahun penuh.”

Para ahli fiqih madzhab Hambali dan Syafi’i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Romadhon setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipat gandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunnat. Dan juga setiap kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali lipat.

Salah satu faidah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Romadhon. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Romadhon pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.

Sebagaimana sabda Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yang artinya: “Amal ibadah yang pertama kali di hisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah Ta’ala berkata kepada malaikat -sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya-: “Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat: “Periksalah apakah hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnat? Jika ia mengerjakannya maka tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnat itu.” Begitu pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya.” (HR: Abu Dawud) Wallahu a’lam.

(Sumber Rujukan: Islam Tanya & Jawab, Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid)

Hudzaifah.org – Dua kejadian terpenting di bulan Ramadhan adalah diwajibkannya Puasa dan turunnya Al-Qur?an. Al-Qur?an menjadi pedoman bagi orang yang bertaqwa dan puasa mengantarkan orang beriman menjadi mutaqqiin. Dan amaliyah Ramdhan terfokus pada dua aktifitas tersebut. Sedangkan amaliah lainnya tidak lepas dari ibadah untuk mengkondisikan hati dalam menerima Al-Qur?an dan upaya orang beriman untuk mengaplikasikan Al-Qur?an.

Untuk lebih mengetahui Amaliyah Ramadhan, maka kita harus melihat dan mencontoh amaliyah Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Dibawah ini Amaliyah yang dilakukan Rasulullah saw. dibulan Ramadhan:

Shiyam (puasa)

Shaum atau shiyam bermakna menahan (al-imsaak), dan menahan itulah aktifitas inti dari puasa. Menahan makan dan minum serta segala macam yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai tenggelam matahari dengan diiringi niat. Jika aktifitas menahan ini dapat dilakukan dengan baik, maka seorang muslim memiliki kemampuan pengendalian, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang diharamkan Allah.

Dalam berpuasa, orang beriman harus mengikuti tuntunan Rasul saw . atau sesuai dengan adab-adab Islam sehingga puasanya benar.

Berinteraksi dengan Al-Quran

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran (QS.2:185). Pada bulan ini Al-Qur?an benar-benar turun ke bumi (dunia) untuk menjadi pedoman manusia dari segala macam aktifitasnya di dunia. Dan malaikat Jibril turun untuk memuroja?ah (mendengar dan mengecek) bacaan Al-Quran dari Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam Maka tidak aneh jika Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam lebih sering membacanya pada bulan Ramadhan. Iman Az-Zuhri pernah berkata :?Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca Al-Quran?. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid dan esensi dasar diturunkannya Al-Quran untuk ditadabburi, dipahami, dan diamalkan (QS.Shod: 29).

Pada bulan ini umat Islam harus benar-benar berinteraksi dengan Al-Qur?an untuk meraih keberkahan hidup dan meniti jenjang menuju umat yang terbaik dengan petunjuk Al-Qur?an. Berinteraksi dalam arti hidup dalam naungan Al-Qur?an baik secara tilawah (membaca), tadabbur (memahami), hifzh (menghafalkan), tanfiidzh (mengamalkan), ta?liim (mengajarkan) dan tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman). Rasulullah saw . bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلّمَ القُرْآنَ وَعَلّمَهُ

? Sebaik-baiknya kamu orang yang mempelajari Al-Qur?an dan yang mengajarkannya?

Qiyam Ramadhan (Shalat Terawih)

Ibadah yang sangat ditekan Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam di malam Ramadhan adalah Qiyamu Ramadhan. Qiyam Ramadhan diisi dengan sholat malam atau yang biasa dikenal dengan sholat tarawih. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قامَ رَمَضانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لهُ ما تَقدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

? Barang siapa yang melakukan qiyam Romadon dengan penuh iman dan perhitungan, maka diampuni dosanya yang telah lau? (Muttafaqun ?aliahi)

Memperbanyak Dzikir, Do?a dan Istighfar

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana kebaikan pahalanya dilipatgandakan, oleh karena itu jangan membiarkan waktu sia-sia tanpa aktifitas yang berarti. Diantara aktifitas yang sangat penting dan berbobot tinggi, namun ringan dilakukan oleh umat Islam adalah memperbanyak dzikir, do?a dan istighfar. Bahkan do?a orang-orang yang berpuasa sangat mustajab, maka perbanyaklah berdo?a untuk kebaikan dirinya dan umat Islam yang lain, khususnya yang sedang ditimpa kesulitan dan musibah.

Do?a dan istighfaar pada saat mustajab adalah:

? Saat berbuka

? Sepertiga malam terakhir, yaitu ketika Allah SWT. turun ke langit dunia dan berkata:? Siapa yang bertaubat ? Siapa yang meminta ? Siapa yang memanggil, sampai waktu shubuh (HR Muslim)

? Memperbanyak istighfar pada waktu sahur. Allah Ta?ala berfirman, ?Dan waktu sahur mereka memohon ampun?.

? Mencari waktu mustajab pada hari Jum?at, yaitu disaat-saat terakhir pada sore hari Jum?at.

? Duduk untuk dzikir, do?a dan istighfaar di masjid, yaitu setelah menunaikan sholat Shubuh sampai terbit matahari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:? Barangsiapa shalat Fajar berjama?ah di masjid, kemudian tetap duduk berdzikir hingga terbit matahari, lalu sholat dua rakaat, maka seakan-akan ia mendapat pahala haji dan umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna? (HR At-Tirmidzi)

Shodaqoh, Infak dan Zakat

Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah dan dibulan Ramadhan beliau lebih pemurah lagi. Kebaikan Rasulullah saw. di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus karena begitu cepat dan banyaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan :

أفضل الصدقة صدقة رمضان

?Sebaik-baiknya sedekah yaitu sedekah di bulan Ramadhan? (HR Al-Baihaqi, Alkhotib dan At-Turmudzi)

Dan salah satu bentuk shodaqoh yang dianjurkan adalah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti sabda beliau:

من فطّرَ صائِماً كانَ لهُ مثْلُ أجرِهِ غَيْرَ أنّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أجْرِ الصّائِمِ شيئاً”

?Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut? (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).

Menuntut Ilmu dan Menyampaikannya

Bulan Ramadhan adalah saat yang paling baik untuk menuntut ilmu ke-Islaman dan mendalaminya. Karena di bulan Ramadhan hati dan pikiran sedang dalam kondisi bersih dan jernih sehingga sangat siap menerima ilmu-ilmu Allah SWT. Maka waktu-waktu seperti ba?da shubuh, ba?da dhuhur dan menjelang berbuka sangat baik sekali untuk menuntut ilmu. Pada saat yang sama para ustadz dan da?i meningkatkan aktifitasnya untuk berdakwah menyampaikan ilmu kepada umat Islam yang lain.

Umrah

Umrah pada bulan Ramdhan juga sangat baik dilaksanakan, karena akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah kepada seorang wanita dari Anshor yang bernama Ummu Sinan : ?Agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah saw. ?.(HR.Bukhari dan Muslim).

I?tikaf

I?tikaf adalah puncak ibadah di bulan Ramadhan. Dan ?Itikaf adalah tetap tinggal di masjid taqqorrub kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala aktifitas keduniaan.

Dan inilah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, disebutkan dalam hadits :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَه

? Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh hari terakhir menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya? (HR Bukhari dan Muslim).

Mencari Lailatul Qadar

Lailatul Qodar (malam kemuliaan) merupakan salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Islam melalui Rasulnya shalallahu ?alaihi wa sallam Malam ini nilainya lebih baik dari seribu bulan biasa. Ketika kita beramal di malam itu berarti seperti beramal dalam seribu bulan.

Malam kemuliaan itu waktunya dirahasiakan Allah SWT. oleh karena itu Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam menganjurkan untuk mencarinya. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam bersabda:

?Carilah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan carilah pada hari kesembilan, ketujuh dan kelima?. Saya berkata, wahai Abu Said engkau lebih tahu tentang bilangan?. Abu said berkata :?Betul? . ?Apa yang dimaksud dengan hari kesembilan, ketujuh dan kelima?. Berkata:? Jika sudah lewat 21 hari, maka yang kurang 9 hari, jika sudah 23 yang kurang 7 dan jika sudah lewat 5 yang kurang 5? (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Al-baihaqi)

Ketika kita mendapatkannya, Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk membaca doa berikut:

اللَّهمَّ إنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنىِّ

Menjaga Keseimbangan dalam Ibadah

Keseimbangan dalam beribadah adalah sesuatu yang prinsip, termasuk melaksanakan ibadah-ibadah mahdhoh di bulan Ramadhan. Kewajiban keluarga harus ditunaikan, begitu juga kewajiban sosial lainnya. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam senantiasa menjaga keseimbangan, walaupun beliau khusu?dalam beribadah di bulaa Ramadhan, tetapi tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah RA, Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam adalah tokoh yang paling baik untuk keluarga, dimana selama bulan Ramadhan tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada dalam puncak praktek ibadah shaum yakni I?tikaf, harmoni itu tetap terjaga.[]

Sumber: PANDUAN IBADAH RAMADHAN (DSPPKS

Amaliyah yang Dilakukan Pada Bulan Ramadhan

Hudzaifah.org – Dua kejadian terpenting di bulan Ramadhan adalah diwajibkannya Puasa dan turunnya Al-Qur?an. Al-Qur?an menjadi pedoman bagi orang yang bertaqwa dan puasa mengantarkan orang beriman menjadi mutaqqiin. Dan amaliyah Ramdhan terfokus pada dua aktifitas tersebut. Sedangkan amaliah lainnya tidak lepas dari ibadah untuk mengkondisikan hati dalam menerima Al-Qur?an dan upaya orang beriman untuk mengaplikasikan Al-Qur?an.

Untuk lebih mengetahui Amaliyah Ramadhan, maka kita harus melihat dan mencontoh amaliyah Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Dibawah ini Amaliyah yang dilakukan Rasulullah saw. dibulan Ramadhan:

Shiyam (puasa)

Shaum atau shiyam bermakna menahan (al-imsaak), dan menahan itulah aktifitas inti dari puasa. Menahan makan dan minum serta segala macam yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai tenggelam matahari dengan diiringi niat. Jika aktifitas menahan ini dapat dilakukan dengan baik, maka seorang muslim memiliki kemampuan pengendalian, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang diharamkan Allah.

Dalam berpuasa, orang beriman harus mengikuti tuntunan Rasul saw . atau sesuai dengan adab-adab Islam sehingga puasanya benar.

Berinteraksi dengan Al-Quran

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran (QS.2:185). Pada bulan ini Al-Qur?an benar-benar turun ke bumi (dunia) untuk menjadi pedoman manusia dari segala macam aktifitasnya di dunia. Dan malaikat Jibril turun untuk memuroja?ah (mendengar dan mengecek) bacaan Al-Quran dari Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam Maka tidak aneh jika Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam lebih sering membacanya pada bulan Ramadhan. Iman Az-Zuhri pernah berkata :?Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca Al-Quran?. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid dan esensi dasar diturunkannya Al-Quran untuk ditadabburi, dipahami, dan diamalkan (QS.Shod: 29).

Pada bulan ini umat Islam harus benar-benar berinteraksi dengan Al-Qur?an untuk meraih keberkahan hidup dan meniti jenjang menuju umat yang terbaik dengan petunjuk Al-Qur?an. Berinteraksi dalam arti hidup dalam naungan Al-Qur?an baik secara tilawah (membaca), tadabbur (memahami), hifzh (menghafalkan), tanfiidzh (mengamalkan), ta?liim (mengajarkan) dan tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman). Rasulullah saw . bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلّمَ القُرْآنَ وَعَلّمَهُ

? Sebaik-baiknya kamu orang yang mempelajari Al-Qur?an dan yang mengajarkannya?

Qiyam Ramadhan (Shalat Terawih)

Ibadah yang sangat ditekan Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam di malam Ramadhan adalah Qiyamu Ramadhan. Qiyam Ramadhan diisi dengan sholat malam atau yang biasa dikenal dengan sholat tarawih. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قامَ رَمَضانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لهُ ما تَقدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

? Barang siapa yang melakukan qiyam Romadon dengan penuh iman dan perhitungan, maka diampuni dosanya yang telah lau? (Muttafaqun ?aliahi)

Memperbanyak Dzikir, Do?a dan Istighfar

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana kebaikan pahalanya dilipatgandakan, oleh karena itu jangan membiarkan waktu sia-sia tanpa aktifitas yang berarti. Diantara aktifitas yang sangat penting dan berbobot tinggi, namun ringan dilakukan oleh umat Islam adalah memperbanyak dzikir, do?a dan istighfar. Bahkan do?a orang-orang yang berpuasa sangat mustajab, maka perbanyaklah berdo?a untuk kebaikan dirinya dan umat Islam yang lain, khususnya yang sedang ditimpa kesulitan dan musibah.

Do?a dan istighfaar pada saat mustajab adalah:

? Saat berbuka

? Sepertiga malam terakhir, yaitu ketika Allah SWT. turun ke langit dunia dan berkata:? Siapa yang bertaubat ? Siapa yang meminta ? Siapa yang memanggil, sampai waktu shubuh (HR Muslim)

? Memperbanyak istighfar pada waktu sahur. Allah Ta?ala berfirman, ?Dan waktu sahur mereka memohon ampun?.

? Mencari waktu mustajab pada hari Jum?at, yaitu disaat-saat terakhir pada sore hari Jum?at.

? Duduk untuk dzikir, do?a dan istighfaar di masjid, yaitu setelah menunaikan sholat Shubuh sampai terbit matahari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:? Barangsiapa shalat Fajar berjama?ah di masjid, kemudian tetap duduk berdzikir hingga terbit matahari, lalu sholat dua rakaat, maka seakan-akan ia mendapat pahala haji dan umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna? (HR At-Tirmidzi)

Shodaqoh, Infak dan Zakat

Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah dan dibulan Ramadhan beliau lebih pemurah lagi. Kebaikan Rasulullah saw. di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus karena begitu cepat dan banyaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan :

أفضل الصدقة صدقة رمضان

?Sebaik-baiknya sedekah yaitu sedekah di bulan Ramadhan? (HR Al-Baihaqi, Alkhotib dan At-Turmudzi)

Dan salah satu bentuk shodaqoh yang dianjurkan adalah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti sabda beliau:

من فطّرَ صائِماً كانَ لهُ مثْلُ أجرِهِ غَيْرَ أنّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أجْرِ الصّائِمِ شيئاً”

?Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut? (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).

Menuntut Ilmu dan Menyampaikannya

Bulan Ramadhan adalah saat yang paling baik untuk menuntut ilmu ke-Islaman dan mendalaminya. Karena di bulan Ramadhan hati dan pikiran sedang dalam kondisi bersih dan jernih sehingga sangat siap menerima ilmu-ilmu Allah SWT. Maka waktu-waktu seperti ba?da shubuh, ba?da dhuhur dan menjelang berbuka sangat baik sekali untuk menuntut ilmu. Pada saat yang sama para ustadz dan da?i meningkatkan aktifitasnya untuk berdakwah menyampaikan ilmu kepada umat Islam yang lain.

Umrah

Umrah pada bulan Ramdhan juga sangat baik dilaksanakan, karena akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah kepada seorang wanita dari Anshor yang bernama Ummu Sinan : ?Agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah saw. ?.(HR.Bukhari dan Muslim).

I?tikaf

I?tikaf adalah puncak ibadah di bulan Ramadhan. Dan ?Itikaf adalah tetap tinggal di masjid taqqorrub kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala aktifitas keduniaan.

Dan inilah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, disebutkan dalam hadits :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَه

? Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh hari terakhir menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya? (HR Bukhari dan Muslim).

Mencari Lailatul Qadar

Lailatul Qodar (malam kemuliaan) merupakan salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Islam melalui Rasulnya shalallahu ?alaihi wa sallam Malam ini nilainya lebih baik dari seribu bulan biasa. Ketika kita beramal di malam itu berarti seperti beramal dalam seribu bulan.

Malam kemuliaan itu waktunya dirahasiakan Allah SWT. oleh karena itu Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam menganjurkan untuk mencarinya. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam bersabda:

?Carilah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan carilah pada hari kesembilan, ketujuh dan kelima?. Saya berkata, wahai Abu Said engkau lebih tahu tentang bilangan?. Abu said berkata :?Betul? . ?Apa yang dimaksud dengan hari kesembilan, ketujuh dan kelima?. Berkata:? Jika sudah lewat 21 hari, maka yang kurang 9 hari, jika sudah 23 yang kurang 7 dan jika sudah lewat 5 yang kurang 5? (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Al-baihaqi)

Ketika kita mendapatkannya, Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk membaca doa berikut:

اللَّهمَّ إنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنىِّ

Menjaga Keseimbangan dalam Ibadah

Keseimbangan dalam beribadah adalah sesuatu yang prinsip, termasuk melaksanakan ibadah-ibadah mahdhoh di bulan Ramadhan. Kewajiban keluarga harus ditunaikan, begitu juga kewajiban sosial lainnya. Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam senantiasa menjaga keseimbangan, walaupun beliau khusu?dalam beribadah di bulaa Ramadhan, tetapi tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah RA, Rasulullah shalallahu ?alaihi wa sallam adalah tokoh yang paling baik untuk keluarga, dimana selama bulan Ramadhan tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada dalam puncak praktek ibadah shaum yakni I?tikaf, harmoni itu tetap terjaga.[]

Sumber: PANDUAN IBADAH RAMADHAN (DSPPKS

Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
RISALAH PERTAMA
TATA CARA SHALAT NABI MUHAMMAD
Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba`du:
Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membaca-Nya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari).
Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:
1. Menyempurnakan wudlu;
(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki…” (Al-Ma’idah: 6).
dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan.” (HR. Muslim ).
Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:

“Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu”.

2. Menghadap ke kiblat:
Yaitu Ka`bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para sahabat. Disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak
sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir hingga sejajar dengan kedua pundak
atau sejajar dengan kedua telinganya.
5. Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,
Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri, atau pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha’iy yang ia riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu.
6. Disunnahkan membaca do’a istiftah:

“Ya Allah, jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran; Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju” (Muttafaq `alaih yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).
Boleh juga membaca do’a yang lain sebagai gantinya, seperti:

” Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau”.
Karena do’a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca do’a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam).
Kemudian membaca:

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk ” “Dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca Surat Al-Fatihah “, dan sesudah itu membaca “Amin” secara jelas (nyaring) dalam shalat jahriyah, dan sirr (tersembunyi) dalam shalat sirriyah.
Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan shalat dzuhur
7. Ruku` sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar
dengan kedua pun-dak atau kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma’ninah di saat ruku` dan mengucapkan:

“Maha suci RabbKu Yang Maha Agung”
Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:

“Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku”.
8. Mengangkat kepala dari ruku’,
sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga
sambil membaca:

“Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”.
baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di saat berdiri mengucapkan:

“Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki kelak”.
Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do’a:

” Pemilik puja dan puji, ucapan yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami adalah hamba bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi orang yang memiliki kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan”.
Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits shahih.
Adapun jika ia sebagai ma’mum, maka di saat mengangkat kepala membaca:

“Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an”… hingga akhir bacaan di atas.
Dan dianjurkan meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada saat berdiri sebelum ruku`, karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Sahal bin Sa`ad radhiyallahu ‘anhu.
9. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak tangan ke qiblat, dengan posisi jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do’a:

“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.” tiga kali atau lebih:
Dianjurkan pula membaca:

“Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku “.
Dan memperbanyak do’a, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo’a, sebab layak untuk diterima bagi kalian.”
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

” Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do’a.”
Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.
Hendaknya (diwaktu sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya dan untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnah. Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

” Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya.” (Muttafaq `alaih).
10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,
bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan
kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:

“Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku, belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku kesehatan dan tutupilah kekuranganku.”
Hendaknya thuma’ninah (berhenti sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar berada pada posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i`tidal sebelum ruku`, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i`tidalnya sesudah ruku` dan ketika duduk di antara dua sujud.
11. Sujud yang kedua sambil bertakbir,
dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.
12. Mengangkat kepala (bangun) sambil bertakbir,
dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do’a.
Lalu bangkit dan berdiri untuk melakukan raka`at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika memungkinkan, dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas lantai, kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan pada raka`at yang pertama. Tidak boleh bagi seorang ma’mum menda-hului imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari tindakan seperti itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi ma`mum, gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak berbarengan, dan harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

” Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia ruku` maka ruku`lah kalian, dan apabila ia membaca: “Sami`allahu liman hamidah”, maka bacalah: “Rabbana wa lakal-hamdu”, dan apabila ia sujud, maka sujudlah kalian” (Muttafaq `alaih).
13. Jika shalat itu adalah shalat dua raka`at, seperti shalat Subuh, shalat Jum`at dan shalat `Id, maka duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu pada kaki kiri, tangan kanan diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdo’a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk lingkaran dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali, karena kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara yang kedua pada saat yang lain. Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas (ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:

Kemudian dilanjutkan dengan membaca:

Lalu memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:

Kemudian berdo’a, memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo`a untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu shalat wa-jib ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliu bersabda:

“Kemudian hendaknya ia memilih do`a yang lebih disukai, lalu berdo`a”
Do`a yang disebutkan dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan dan salam dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:

14. Jika shalat yang dikerjakan adalah tiga raka`at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka`at, seperti shalat Zhuhur, `Ashar dan Isya’, maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut di atas dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian bang-kit dengan bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak dan membaca Allahu Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan di atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.
Jika ia membaca surah atau ayat pada raka`at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari Abu Sa`id radhiyallahu ‘anhu.
Dan jika tidak membaca shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena hukumnya sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah raka`at ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah raka`at keempat dari shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’, berikut dengan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan dan kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo`a.
Dan di antara do`a yang diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam kesempatan-kesempatan lainnya adalah:

” Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api Neraka”.
Karena ada hadits shahih yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Kebanyakan dari do`a-do`a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.
Sebagaimana telah disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka`at, hanya saja posisi duduk saat ini adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukkan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan: dan salam ke kiri seraya mengucapkan:
Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah tiga kali, membaca:

“Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMu-lah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya kecuali kemuliaan itu dari Engkau. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya; kepunyaanNya lah kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya sekalipun orang-orang kafir tidak suka”.
Kemudian bertasbih (mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:

“Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Lalu membaca ayat Kursi, Surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai shalat. Dan dianjurkan (disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di atas, terutama setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:

“Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Semua itu berdasarkan hadits shahih dari Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik menghadap para ma’mum sesudah beristighfar 3 kali dan mengucapkan:

“Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan”.
Kemudian membaca dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits shahih yang dari `Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah, tidak wajib.
Disunnahkan pula bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat Maghrib, 2 raka`at sesudah Isya dan 2 raka`at sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka`at, yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya melakukan shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim maupun di waktu bepergian. Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik”. (Al-Ahzab: 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.(HR. Bukhari).
Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib.” (Hadits ini disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim)
Menjaga shalat rawatib dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk Surga, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah radhiyallahu ‘anhu sesungguh-nya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka`at selain dari shalat wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga.”
Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan) hadits di atas sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
Jika ia melakukan 4 raka`at sebelum shalat Ashar, 2 raka`at sebelum Maghrib, dan dua raka`at sebelum shalat Isya`, maka itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka`at sebelum Ashar”. (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah, sanad hadits tersebut shahih).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

” Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki.” (HR. Al-Bukhari)
Dan jika shalat 4 raka`at setelah shalat Zhuhur dan 4 raka`at sebelumnya, maka itu pun baik pula, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang menjaga 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 4 raka`at sesudahnya, maka ia diharamkan oleh Allah atas api Neraka.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih dari Ummi Habi-bah radhiyallahu ‘anhu)
Maksudnya adalah, ia menambah 2 raka`at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka`at sebelumnya dan 2 raka`at sesudahnya. Maka jika ia melakukan dua rak`at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah tersebut.
Dan Allahlah Pemberi taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan para shahabatnya serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.

RISALAH KEDUA
KEHARUSAN MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU
DENGAN BERJAMA`AH

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditujukan kepada siapa saja yang melihat buku ini dari kaum muslimin ..
Semoga Allah memberi mereka taufiq terhadap segala hal yang mengandung keridhaanNya, dan semoga Dia menghimpunku dan mereka dalam himpunan orang-orang yang takut dan bertaqwa kepadaNya. Amin.
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, waba`du:
Telah sampai berita kepadaku bahwasanya banyak kaum muslimin yang mengabaikan dalam melakukan shalat wajib secara berjama`ah, mereka berdalih dengan pendapat sebagian ulama yang menggampangkan hal ini. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan betapa besarnya permasalahan ini dan betapa sangat penting; dan tidak diragukan lagi bahwa mengabaikan shalat berjamaah adalah suatu kemungkaran yang sangat besar dan bahayanya pun fatal. Maka tugas dan kewajiban para ulama adalah memberikan penjelasan dan peringatan, terhadap pengabaian tersebut yang merupakan kemungkaran nyata, yang tidak boleh didiamkan.
Dan sudah dimaklumi bersama, bahwasanya tidaklah layak bagi seorang muslim menganggap remeh suatu perkara yang kedudukannya dimuliakan oleh Allah di dalam Kitab Sucinya, dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berulang kali Allah Ta’ala menyebutkan shalat di dalam Kitab Sucinya, Dia tinggikan kedudukannya, Dia perintahkan agar memelihara dan melaksanakan-nya dengan berjama`ah. Dan Dia peringatkan bahwa meremehkan dan bermalas-malasan dalam melaku-kannya merupakan ciri (sifat) orang-orang munafiq, sebagaimana firmanNya:
Peliharalah segala shalat (mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (Al-Baqarah; 238).
Dan bagaimana manusia akan mengetahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, padahal ia telah meninggalkan shalat berjama`ah bersama-sama suadara-saudaranya (kaum muslimin) dan menganggap remeh kedudukannya. Padahal Allah telah berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku`. (Al-Baqarah: 43)
Ayat di atas secara tegas menjelaskan kewajiban melakukan shalat wajib dengan berjama`ah dan me-nyertai shalat orang-orang yang shalat; dan sekiranya yang dimaksud oleh ayat tersebut hanya menegak-kannya saja, maka tidak jelaslah korelasi gamblang pada ujung ayat (dan ruku`lah kalian bersama-sama orang-orang yang ruku`), karena Allah telah mem-erintahkan agar menegakkannya pada awal ayat.
Dan Dia pun berfirman:
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah me-reka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendiri-kan shalat bersama-sama mereka, maka hendak-lah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apa bila mereka(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hen-daklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. (An-Nisa’: 102).
Pada ayat di atas Allah mewajibkan shalat berjama`ah dalam kondisi perang dan penuh keta-kutan, maka bagaimana dalam kondisi damai? Kalau sekiranya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama`ah, niscaya para tentara yang berbaris menghadang musuh dan orang-orang yang terancam serangan musuh itu lebih berhak untuk diperboleh-kan meninggalkan shalat berjama`ah. Oleh karena hal itu tidak terjadi (Baca: tidak diperbolehkan mening-galkan shalat berjama`ah), maka dapat kita ketahui bahwa shalat berjama`ah itu termasuk kewajiban yang sangat penting, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun meninggalkannya.
Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim ter-dapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Ra-sulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh, aku telah bertekad untuk menyuruh (para shahabat) melakukan shalat, dan aku suruh seseorang untuk mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama`ah, untuk membakar rumah mereka dengan api. (Al-Hadits).
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Kalau sekiranya tidak karena istri-istri dan anak-anak berada di dalam rumah mereka, niscaya aku bakar rumah mereka.”
Di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama`ah (di masa kami) kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau orang sakit. Padahal ada di antara yang sakit berjalan de-ngan diapit oleh dua orang untuk mendatangi shalat berjama`ah”.
Dan dia juga berkata:

” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah agama, dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya”.
Dan di dalam Shahih Muslim juga dia berkata:

“Barangsiapa yang ingin berjumpa Allah di kemudian hari dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat lima waktu ini dengan melakukannya dimana saja ada seruan adzan, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan (mensyari`atkan) jalan-jalan menuju hidayah (petunjuk-petunjuk agama), dan sesungguhnya melakukan shalat lima waktu dengan berja-ma’ah adalah termasuk jalan-jalan menuju hidayah. Maka sekiranya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang lalai melakukannya di rumah, maka berarti kalian te-lah meninggalkan sunnah (ajaran) nabi kalian, dan jika kalian meninggalkan sunnah nabi kali-an, niscaya kalian sesat. Dan tiada seseorang bersuci (berwudhu), lalu melakukannya dengan baik (sempurna), kemudian ia datang ke salah satu masjid dari masjid-masjid yang ada ini, melainkan Allah mencatat baginya satu keba-jikan untuk setiap langkah yang ia ayunkan, dan Dia mengangkatnya satu derajat karena langkah itu, serta Dia hapuskan dari padanya satu dosa. Sesungguhnya, kami telah menyaksikan, bahwa tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah (di masa kami), kecuali orang munafiq yang sudah jelas kemunafikannya. Dan sesungguhnya ada orang yang diapit oleh dua orang menuju masjid hingga didirikan di shaf.”
Di dalam shahih Muslim juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang buta yang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Apakah kamu mendengar seruan adzan? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi bersabda: Kalau begitu penuhi seruan itu.”
Dan juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

“Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, lalu ia tidak datang (memenuhi seruan shalat berjama`ah itu), maka tidak sah shalatnya, kecuali karena ada udzur”.
Suatu ketika Ibnu Abbas ditanya: Apa udzur itu? Ia menjawab: Takut (serangan musuh) atau sakit.
Dan hadits-hadits yang menunjukkan tentang kewajiban shalat berjama`ah dan kewajiban melaku-kannya di masjid-masjid yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan namaNya, sangat banyak sekali. Maka kewajiban setiap muslim adalah mem-perhatikan masalah ini dan segera melakukannya serta menganjurkan dan menasihati anak-anak, keluarga dan para tetangga serta saudara-saudaranya yang seiman untuk melakukan perkara ini, sebagai ketaatan kepada perintah Allah dan RasulNya, dan supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dan jauh dari sifat-sifat orang-orang munafiq yang dinyatakan oleh Allah dengan sifat-sifat yang tercela, yang di antaranya adalah kela-laian mereka dalam melakukan shalat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidak-lah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini(orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu(orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. (An-Nisa’: 142-143)
Dan sesungguhnya meninggalkan shalat ber-jama`ah merupakan penyebab utama dari pengabaian pelaksanaan shalat secara keseluruhan.
Sudah dimaklumi bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekafiran dan kesesatan serta keluar dari Islam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim di da-lam kitab Shahihnya bersumber dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir”. (HR. Imam Ahmad dan Ashabus sunan dengan sanad shahih).
Ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang kedudukan shalat, kewajib-an memeliharanya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari`atkan Allah serta peringatan keras terha-dap pengabaiannya sangat banyak. Maka kewajiban setiap muslim adalah memelihara (pelaksanaan)nya tepat pada waktunya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari`atkan Allah bersama saudara-saudaranya di masjid-masjid, sebagai tanda kepatuhan kepada Allah Ta’ala dan rasulNya, dan agar terhindar dari murka Allah dan kepedihan adzabNya.
Dan apabila kebenaran dan dalil-dalinya telah jelas, maka tidak boleh bagi seorang pun menyim-pang darinya karena pendapat si Fulan atau si Fulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat ten-tang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa’: 59)
Dan firmanNya:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63).
Sudah tidak diragukan lagi bahwa shalat berja-a`ah itu mengandung faidah yang sangat banyak dan maslahat yang sangat jelas di antaranya adalah saling mengenal (ta`aruf ), saling menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, memberi dorongan kepada orang yang lalai, mengajar orang yang bodoh, mem-bongkar kemarahan orang-orang munafiq dan men-jauhi jalan mereka, menampakkan syi`ar-sy`iar agama kepada segenap hamba-hambaNya, berdakwah di jalan Allah dengan lisan amal, dan faidah lain yang masih banyak.
Sebagian orang ada yang bergadang di malam hari sehingga terlambat melakukan shalat Subuh, dan sebagian lagi ada yang meninggalkan shalat Isya`. Tentu, hal seperti itu merupakan kemungkaran besar dan tasyabbuh (meniru perbuatan) orang-orang munafiq, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditem-patkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan men-dapat seorang penolong pun bagi mereka. (An-Nisa: 145).
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sa-ma, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma`ruf, dan mereka menggenggamkan tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasiq. Allah mengancam orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah Neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka adzab yang kekal. (At-Taubah 67-68).
Dan Allah berfirman tentang mereka:
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain-kan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak pula menaf-kahkan harta mereka, melainkan dengan rasa enggan. Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan memberi harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah-54-55).
Maka wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan waspada dari menyerupai (meniru-niru) orang-orang munafiq baik perbuatan, perkataan dan kemalasan mereka dalam menunaikan shalat dan pengabaian mereka dalam melakukan shalat Isya` dan Subuh dengan berjama`ah, agar tidak dihimpun ber-sama mereka.
Dalam riwayat hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ber-sabda:

” Shalat yang paling berat menurut orang-orang munafiq adalah shalat Isya` dan shalat Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ter-kandung pada keduanya, niscaya mereka akan datang untuk melakukannya (secara berja-ma`ah) sekalipun dengan merangkak”. (Muttafaq alaih).
Dan sabdanya:

“Barangsiapa meniru-niru (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. (HR. Imam Ahmad, bersumber dari Abdullah bin Umar shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad hasan).
Semoga Allah memberi taufiq kepadaku dan kepada pembaca menuju keridhaanNya dan kebaikan di dunia dan akhirat, dan semoga Dia melindungi kita dari kejahatan nafsu, amal-amal buruk kita dan dari perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir dan munafiq. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

RISALAH KETIGA
HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi dan rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para shahabatnya, wa ba`du:
Berikut ini adalah uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat bagi orang sakit.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap shalat, karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh, pakaian atau tempat shalat, keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat sahnya shalat. Maka apabila seorang muslim hendak melakukan shalat, ia wajib berwudhu (bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia berhadats besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja’ (bersuci) dengan air atau beristijmar dengan batu jika kencing atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.
Dan berikut ini uraian tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:
Bersuci dengan air dari apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak adalah wajib.
Dan tidak diwajibkan (kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang wajib baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja’ itu disyari`atkan untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur dan keluar angin itu tidak ada najis.
Istijmar adalah pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu yang serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah batu yang suci dan bersih, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahihnya bersabda:

“Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya”.
Dan beliu juga bersabda:

“Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya” (HR. Abu Daud).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari tiga batu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tidak boleh beristijmar dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang haram.
Afdhalnya adalah beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan materi najis, sedangkan air mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini lebih suci.
Seseorang boleh memilih antara beristinja’ dengan air atau beristijmar dengan batu dan benda yang serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk ke jamban, dan aku bersama anak sebaya denganku memba-wa bejana berisi air dan tongkatnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristinja dengan air itu”. (Muttafaq alaih).
Dan dari `Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang: “Suruhlah suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku malu kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu ‘anhu selalu melakukannya”. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih”.
Apabila memilih salah satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat (najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam membersihkan. Dan seandainya memilih bersuci dengan mengguna-kan batu, maka boleh dengan syarat menggunakan tiga batu yang dapat membersihkan tempat (najis).
Jika tiga batu tidak cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan”.
Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena Salman berkata di dalam haditsnya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan tangan kanan”.
Dan beliau bersabda:

” Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing, dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan”.
Jika tangannya patah atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya, istijmar dan istinja dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih sempurna.
Ajaran Islam (Syari`at Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam peribadatan sesuai dengan udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya tanpa kesulitan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Hajj: 78).
Dan firmanNya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (Al-Baqarah: 185).
Dan firmanNya:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu”. (At-Taghabun:16).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian”.
Dan beliau juga bersabda:

“Sesungguhnya agama itu mudah”.
Orang sakit, apabila ia tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh ber-tayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan telapak tangannya; karena Allah berfirman:
“Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah itu. (Al-Ma`idah: 6).
Orang yang tidak mampu menggunakan air kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang yang tidak memperoleh air, karena firman Allah Ta’ala:
“Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut ke-mampuan kalian”. (At-Taghabun: 16).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir:

“Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sam-bil menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya.
Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah bersih yang berdebu.
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya”.
Ada beberapa kondisi orang sakit dalam hal bersuci:
1. Apabila sakitnya ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan air, atau penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses penyembuhannya, atau tidak menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius seperti pusing, sakit gigi atau penyakit lainnya yang serupa; atau orang sakit itu masih dapat mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka dalam kondisi seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu dibolehkan untuk menghindari bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang membahayakan; dan karena ia juga memperoleh air. Dengan demikian, ia wajib meng-gunakan air.
2. Jika ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan akan timbulnya penyakit lain yang dapat membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan hilang-nya manfa`at, maka dalam kondisi seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, se-sungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (An-Nisa’: 29).
3. Jika ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada orang yang mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi-nya bertayamum. Kalau dia tidak dapat bertayamum, maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika tubuh, pakaian atau tempat tidurnya terkena najis, sementara ia tidak mampu menghilangkan atau bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat dalam keadaan seperti itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menu-rut kemampuan kalian”.
Dan tidak boleh baginya menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.
4. Bagi orang yang luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat mem-bahayakan dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum, karena dalil-dalil di atas; akan tetapi jika ia memungkinkan untuk mencuci bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian itu wajib dan bagian yang lain disucikan dengan tayamum.
5. Apabila si sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada orang yang mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau tayamum), dan tidak ada alasan baginya untuk menunda waktu shalat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan kalian”.
6. Bagi orang yang menderita penyakit beser (kencing terus menerus) atau pendarahan yang terus-menerus atau selalu buang angin, sedangkan pengobatan tidak pernah menyembuhkannya, maka ia wajib berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk waktu, dan mencuci bagian tubuh atau pakaian yang terkena kotorannya, atau memakai pakaian bersih pada setiap kali shalat, jika hal itu memungkinkan; sebab Allah telah berfirman:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj: 78).
Dan firmanNya:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”. (Al-Baqarah: 185).
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila aku perintah kalian melakukan suatu perkara, maka lakukanlah ia menurut kemam-puan kalian”.
Dan hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk mencegah tersebarnya air seni atau darah ke pakaian, tubuh atau tempat shalatnya.
Dan diperbolehkan baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan shalat sunnat apa saja atau membaca Al-Qur`an. Lalu apabila waktu telah habis, wajib berwudhu’ lagi atau ber-tayamum jika tidak dapat berwudhu’, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh wanita yang menderita istihadhah (keluar darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar berwudhu’ pada setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang keluar pada waktu itu tidak apa-apa asalkan ia berwudhu’ sesudah masuk waktu (shalat).
Jika pada anggota tubuh ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup mengusap di atas pembalut tersebut pada saat berwudhu’ atau mandi dan mencuci bagian anggota yang lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota yang dibalut itu membahayakan, maka cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian yang tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.
Tayamum batal dengan setiap hal yang mem-batalkan wudhu’ atau karena adanya kemampuan untuk menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak ada air. Wallahu a`lam.
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT:
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hen-daknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring mi-ring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telen-tang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada `Imran bin Hushain:

“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring”. (HR. Bukhari).
Dan Imam An-Nasa’i menambahkan:

“… lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang”.
Dan barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisya-rat; karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu’.`”. (Al-Baqarah: 238).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalatlah kamu sambil berdiri”.
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu”. (At-Taghabun: 16).
Dan jika pada matanya terdapat penyakit, se-mentara para ahli kedokteran yang terpercaya menga-takan: “Jika kamu shalat bertelentang lebih memu-dahkan pengobatanmu”, maka boleh shalat telentang.
Barangsiapa tidak mampu ruku` dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`.
Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.
Jika ia tidak dapat membungkukkan pung-gungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semam-punya hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya.
Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat de-ngan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (ber-akal), karena dalil-dalil tersebut di atas.
Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau ber-isyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.
Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melaku-kan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikan-nya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Seba-gaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”. Lalu beliau mem-baca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu”. (Thaha: 14).
Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keada-an bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunai-kan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedang-kan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia”.
Dan sabdanya:
“Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah”
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagai-mana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.
Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh mema-jukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.
Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.
Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia,
Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Harap Cantumkan Dicopy dari :

Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta – Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
http://www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id

Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!

Hudzaifah.org – Semoga Allah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Keinginan kita untuk bisa menghafal Alquran adalah sesuatu yang mulia. Terkait dengan itu, Allah Swt. berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ(17)
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (54: 17).

Dalam ayat di atas tedapat jaminan untuk dapat menghafal al-Quran bagi yang berusaha menghafalkannya. Imam Qurtubi dalam menjelaskan ayat tersebut menyatakan sebagai berikut: ”Artinya Aku (Allah) memudahkan menghafalnya dan membantu bagi yang berusaha menghafalnya. Adakah orang yang berusaha menghafalkannya, sehingga dimudahkan dalam menghafalnya?”. (lihat tafsir al-Qurtubu: surat al-Qamar).

Nah, untuk bisa menghafal diperlukan sejumlah kaidah seperti:

o Memilih waktu dan tempat yang tepat dan kondusif

o Mendahulukan bacaan yang benar (tajwid) atas hafalan

o Menggunakan satu jenis mushaf saja, tidak berganti-ganti

o Melakukan pengulangan yang rutin, walaupun sedikit daripada borongan

o Dalam teknik menghafal ada beberapa metode yang sudah akrab di kalangan penghafal al Qur’an yaitu:
1. Metode talqin (guru membaca lalu murid menirukan dan jika salah dibenarkan).

2. Tasmi`(murid memperdengarkan hafalannya di depan guru), biasanya disebut setoran hafalan.

3. Muraja`ah (pengulangan hafalan), teknisnya sangat banyak, bisa dilakukan sendiri dengan merekam atau memegang al-Qur’an di tangannya, bisa dengan berpasangan. Ini sangat berguna untuk memperkuat hafalan.

4. Tafsir (mengkaji tafsirnya ), baik secara sendiri maupun melalui guru. Hal ini sangat membantu menghafal atau memperkuat hafalan, terutama bila surat atau ayat tersebut dalam bentuk kisah.

5. Tajwid (perbaikan bacaan dan huku

Hudzaifah.org – Rasulullah SAW menasehati seorang sahabatnya dengan kata-kata, “Jangan marah…!” Beliau mengulanginya sampai 3 kali dan ketika ada seorang yang marah padahal Rasulullah ada bersamanya, beliau menyuruh orang itu berlindung kepada Allah dari setan yg terkutuk.

Kemarahan adalah salah satu faktor yang menyebabkan depresi dan kesedihan.

Berikut ini ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan kita:

1. Lawanlah perasaan marah itu seolah-olah kemarahan itu adalah musuh kita sendiri.

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya & memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran 3:134)

“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syura 42:37)

2. Berwudhulah, karena kemarahan itu adalah bara api neraka, ia bisa dipadamkan dengan air.

3. Jika kita berdiri duduklah, dan jika kita duduk berbaringlah.

4. Ketika kita sedang marah, tetaplah diam.

5. Ingatkan diri kita sendiri tentang pahala bagi mereka yang bisa meredam kemarahan dan suka memberi maaf.

(disadur dari buku “Don’t Be Sad” karangan DR. ‘Aidh bin Abdullah al Qarni, MA)

MediaMuslim.Info – Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.
Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)

Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.

Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”

Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:
“Bila cahaya wajah berkurang,
maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang
Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.”

Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Alloh-lah yang paling berhak kita malui?

Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus Ditumbuhkan
Pengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.

(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)

Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya.
Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Lalu bagaimana solusi bagi orang yang sudah terjerat dari hawa nafsu agar terlepas dari jeratannya? Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut :
• Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya.
• Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.
kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniaannya meminum seteguk kesabaran tersebut. Karena hakikat keberanian tersebut adalah sabar barang sesaat! sebaik-baik bekal dalam hidup seseorang hamba adalah sabar!.
• Selalu memeperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

• Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.
Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.
• Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaanya daripada kelezatan kemaksiatan.
• Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah azza wa jalla suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal). Allah berfirman : Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shaleh. (At-Taubah:120). Dan salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya dan menaklukannya (musuh kekasih tersebut).
• Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar, yaitu beribadah kepada Allah pencipta dirinya. Perkara tersebut tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.
Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabiat yang dimilikinya, hewan tahu mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang membahayakan. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya, jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau mengetahui tetapi lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik dari pada dirinya.

(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari Asbaabut Takhallush minal Hawaa oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah)

Seri Mutiara Al Hikam
Oleh Aa Gym
Syaikh Ahmad Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Al Hikam,

“Amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa) nya adalah tempat terdapatnya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan”

Bab tentang ikhlas adalah bab yang mutlak dan paling penting untuk dipahami dan diamalkan, karena amal yang akan diterima Allah SWT hanyalah amal yang disertai dengan niat ikhlas.
“Tidaklah mereka diperintah kecuali agar berbuat ikhlas kepada Allah dalam menjalankan agama”.

Oleh karenanya, sehebat apapun suatu amal bila tidak ikhlas, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan ikhlas.
Tidaklah heran seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keikhlasan.

Ciri-ciri dari orang yang memiliki keikhlasan diantaranya :

1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa,
Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya disaat dia berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena ia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu berubah tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari Allah SWT.

2.Tidak tergantung / berharap pada makhluk
Sayyidina ’Ali pun pernah berkata, orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.

3.Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
Diriwayatkan bahwa Imam Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya beliau mendapatkan kabar bahwa amalan yang besar yang pernah beliau lakukan diantaranya adalah disaat beliau melihat ada seekor lalat yang masuk kedalam tempat tintanya, lalu beliau angkat lalat tersebut dengan hati-hati lalu dibersihkannya dan sampai akhirnya lalat itupun bisa kembali terbang dengan sehat. Maka sekecil apapun sebuah amal apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan yang muncul pada selain Allah, maka akan menjadi amal yang sangat besar dihadapan Allah SWT.

4. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia
Mungkin ketika kita mengaji dilingkungan orang banyak maka kita akan mengaji dengan enaknya, lama dan penuh khidmat, ketika kita shalat berjamaah apalagi sebagai imam kita akan berusaha khusyu dan lama, tapi apakah hal tersebut akan kita lakukan dengan kadar yang sama disaat kita beramal sendirian ? apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak dan lebih khusyuk maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.

5. Tidak membedakan antara bendera, golongan, ras, atau organisasi
Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari keberadaannya dan segala aktivitasnya, namun pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi atau instansi tempat kerja itu relatif dan akan senantiasa berubah, banyak orang yang pernah dianggap sebagai pahlawan namun seiring waktu berjalan adakalanya berubah menjadi sosok penjahat yang patut diwaspadai. Maka tiada penilaian dan pengakuan yang paling baik dan yang harus senantiasa kita usahakan adalah penilaian dan pengakuan dari Allah SWT.

Begitu besar pengaruh orang yang ikhlas itu, sehingga dengan kekuatan niat ikhlasnya mampu menembus ruang dan waktu. Seperti halnya apapun yang dilakukan, diucapkan, dan diisyaratkan Rasulullah, mampu mempengaruhi kita semua walau beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu namun kita senantiasa patuh dan taat terhadap apa yang beliau sampaikan.

Bahkan orang yang ikhlas bisa membuat iblis (syaitan) tidak bisa banyak berbuat dalam usahanya untuk menggoda orang ikhlas tersebut. Ingatlah, apapun masalah kita kita janganlah hati kita sampai pada masalah itu, cukuplah hanya ikhtiar dan pikiran saja yang sampai pada masalah tersebut, tapi hati hanya tertambat pada Allah SWt yang Maha Mengetahui akan masalah yang kita hadapi tersebut.

Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan-Nya sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang ikhlas. Amiin.

Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : “Apabila Allah mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.

Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang bersum-ber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu ia menuturkan: “Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.

Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu ‘anhu telah bersabda: “Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat.” ( HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya”. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu ‘anhu mengatakan, Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta’ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dariumatku”. (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka” (HR. Al-Bukhari).

Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menu-tup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya.Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng-gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : “Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong”. (Muttafaq’alaih).

Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallaahu ‘anha di dalam haditsnya berkata: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci’. (Muttafaq’-alaih).

Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca :”Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, katrena hadits mengatakan: “Pakaialah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu …” (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).

Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.

Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: “Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah”. Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya”. (Muttafaq’alaih).

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya”. Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”. Aisyah RA menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja”. Apakah Itu? “, tanya Abubakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi keujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana”, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu ? “. Abubakar RA menjawab, “Aku orang yang biasa.” “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatang! iku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”. Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA, dan saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim . Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq. Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.

Diantara kaum kita ada yang hobi mencaci-maki. Rasulullah, jarang membalas cacian orang. Di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan
Seorang laki-laki datang menemui Abu Bakar. Tanpa ba-bi-bu lelaki tersebut mencacimaki salah seorang sahabat nabi yang sangat beliau cintai ini. Rasulullah Salallaahu alaihi wassalam yang saat itu tengah duduk di sampingnya, tampak terheran-heran sambil tersenyum melihat Abu Bakar diam saja.
Namun ketika kata makian semakin banyak Abu Bakar pun meladeninya. Rasulullah bangkit dengan wajah tidak suka dengan sikap Abu Bakar itu. Beliau berdiri dan
Abu Bakar mengikutinya.
“Ya Rasulullah, tadi dia mencaci makiku namun engkau tetap duduk. Tapi ketika kuladeni sebagian kata-katanya, engkau marah dan berdiri. Mengapa demikian ya Rasulullah?” tanya Abu Bakar.
“Sesungguhnya bersamamu ada malaikat, kemudian dia berpaling dari padamu. Ketika engkau meladeni perkataannya, datanglah syaitan dan aku tak sudi duduk bersama syaitan itu,” jawab Rasul. Kemudian beliau meneruskan nasihatnya, “Tidak teraniaya seseorang karena penganiayaan yang ia sabar memikulnya kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan dan kebesaran.” (HR. Imam Ahmad dari Abu Kabsyah Al Anmari)
Ridha
Tidak ada suatu pun kejadian, bahkan selembar daun yang terjatuh pun, melainkan sudah di dalam skenario Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu pula apa pun yang menimpa kita dalam hidup keseharian. Mulai dari peristiwa besar hingga yang kecil semua telah direncanakan oleh Allah.
Karena itu sikap orang yang beriman dalam menghadapi segala kejadian diterimanya dengan hati lapang dan ridha; sebagai hidangan dari Allah. Musibah yang secara lahiriah merugikan, bagi orang yang bersabar justru ladang mendapatkan pahala di sisi-Nya.
“Kami (Allah) akan memberikan kepada orang- orang yang berhati sabar itu pahala menurut amalan yang telah mereka kerjakan dengan sebaik- baiknya.” (Surat. An Nahl: 96)
Salah satu kejadian yang mungkin sering terjadi dalam pergaulan adalah perkataan yang tidak menyenangkan, caci maki misalnya. Agar tidak sia-sia, menghadapi hal seperti ini perlu sikap yang tepat. Sikap Abu Bakar yang mampu bersabar menahan diri dan diam saja, membuat Rasul tersenyum. Namun pada saat Abu Bakar mulai meladeni caci makian, Rasul pun menunjukkan sikap tidak menyukainya. Padahal yang dilakukan Abu Bakar hanya meladeni sebagian kata-katanya saja. Lalu bagaimana dengan sikap kebanyakan kita selama ini?
Boro-boro menahan diri. Bahkan seringkali lebih emosional dan balasan spontan yang dilancarkan justru lebih gencar dari umpan caci makiannya. Dengan muka merah dan suara marah meledak-ledak meluncurlah kata-kata yang lebih tajam lagi. Bukan hanya menjawab sebagian kata-kata, tetapi satu kata malah dibalas dengan sepuluh kata. Naudhubillah.
Sikap emosional dan kehilangan kendali seperti itu, merupakan tanda kurang ridha dengan kejadian. Kita lupa bahwa apa yang terjadi sesungguhnya merupakan kiriman Allah untuk menguji sikap kita. Saat emosional seperti itu pusat orientasi bukan lagi ingin meraih ridha Allah, tetapi sekadar melampiaskan hawa nafsu. Dar der dor yang penting terpuaskan. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana sikap Rasul andai bersama kita. Yang beliau lakukan barangkali tidak hanya bangkit dan berdiri, tapi berlari menjauh. Sebab setan yang merubung kita terlalu banyak.
Dengan menyadari bahwa tiada kejadian yang kebetulan kecuali atas kehendak Allah, hati akan ridha. Sikap inilah yang dibutuhkan agar kita tetap terkendali.
Bayangkanlah bahwa kita sedang menyaksikan episode sinetron tiga dimensi luar biasa yang diskenario oleh Allah. Nikmatilah caci makiannya seperti sedang menyaksikan bintang yang berakting di layar kaca. Bila mulai terpancing, ucapkan istighfar dan orientasikan hati pada ridha Allah, tentu akan membuat pikiran lebih tenang. Dengan suasana spiritual seperti itu malaikat yang bersama kita tetap mendampingi.
Sikap marah-marah dan emosional, justru menjerembabkan kita pada kenistaan. Maunya membela kehormatan, tetapi dengan ucapan balasan yang lebih tajam justru menunjukkan kualitas ruhani kita. Malaikat malah menyingkir dan yang datang merubung malah setan. Tidak hanya kehilangan kehormatan di depan manusia, tetapi juga di depan Allah dan Rasulnya.
Memilih
Seringkali respon tindakan seseorang ditentukan oleh keadaan. Kalau yang diterima caci maki maka reaksinya juga caci maki. “Yah, kami tidak ada pilihan lagi kecuali membalasnya. Dia telah menghina kehormatan kami, maka kami pun menghinanya untuk membela diri.” Demikian alasan yang dikemukakan.
Manusia sesungguhnya tidak semata ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Bahkan sebagian orang malah mampu mempengaruhi lingkungan.
Mereka mencairkan lingkungan yang beku, memperbaiki keadaan yang buruk. Menghadapi keadaan yang ada manusia diberi kemampuan memilih. Saat menghadapi caci maki, seorang dapat merenungkan dalam hati, apa tindakan terbaik yang ingin dilakukan; diam atau membalas.
“Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menentreramkan jiwa dan hati. Dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati.” (HR.Imam Ahmad)
Kita akan dapat memilih tindakan terbaik jika dilandasi sikap ridha. Dengan menyadari bahwa semua dari Allah akan membuat hati tetap bening dan pikiran juga jernih. Akhirnya yang muncul tindakan terpilih.
Suara hati yang mendorong nilai-nilai kebaikan tetap terdengar. Pikiran pun dapat memilih kata yang paling tepat dan lisan mengucapkannya dengan indah, tidak asal nerocos. Tentu saja akan berbeda halnya jika caci maki dihadapi dengan sikap emosional. Hati dikuasai hawa nafsu dan amarah sedangkan pikiran pun jadi kotor. Akhirnya yang mengalir di lisan adalah kata-kata kotor bahkan lebih tajam lagi.
Sebenarnya, seorang yang mencaci maki dengan kata-kata kotor tidak akan membuat orang lain rendah kecuali merendahkan dirinya sendiri. Kata-kata kotor yang keluar dari mulut, lebih menunjukkan siapa yang mengatakan dari pada siapa yang dikata-katai. Kotor kata-katanya, berarti kotor pula pikirannya. Jadi sebenarnya tanpa membalasnya, sudah cukup orang lain menilai siapa yang sesungguhnya lebih buruk itu. Tapi bila kita membalas caci makian itu dengan caci maki yang lebih tajam dan berlebihan, malah menunjukkan keburukan sisi jiwa kita. Sikap berlebihan dalam membalas itu justru membuat kita sama-sama terjerembab bersama orang yang mencaci itu.
Hikmah
Allah menghadapkan kita pada keadaan yang tidak kita senangi itu tentu ada hikmahnya. Dengan sikap ridha kita dapat menjadikan caci maki sebagai alat evaluasi diri. Tidak mudah lho melihat kekurangan diri. Dari yang dikatakan itu mungkin ada yang tidak sesuai, tapi beberapa bagian sebenarnya agak sesuai juga. Bahkan kalau mau jujur kita masih perlu bersyukur; bahwa Allah masih menutupi aib-aib kita. Apa yang dikatakan itu sebenarnya belum seberapa dari semua kekurangan kita. Dengan demikian kita terhindar dari sikap sombong dan sok sempurna. Kita tersadar merasa masih banyak kekurangan dan lebih terpacu lagi memperbaiki diri.
Dicacimaki juga memberi pengalaman tak telupakan. Ternyata kata-kata tajam itu bisa membuat hati ini terluka. Barangkali tanpa kita sadari kita pernah mencaci maki teman atau orang lain, dan kemudian melupakan begitu saja setelah melampiaskan. Padahal luka hati akibat caci maki itu sulit disembuhkan.
Nah, jika kita merasa tidak enak dicaci maki, sadarlah bahwa orang lain pun seperti itu juga. Karenanya terdorong dari pengalaman berharga itu segeralah bertobat dan mintalah maaf kepada orang yang pernah kau sakiti. Engkau tidak akan bisa menanggung beban di akhirat kelak menghadapi pengadilan Allah. Amal-amalmu habis beralih tangan pada orang lain yang kau dzalimi itu. Sedangkan dosa-dosa orang yang kau dzalimi ditimbunkan pada dirimu. Itulah orang yang bangkrut menurut Rasul.
Setelah mendapatkan hikmah yang sangat besar itu, kita pun dapat lebih berlapang dada. Caci makian yang menimpa kita itu ternyata seperti jamu. Meski terasa pahit, ternyata dapat menyehatkan jiwa. Oleh sebab itu kita perlu berlatih bagaimana sikap terbaik menghadapi caci makian agar kejadian yang diskenario Allah itu tidak sia-sia. Justru menjadi ladang kita mendapat kemuliaan dan kebesaran di sisi-Nya.
Dicontohkan dalam sejarah; kita ketahui Rasul pun tak luput mendapatkan makian bahkan lebih keras lagi. Penduduk Thaif yang diajaknya pada kebenaran tidak menyambutnya dengan baik, justru menyambutnya dengan olokan, lemparan batu dan potongan besi. Wajah, badan dan kaki beliau pun berdarah-darah. Namun yang dilakukan beliau tidak membalasnya tapi justru mendoakan; Allahummahdi qawmi. Innahum laa ya’lamuun.
”Ya Allah berilah petunjuk kaumku itu. Karena sesesungguhnya mereka tiada mengetahui.”
Caci makian tidak membuat beliau terhina, malah sebaliknya membuat namanya kian mulia dan besar. Coba bayangkan jika Rasul juga membalasnya dengan olokan emosional yang lebih tajam, tentu akan lain ceritanya.
Memang terasa sulit membayangkan. Namun bila kita menyadari hikmah yang demikian banyak di balik cacian.
Rasanya orang yang mencaci maki kita itu memang tak layak dibalas dengan cacian. Karena di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan dan kebesaran di sisi Allah yaitu dengan bersabar.
Jadi sudah selayaknya orang yang membukakan peluang kesadaran, dan kemuliaan itu kita maafkan. Bahkan kita bisa mendoakan semoga dia mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah menjadi lebih baik. Bukankah doa orang yang terdzalimi makbul? [Hanif Hannan. Tulisan ini diambil dari rubrik ’Hikmah’ majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Maraji’: http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4686&Itemid=1

Merampas dan mengambil hak orang lain dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah memancangkan pondasi-pondasi keadilan dan pembelaan bagi hak setiap orang agar mendapatkan dan mengambil haknya yang dirampas. Dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan semata-mata untuk jalan kebaikan dengan bimbingan karunia yang telah Alloh curahkan berupa perintah dan larangan. Kita tidak perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan pelanggaran hak di rumah beliau.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar kehormatan Allah Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang, maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR: Ahmad)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: “Suatu kali aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengenakan kain najran yang tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui, tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu miliki dari harta Alloh!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu mengabulkan permintaannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ketika Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas tunggangan. Beliau lantas berkata, yang artinya: Kembalikanlah selendang itu kepadaku, Apakah kamu khawatir aku akan berlaku bakhil? Demi Alloh, seadainya aku memiliki unta-unta yang merah sebanyak pohon ‘Udhah ini, niscaya akan aku bagikan kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan mendapatiku sebagai seorang yang bakhil, penakut lagi pendusta.” (HR: Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Merupakan bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah adalah berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.

Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong mereka untuk menyanggah setiap melihat orang yang keliru dan tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang berhak melakukan hal itu! Namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam yang lembut dan penyantun melarang mereka melakukan seperti itu, karena orang itu (pelaku kesalahan itu) jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih besar. Tentu saja, perilaku Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk diteladani.

Abu Hurairah radhiallahu anhu menceritakan: “Suatu ketika, seorang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid (tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas berdiri untuk memukulinya. Namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan: “Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan bukan untuk membuat kesukaran.” (HR: Al-Bukhari)

Kesabaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah layak menjadi motivasi bagi kita untuk meneladaninya. Kita wajib berjalan di atas manhaj (metode) beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa membela kepentingan pribadi.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada hari peperangan Uhud?” beliau menjawab, yang artinya: “Aku telah mengalami berbagai peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata Malaikat Jibril alaihissalam ada di sana. Lalu ia menyeruku: “Sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Alloh Subhanahu wata’ala telah mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki? jika kamu menghendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!” Beliau menjawab: “Tidak, justru aku berharap semoga Alloh Subhanahu wata’ala mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Alloh Subhanahu wata’ala semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada hari ini, sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru dalam berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya membela kepentingan pribadi yang justru hal itu merusak dakwah dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab itu, berapa banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!

Setelah bersabar dan berjuang selama bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang dicita-citakan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam sebuah syair disebutkan:
Bagaimanakah mungkin dapat diimbangi
seorang insan terbaik yang hadir di muka bumi.
Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya.
Semua orang yang mulia tunduk di hadapannya.
Para penguasa Timur dan Barat rendah di sisi-nya.

Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu anhu mengungkapkan: “Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdoa (yang artinya): “Ya Alloh, ampunilah kaumku! karena mereka kaum yang jahil.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada suatu hari ketika Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tengah melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui beliau untuk menuntut utangnya. Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang beliau sambil memandang dengan wajah yang bengis. Dia berkata: “Ya Muhammad, lunaskanlah utangmu padaku!” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu Umar Radhiallahu’anhu pun marah, ia menoleh ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya berkata: “Hai musuh Alloh, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak senonoh terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapanku!” Demi Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku!”

Sementara Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar radhiallaahu anhu dengan tenang. Beliau berkata, yang artinya: “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan dia untuk menuntut utangnya dengan cara yang baik pula. Wahai umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma.”

Melihat Umar radhiallahu anhu menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya: “Ya Umar, tambahan apakah ini? Umar radhiallahu anhu menjawab: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu!” Si Yahudi itu berkata: “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?” “Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar Radhiallahu’anhu balas bertanya. “Aku adalah Zaid bin Su’nah” jawabnya. “Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi. “Benar!” sahutnya. Umar lantas berkata: “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam ? Zaid menjawab: “Ya Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan, yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil, dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin menambah kemurahan hati-nya?” Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Alloh Subhanahu wata’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad . Umar berkata: “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam saja? sebab hartamu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad .” Zaid berkata: “Ya, untuk sebagian umat Muhammad . Zaid kemudian kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan kalimat syahadat “Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu, wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu”. Ia beriman dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR: Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan menshahihkannya).

Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar Muhammad . Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri mereka.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Suatu kali aku pergi melaksanakan umrah bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dari kota Madinah. Ketika tiba di kota Makkah, aku berkata: “Wahai Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, engkau mengqasar shalat namun aku menyempurnakan-nya, engkau tidak berpuasa justru aku yang berpuasa?” beliau menjawab: “Bagus, wahai ‘Aisyah!” Beliau sama sekali tidak mencela diriku.” (HR: An-Nasaai)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Kediaman Rasululloh
Izin telah diberikan, tibalah kita di dalam rumah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam. Cobalah layangkan pandangan sejenak ke sudut-sudut rumah, para sahabat radhiyallaahu anhum akan menggambarkan kepada kita situasi di dalamnya berupa peralatan dan perabotan dll. Kita maklumi bersama bahwa tidaklah diperkenankan melayangkan pandangan ke dalam kamar atau rumah orang lain. Namun tujuan kita di sini adalah untuk mengambil contoh dan teladan dari rumah yang mulia tersebut. Rumah dengan ketawadhu’an sebagai asasnya dan keimanan sebagai modalnya.
Dapat engkau lihat, dindingnya bersih dari gambar-gambar makhluk bernyawa yang banyak dipajang orang di rumah-rumah kebanyakan orang pada hari ini. Padahal Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, yang artinya: “Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat padanya anjing atau gambar.” (HR: Al-Bukhari)

Kemudian arahkan pandanganmu kepada perabotan rumah yang biasa dipakai beliau Shalallaahu alaihi wasalam sehari-hari. Diriwayatkan dari Tsabit ia berkata: Anas radhiyallaahu anhu memperlihatkan kepada kami sebuah gelas terbuat dari kayu yang tebal dan disepuh dengan besi. Ia berkata, yang artinya: “Wahai Tsabit, inilah gelas Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam .” (HR: At-Tirmidzi)

Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam biasa meminum air, nabidz, madu dan susu dengan gelas itu. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyalaahu anhu ia berkata, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam biasa bernafas tiga kali sewaktu minum.” (HR: Muttafaq ‘alaih) Yaitu bernafas di luar gelas. Beliau melarang bernafas di dalam gelas sewaktu minum dan beliau juga melarang meniup minuman. (Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits Riwayat At-Tirmidzi)

Adapun baju perang yang biasa beliau kenakan saat berjihad di medan peperangan, pada hari-hari yang keras dan penuh kesulitan, sudah tidak ditemukan lagi di rumah beliau. Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam telah menggadaikannya kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum, sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah radhiyalaahu anha. Ketika Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam wafat, baju perang itu masih ada di tangan orang Yahudi tersebut.

Beliau Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah membuat kaget keluarga atau membuat mereka takut. Namun beliau menemui keluarga dengan sepengetahuan mereka dan dengan memberi salam terlebih dahulu. (Lihat Zaadul Ma’aad II/ hal 381)

Perhatikanlah dengan saksama hadits Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam berikut ini: “Alangkah beruntungnya orang yang mendapat hidayah kepada Islam, lalu dia mencukupkan diri dengan kehidupan yang sederhana serta bersikap qana’ah.” (HR: At-Tirmidzi)

Simaklah baik-baik hadits yang agung berikut ini, yang artinya: “Barangsiapa yang aman sentosa di tengah-tengah kaumnya, sehat jasmaninya, lagi memiliki makanan pokoknya sehari-hari, maka seakan-akan ia telah meraih dunia dengan segala isinya.” (HR: At-Tirmidzi)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

MediaMuslim.Info – Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai keberanian yang mengagumkan dan tiada tandingannya dalam membela agama dan menegakkan kalimatullah Ta’ala. Beliau mempergunakan nikmat-nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang dicurahkan atas beliau pada tempat yang semestinya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah mengungkapkan hal itu dalam sebuah hadits, yang artinya: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorangpun kecuali dalam rangka berjihad di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita.” (HR: Muslim)
Di antara bukti keberanian beliau adalah kegigihan beliau dalam mendakwahkan agama Islam seorang diri menghadapi kaum kafir Quraisy dan pemuka-pemuka-nya. Demikian juga keteguhan beliau di atas keyakinan tersebut hingga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya. Beliau tidak pernah mengeluh atau berkata: “Tidak ada yang sudi menyertaiku, sedangkan orang-orang semuanya memusuhiku.” Akan tetapi beliau bersandar serta bertawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan tetap meneruskan perjuangan dakwah beliau.

Beliau adalah seorang pemberani dan sangat teguh dalam memegang dan melaksanakan pendirian. Ketika orang-orang lari bercerai berai, beliau tetap teguh bagaikan karang.

Beliau mengasingkan diri untuk beribadah di gua Hira’ selama beberapa tahun. Kala itu beliau belum merasakan gangguan dan orang-orang Quraisy pun belum memerangi beliau. Kaum kafir itu tidak menembakkan sebatang anak panah pun dari busurnya kecuali setelah beliau menyebarkan aqidah tauhid dan memerintahkan untuk memurnikan ibadah mereka kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Beliau sangat mengherankan ucapan kaum kafir sebagaimana yang difirmankan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab:”Alloh”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS: Yunus: 31)

Sementara itu mereka menjadikan berhala-berhala sebagai perantara antara mereka dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala firmankan, yang artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS: Az-Zumar: 3)

Padahal mereka juga meyakini tauhid Rububiyah, sebagaimana yang diungkapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” mereka akan menjawab: “Alloh”.

Wahai saudaraku, lihatlah praktek-praktek syirik yang bertebaran di seantero negeri-negeri kaum muslimin, seperti memohon kepada orang yang sudah mati, bertawassul dengan perantaraan mereka, bernadzar karena mereka, takut serta mengharap kepada mereka. Sampai-sampai terputus hubungan antara mereka dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala disebabkan kemusyrikan yang mereka lakukan. Mereka telah menempatkan orang-orang yang sudah mati setara dengan kedudukan Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (se-suatu dengan) Alloh, maka pasti Alloh mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS: Al-Maidah: 72)

Sekarang kita beranjak dari rumah beliau menuju gunung yang berada di sebelah utara. Itulah gunung Uhud, disitulah terjadi peristiwa besar yang menunjukkan keperkasaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan keteguhan serta kesabaran beliau atas luka yang diderita pada peperangan tersebut. Pada waktu itu wajah beliau yang mulia terluka dan beberapa gigi beliau patah serta kepala beliau terkoyak.

Sahal bin Sa’ad menceritakan kepada kita tentang luka yang diderita beliau . Ia berkata: “Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala, aku benar-benar mengetahui siapakah yang mencuci luka Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah yang menyiramkan airnya dan dengan apa luka itu diobati.” Ia melanjutkan: “Fathimah radhiyallahu ‘anha putri beliaulah yang mencuci luka tersebut, sementara Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu menyiramkan airnya dengan perisai. Namun ketika Fathimah radhiyallahu ‘anha melihat siraman air tersebut hanya menambah deras darah yang mengucur dari luka beliau, ia segera mengambil secarik tikar lalu membakarnya kemudian membungkus luka tersebut hingga darah berhenti mengucur. Pada peristiwa itu gigi beliau patah, wajah beliau terluka dan kepala beliau terkoyak lebar.” (HR: Al-Bukhari)

Al-Abbas bin Abdul Muththalib radhiallaahu anhu menceritakan kepahlawanan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peperangan Hunain. Ia berkata: “Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam justru memacu bighalnya ke arah pasukan kaum kafir, sementara aku terus memegang tali kekang bighal tersebut supaya tidak melaju dengan cepat. Saat itu beliau berkata: “Aku adalah seorang nabi bukanlah pendusta. Aku adalah cucu Abdul Muththalib.” (HR: Muslim)

Sementara itu, penunggang kuda yang gagah berani, yang sudah masyhur dan terkenal dengan kisah-kisah kepahlawanannya, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu menceritakan keberanian Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut: “Apabila dua pasukan sudah saling bertemu dan peperangan sudah demikian sengit, kamipun berlindung di belakang Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada seorangpun yang paling dekat kepada musuh daripada beliau.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah , silakan lihat di dalam Shahih Muslim III / no.1401)

Kesabaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah pantas dijadikan contoh dan teladan yang baik. Hingga akhirnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menegakkan pilar-pilar Islam dan melebarkan sayapnya di segenap pelosok jazirah Arab, negeri Syam dan negeri-negeri di seberang sungai Tigris. Hingga tidak tersisa satu rumahpun kecuali telah dimasuki cahaya Islam.

Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya aku telah mendapat berbagai teror dan ancaman karena membela agama Alloh . Dan tidak ada seorangpun yang mendapat teror seperti itu. aku telah mendapat berbagai macam gangguan karena menegakkan agama Alloh . Dan tidak seorangpun yang mendapat gangguan seperti itu. Sehingga pernah kualami selama 30 hari 30 malam, aku dan Bilal tidak mempunyai sepotong makanan pun yang layak untuk dimakan manusia kecuali sedikit makanan yang hanya dapat dipergunakan untuk menutupi ketiak Bilal.” (HR: At-Tirmidzi dan Ahmad)

Walaupun harta dan ghanimah serta perbenda-haraan dunia dari kemenangan yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau terus mengalir, namun Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewariskan sesuatupun kepada umatnya, tidak dinar maupun dirham, beliau hanya mewariskan ilmu. Itulah warisan nubuwat, barangsiapa yang ingin mengambilnya, maka silakan maju untuk mengambilnya dan selamat berbahagia menerima warisan yang agung itu.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dinar, tidak pula dirham, tidak meninggalkan kambing, tidak pula unta. Beliau tidak mewasiatkan harta apapun.” (HR: Muslim)

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Orang-orang yang keras hati tidak akan mengenal kasih sayang. Tidak ada sedikitpun kelembutan pada diri mereka. Hati mereka keras bagaikan karang. Kaku tabiat, baik ketika memberi maupun menerima. Kurang peka perasaan, lagi tipis peri kemanusiannya. Berbeda halnya dengan orang yang dikaruniai Alloh Ta’ala hati yang lembut, penuh kasih sayang lagi penuh kemurahan. Dialah yang layak disebut pemilik hati yang agung penuh cinta. Hati yang diliputi dengan kasih sayang dan digerakkan oleh perasaan yang halus.

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR: Al-Bukhari)

Kasih sayang tersebut tidak hanya terkhusus bagi kerabat beliau saja, bahkan beliau curahkan juga bagi segenap anak-anak kaum muslimin. Asma’ binti ‘Umeis Radhiallaahu anha –istri Ja’far bin Abi Thalib- menuturkan, yang artinya: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam datang menjengukku, beliau memanggil putra-putri Ja’far. Aku melihat beliau mencium mereka hingga menetes air mata beliau. Aku bertanya: “Wahai Rasululloh, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja’far?” beliau menjawab: “Sudah, dia telah gugur pada hari ini!” Mendengar berita itu kamipun menangis. Kemudian beliau pergi sambil berkata: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang berita musibah yang memberatkan mereka.” (HR: Ibnu Sa’ad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketika air mata Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menetes menangisi gugurnya para syuhada’ tersebut, Sa’ad bin ‘Ubadah Radhiallaahu anhu bertanya: “Wahai Rasululloh, Anda menangis?” Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Ini adalah rasa kasih sayang yang Alloh Ta’ala letakkan di hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba yang dikasihi Allah Ta’ala hanyalah hamba yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR: Al-Bukhari)

Ketika air mata Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallaahu anhu bertanya kepada beliau: “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Ta’ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR: Al-Bukhari)

Akhlak Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam yang begitu agung memotivasi kita untuk meneladaninya dan menapaki jejak langkah beliau. Pada zaman sekarang ini, curahan kasih sayang terhadap anak-anak serta menempatkan mereka pada kedudukan yang semestinya sangat langka kita temukan. Padahal mereka adalah calon pemimpin keluarga esok hari, mereka adalah cikal bakal tokoh masa depan dan cahaya fajar yang dinanti-nanti. Kejahilan dan keangkuhan, dangkalnya pemikiran serta sempitnya pandangan menyebabkan hilangnya kunci pembuka hati terhadap para bocah dan anak-anak. Sementara Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam, kunci pembuka hati itu ada di tangan dan lisan beliau. Cobalah lihat, Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam senantiasa membuat anak-anak senang kepada beliau, mereka menghormati dan memuliakan beliau. Hal itu tidaklah mengherankan, karena beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi.

Setiap kali Anas bin Malik melewati sekumpulan anak-anak, ia pasti mengucapkan salam kepada mereka. Beliau berkata, yang artinya: “Demikianlah yang dilakukan Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam .” (Muttafaq ‘alaih)

Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam tidaklah marah, memukul, membentak dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.

Dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata, yang artinya: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam , lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR: Al-Bukhari)

Wahai pembaca yang mulia, engkau pasti mengetahui bahwa duduk di rumah Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam merupakan sebuah kehormatan. Lalu, tidakkah terlintas di dalam lubuk hatimu? Bermain dan bercanda ria dengan si kecil, putra-putrimu? Mendengarkan tawa ria dan celoteh mereka yang lucu dan indah? Ayah dan ibuku sebagai tebusannya, Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam selaku nabi umat ini, melakukan semua hal itu.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menuturkan, yang artinya: “Rasululloh sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiallaahu anha, beliau memanggilnya dengan: “Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil) (Lihat Silsilah Hadits Shahih no.2141 dan Shahih Al-Jami’ 5-25)

Kasih sayang beliau kepada anak tiada batas, meskipun beliau tengah mengerjakan ibadah yang sangat agung, yaitu shalat. Beliau pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasululloh dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih)

Mahmud bin Ar-Rabi’ Radhiallaahu anhu mengungkapkan, yang artinya: “Aku masih ingat saat Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam menyemburkan air dari sebuah ember pada wajahku, air itu diambil dari sumur yang ada di rumah kami. Ketika itu aku baru berusia lima tahun.” (HR: Muslim)

Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam senantiasa memberikan pengajaran, baik kepada orang dewasa maupun anak-anak. Abdullah bin Abbas menuturkan: “Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau bersabda, yang artinya: “Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: “Jagalah (perintah) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah (perintah) Alloh, pasti kamu selalu mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Alloh, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR: At-Tirmidzi)

Telah kita saksikan bersama keutamaan akhlak dan keluhuran budi pekerti serta sejarah kehidupan yang agung. Semoga semua itu dapat menghidupkan hati kita dan dapat kita teladani dalam mengarungi bahtera kehidupan. Putra-putri yang menghiasi rumah kita, selalu membutuhkan kasih sayang seorang ayah serta kelembutan seorang ibu. Membutuhkan belaian yang membuat hati mereka bahagia. Sehingga mereka dapat tumbuh dengan pribadi yang luhur dan akhlak yang lurus. Siap untuk memimpin umat, sebagai buah karya dari para ibu dan bapak, tentu saja dengan taufik dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.

Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.
Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.

Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki

Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)

Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)

Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)

Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)

Sebab-sebab Dengki

Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan sama sekali.

Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.

Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.

Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.

Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.

Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)

Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.

Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.

Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.

Terapi Mengobati Dengki

Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.

Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”

(Sumber Rujukan: Al Qur’an)

Hudzaifah.org – Khalifah Harun ar-Rasyid mengajarkan kepada al-Ashmai tentang prinsip-prinsip dan kaidah nahi mungkar terhadap penguasa (pejabat). Suatu ketika seorang dai yang tidak mengetahui sedikit pun tentang prinsip-prinsip itu mendatangi khalifah, dan menasehatinya dengan kata-kata keras dan kasar. Meskipun ar-Rasyid menyenangi para ulama dan sering duduk-duduk bersama mereka sambil mendengarkan nasehat mereka, lain halnya dengan orang yang satu ini.

Ar-Rasyid berkata kepadanya, ”Cobalah engkau berbicara dengan baik dan objektif kepadaku.”

Dai itu menjawab, ”Itu adalah yang paling minimal bagimu.”

Ar-Rasyid, ”Cobalah beritahu kepadaku siapa yang lebih jahat, aku atau Firaun?”

Sang dai, ”Firaun.”

Ar-Rasyid, ”Siapakah yang lebih baik, engkau atau Musa bin Imran?”

Sang dai, ”Musa.”

Ar-Rasyid, ”Apakah engkau tidak tahu ketika Allah SWT mengutus Musa dan saudaranya Harun kepada Firaun? Allah berpesan kepada keduanya, ”Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Sang dai, ”Ya, aku tahu.”

Ar-Rasyid, ”Itu adalah Firaun yang penuh kesombongan dan kezaliman, sementara engkau datang kepadaku dengan keadaan begitu. Aku melaksanakan kewajiban-kewajibanku terhadap Allah, aku hanya menyembah kepada Allah. Aku menaati hukum-hukum, perintah dan larangan-Nya, sedangkan engkau menasehatiku dengan nada yang keras dan kata-kata yang kasar tanpa tata krama dan akhlak. Engkau tidak akan aman dan selamat jika aku menangkapmu. Dan jika engkau telah menawarkan jiwamu, berarti engkau sudah tidak memerlukannya lagi.”

Sang dai, ”Aku telah bersalah, wahai Amirul Mukminin dan aku minta maaf.”

Ar-Rasyid, ”Semoga Allah mengampunimu.”

Kemudian khalifah memberinya uang dua puluh ribu dirham, tetapi sang dai menolak menerimanya. []

Sumber : Hikmah dalam Humor, Kisah dan Pepatah Jilid 1-6

Amanah

“Sesungguhnya KAMI telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanh itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS 33/72)

MAKNA AMANAH

1. Secara Bahasa : Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan).

2. Secara Definisi : Seorang muslim memenuhi apa yg dititipkankan
kepadanya. Hal ini didasarkan pd firman ALLAH SWT : “Sesungguhnya ALLAH
memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan2 kepada yg memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dg adil … (QS 4/58)

Maka yg termasuk amanah bukan hanya dlm hal materi atau hal yg
berkaitan dg kebendaan saja, melainkan berkaitan dg segala hal, seperti
memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dg manusia dg cara yg terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.

DALIL-DALIL SYARIAT

1. Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan
QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32.

2. As-Sunnah :

a. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat, seorang pemimpin
pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang
rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban tentang rumahtangga suaminya serta anak2nya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)

b. “Ada 4 perkara yg jika semuanya ada pd dirimu maka tdk
berbahaya bagimu apa yg terlepas darimu dlm dunia : Benar ketika berbicara,
menjaga amanah, sempurna dlm akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR
Ahmad dalam musnadnya 2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam al-Mundziri ttg hadits ini : Telah meriwayatkan Ahmad,
Ibnu Abi Dunya, Thabrani, Baihaqi dg sanad yg hasan, lih. At-Targhib wa
Tarhib 3/589)

HUBUNGAN AMANAH DG KEIMANAN

1. Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda
hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dlm diri seseorang.
Sabda nabi SAW : “Tdk ada iman pd orang2 yg tdk ada amanah dlm dirinya,
dan tdk ada agama pd orang yg tdk bisa dipegang janjinya.” (HR Ahmad
3/135, Ibnu Hibban dlm shahihnya Mawarid azh-Zham’an-47, al-Bazzar dlm
musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dlm Albani Shahih Jami’
Shaghir-7056)

2. Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yg salah satu cirinya
adalah dipegangnya amanah oleh yg orang2 bukan ahlinya dlm masalah tsb.
Sabda nabi SAW : “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah
tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra : Bagaimanakah disia-siakannya wahai
rasuluLLAH? Jawab nabi SAW : “Ketika suatu urusan dipegang oleh yg
bukan ahlinya maka tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul
Bari’ hadits no. 59 dan 6496)

3. Hilangnya Amanah Terjadi Bertahap, sbgm sabda nabi SAW :
“Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari hatinya bagaikan titik hitam,
lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah amanah tsb bagaikan
bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tdk ada lagi amanah dihatinya, dan
tdk ada lagi di hati manusia, sehingga mereka tdk menemukan lagi orang
yg amanah. Maka berkatalah sebagian mereka : Di tempat anu masih ada
seorang yg bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang : Ia tdk bisa
dipegang, tdk berakal, tdk ada dihati mereka sebesar biji sawi dari
keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)

JENIS2 AMANAH
Islam adalah agama yg sempurna, ia adalah sistem yg mencakup
IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi, POLitik, Ekonomi, SOSial BUDaya serta pertaHANan dan KeAManan). Islam tidak hanya bicara aqidah atau ibadah saja melainkan ia adalah sebuah sistem yg paripurna mencakup aqidah dan ibadah, agama dan negara, peradaban dan pedang.

Oleh karenanya maka amanah yg dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dg aturan ALLAH
SWT, dan membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dlm seluruh aspek kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada
sekutu bagi-NYA, untuk-NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.

Oleh karena itu maka amanah yg diberikan kepada manusia adalah sbb :

1. Amanah Fithrah : Yaitu amanah yg diberikan oleh Sang Pencipta
SWT sejak manusia dlm rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam
azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sbg RABB/Pencipta, Pemelihara dan
Pembimbing (QS 7/172).

2. Amanah Syari’ah/Din : Yaitu untuk tunduk patuh pd aturan ALLAH
SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yg
tdk mematuhi amanah ini maka ia zhalim pd dirinya sendiri, dan bodoh
thd dirinya, maka jika ia bodoh thd dirinya maka ia akan bodoh thd
RABB-nya (QS 33/72).

3. Amanah Hukum/Keadilan : Amanah ini merupakan amanah untuk
menegakkan hukum ALLAH SWT secara adil baik dlm kehidupan pribadi, masyarat
maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath
(ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/ berkurangan).

4. Amanah Ekonomi : Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem
ekonomi yg sesuai dg aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yg
bertentangan dg syariat serta memperbaiki kurang sesuai dg syariat (QS
2/283).

5. Amanah Sosial : Yaitu bergaul dg menegakkan sistem
kemasyarakatan yg Islami, jauh dari tradisi yg bertentangan dg nilai Islam,
menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling
menasihati dlm kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).

6. Amanah Pertahanan dan Kemanan : Yaitu membina fisik dan
mental, dan mempersiapkan kekuatan yg dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tdk dijajah oleh imperialisme kapiotalis maupun komunis dan berbagai
musuh Islam lainnya (QS 8/27).

Ya muqallibal quluub tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika…

(TSG | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam telah memberitakan tentang tanda-tanda kiamat shughra (kiamat kecil) kepada umat manusia yang mau beriman kepada Alloh dan menerima kebenaran yang dibawa beliau. Diantaranya adalah meratanya kebodohan, dan disia-siakannya amanah. Disia-siakannya amanah artinya adalah khianat. Khianat yang paling menonjol adalah menyerahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Menyerahkan urusan agama kepada orang-orang yang tidak memahami dan bahkan tidak pernah belajar agama dengan baik dan benar sehingga tidak ada sedikitpun kemampuannya dalam urusan Syariat Islam ini kecuali hanya sekedar pemanis di mulut.

Dalam pembahasan ini, InsyaAlloh akan dikemukakan tentang dicabutnya ilmu (agama), dan bercokolnya kebodohan, kemudian tentang disia-siakannya amanah, yaitu diserahkannya urusan kepada orang yang bukan ahlinya.
Pertama, Dicabutnya ilmu agama dan bercokolnya kebodohan
Dari Anas radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda (akan datangnya) kiamat adalah jika ilmu (agama) diangkat/ hilang, kebodohan dikukuhkan, khamr/ minuman keras diminum, dan perzinaan tampak nyata.” (HR Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad ).

Benar. Gejala itu telah tampak nyata pada zaman kita sekarang.

Ilmu (agama) yang diwarisi dari Nabi shallallahu alaihi wasalam , sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan para imam ahli ilmu setelah mereka, kini sungguh telah dijauhi oleh kebanyakan orang. Sedikit sekali orang yang menekuni dan memperhatikan ilmu agama yang murni dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dengan manhaj (jalan pemahaman) para pendahulu yang Sholih, yaitu tiga generasi awal Islam, yakni generasi sahabat Nabi shallallahu alaihi wasalam , Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in. Kebanyakan orang telah mengalihkan perhatiannya kepada koran-koran, majalah, dan media massa lainnya seperti televisi, radio dan sebagainya yang kebanyakan media massa itu memuat materi-materi kejahilan (jauh dari agama). Itu adalah pengalihan perhatian ummat Islam yang tadinya tertuju ke ilmu agama, kini telah beralih jauh, baik di belahan bumi timur maupun di barat.

Ilmu yang dimaksud dalam hadits itu adalah ilmu syar’i, ilmu agama Islam. Dan yang dimaksud “dicabut dan matinya ilmu” itu bukanlah dicabutnya ilmu dari akal manusia, tetapi maknanya adalah diwafatkannya para ulama, sehingga tidak tersisa lagi di dunia ini kecuali orang-orang bodoh, yang tidak faham ilmu agama.

Dalil mengenai hal itu adalah hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhum , ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu (agama) dengan mencabutnya dari hamba-hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu (agama) itu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim pun maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, kemudian mereka ditanya, lalu mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari, Muslim, At- Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dalam Kitab Shahih Al-Jami’ As-Shaghir no. 1850).

Dicabutnya ilmu (agama) itu tidak mesti lantaran dicabutnya Al-Quran, sebagaimana difahami oleh sebagian orang. Salah seorang dari Sahabat Anshar: Bagaimana (ilmu agama itu) dicabut, sedangkan kami membaca Al-Quran, dan kami bacakan Al-Quran kepada anak-anak dan isteri-isteri kami? Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam menjawab: “Sungguh sebelumnya aku menganggap kamu seorang yang pandai penduduk Madinah; bukankah Taurat dan Injil ada pada orang-orang Yahudi dan Nashrani? Tetapi apa manfaatnya bagi mereka?” Maka semata-mata masih adanya kitab-kitab di perpustakaan-perpustakaan itu tidak menjamin masih adanya ilmu.” (lihat Majmu’ Al-Fatawa al-Kubra oleh Ibnu Taimiyyah 18/304, dan Hadits tersebut ada di Sunan An-Nasa’i Al-Kubra no. 5877, dengan lafadh yang hampir sama).

Kedua, Khamr dan perzinaan
Adapun tentang khamr atau minuman keras, atau sekarang istilahnya “narkoba” (narkotika, obat-obat terlarang/ keras, dan alkohol) maka sungguh telah merajalela. Baik dijual belikan, maupun diminum. Itu terjadi di mana-mana di sebagian besar negara di dunia. Khamr itu dinamai dengan sebutan yang bukan namanya, supaya dianggap halal meminumnya, menjualnya, dan memakan harganya. Ada yang dinamai minuman kesegaran jiwa, ada yang dinamai bir, nabidz, wisky dan lain-lain, dengan nama-nama yang dihiasi dengan bunga-bunga secara lahiriah, namun isi di dalamnya mengandung dosa dan kefasikan.

Kemudian, kita kembali kepada hadits tersebut, tentang tampak nyatanya perzinaan. Kini telah benar-benar terjadi, dalam hal perzinaan telah diadakan pasar tempat menjajakan kemaksiatan dan dosa besar itu sampai di negeri-negeri yang penduduknya membangsakan diri mereka dengan Islam. Bahkan ketika para ulama dan ummat Islam memprotes selama bertahun-tahun agar lokalisasi perzinaan dihapus, kemudian diinstruksikan penghapusan sebagiannya, ternyata ada suara-suara sumbang yang seolah meratapi dihapusnya pusat dosa besar dan penyebaran penyakit berbahaya itu. Sehingga yang terjadi bukan sekadar tampak nyatanya perzinaan, namun justru pandangan hidup sebagian orang yang mendukung adanya kemaksiatan, dengan aneka kilah yang dibuat-buat. Ini bukan sekadar jahil terhadap ilmu agama, namun sengaja menjauhkan diri dari pandangan hidup yang berlandaskan agama.

Bagaimana pula keadaannya nanti bila kondisi dan situasinya seperti dalam hadits berikut ini: “Termasuk tanda-tanda kiamat jika ilmu (agama) sedikit, kebodohan muncul, perzinaan tampak nyata, wanita-wanita (jumlahnya) banyak, dan laki-laki sedikit, sehingga untuk 50 wanita (hanya ada) satu wali (lelaki yang mengurusi mereka).” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).

Dan dari Abdullah bin Mas’ud dan Abi Musa radhiallahu anhum , keduanya berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam : “Sesungguhnya menjelang kiamat kelak pasti ada hari-hari yang di sana kebodohan berada, sedang saat itu ilmu (agama) hilang terangkat, dan pembunuhan merajalela.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad -dalam Kitab Shahih Al-Jami’ As-Shaghir no. 2047).

Benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasalam itu, sudah jelas peristiwa-peristiwa itu tengah berlangsung di zaman sekarang ini, selain dua perkara saja, yaitu berkurangnya kaum lelaki dan sangat banyaknya wanita.

Ketiga, Disia-siakannya amanah
Mengenai disia-siakannya amanah, ada hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasalam yang menjadi tanda akan datangnya kiamat pula. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa seorang dusun bertanya: Wahai Rasulullah, kapan kiamat itu? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam menjawab: “Jika amanah telah disia-siakan maka nantikanlah (datangnya) kiamat.” Orang dusun itu berkata: Bagaimana menyia-nyiakannya? Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Apabila perkara sudah diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka nantikanlah kiamat itu.” (HR Al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya dan Ahmad dalam Kitab Musnadnya, Al-Misykat no. 5439).

Dan dalam riwayat Al-Bukhari: “Apabila perkara telah disandarkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Kitab Fathul Bari: Penyandaran perkara kepada yang bukan ahlinya itu hanyalah akan terjadi ketika kebodohan telah lumrah (umum) dan ilmu (agama) telah hilang. Hal itu termasuk membebani di luar kemampuan, sedang tuntutan seharusnya, kalau ilmu masih tegak maka ada keleluasaan dalam hal perkara itu (sehingga tidak akan diserahkan kepada yang bukan ahlinya).

Yang juga dimaksud dengan perkara adalah perkara-perkara yang bergantung dengan agama, seperti khilafah (kekhalifahan), imarah pemerin-tahan, qadha’ (hukum), ifta’ (fatwa) dan lain-lain. Apabila perkara-perkara ini diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka hal itu akan menghilangkan kepentingan ummat dan kaum Muslimin. Apabila kita lihat keadaan kita sekarang ini, maka kita temui bahwa perkara itu telah diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, seperti yang disebutkan dalam Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam tersebut.

Sungguh, urusan itu telah diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, yaitu orang yang tidak ada perhatian kecuali terhadap kepentingan dunia yang fana’ ini, dan hanya ke sanalah mata ditujukan. Adapun kepentingan akherat, maka urusan itu mereka buang jauh-jauh dan tak diperhatikan. Tiada yang dapat kita ucapkan kecuali: Suatu ucapan yang diucapkan ketika kita mendapat musibah.

(Sumber: Diadaptasi dari Kitab Ar-Risalah fi al-Fitan wa al-Malahim wa Ashrath as-Sa’ah oleh Abi Ubaidah Mahir bin Shalih Al Mubarak, di-taqridh (apresiasi) oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 1993M/ 1414H.)

Diriwayatkan bahwa para malaikat yang menyangga ‘Arsy, ada yang matanya menangis seperti aliran sungai. Jika malaikat itu menengadahkan kepalanya, maka dia berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang layak ditakuti kecuali menurut hak ketakutan kepada-Mu”. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Tetapi orang-orang yang bersumpah atas nama-Ku justru berbuat dusta, dan mereka tidak mengetahui hal ini”.
Dari Jabir, dia berkata, “Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada malam aku melakukan isra’, aku melihat Jibril seperti geriba yang basah kuyup karena takut kepada Alloh.”

Diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril mendatangi Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam sambil menangis. Beliau bertanya “Apa yang membuat engkau menangis?” Jibril menjawab, “Mataku tidak pernah berhenti menangis semenjak Allah menciptakan neraka Jahannam, karena aku takut akan mendurhakai-Nya, lalu Dia akan melemparkan aku kedalamnya”.

Dari Yazid Ar-Ruqasyi, dia berkata, “Sesungguhnya Alloh mempunyai para malaikat yang berada disekitar ‘Arsy. Mata mereka menangis layaknya sungai hingga hari kiamat tiba. Mereka bergetar seakan diguncang angin karena takut kepada Allah.” Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Wahai para malaikat-Ku apa yang membuat kalian takut sementara kalian ada disisi-Ku”, para malaikat menjawab “Ya Rabbi, andaikata penghuni bumi melihat kemuliaan dan keagungan Engkau seperti yang kami lihat ini tentu mereka tidak sanggup makan dan minum, tidak sanggup tidur, lalu mereka keluar ke tengah padang pasir untuk menguak di sana seperti sapi yang menguak.”

Muhammad bin Al-Munkadir berkata “Tatkala neraka diciptakan maka jantung para malaikat lepas dari tempatnya . Lalu tatkala Adam diciptakan jantung mereka pun kembali ke tempatnya semula”.

Ketakutan Para Malaikat

DEFINISI

Syi’ah secara bahasa sebenarnya berarti pendukung, penolong, teman dekat (QS 37/83 dan 28/18), istilah ini pada masa-masa pasca periode para shahabat ra digunakan oleh orang-orang rawafidh (kelompok yang menolak kepemimpinan Abubakar ra dan Umar ra) sbg nama bagi kelompok mereka.

DALIL-DALIL SUNNAH DAN SEJARAH TENTANG SYI’AH

1. Bahwa setelah perang Shiffin, Ibnu Abbas ra berdialog dengan Muawiyyah ra dan ditanya oleh Muawiyyah ra : “Dari syi’ah (pendukung) kelompok mana anda ? Dari syi’ah Utsman atau dari syi’ah Ali ?” Jawab Ibnu Abbas ra : “Saya dari syi’ah Rasulullah SAW”. (HR Abu Nu’aim dalam al-Hilyah)

2. Sa’id bin Hatim ra bertanya tentang witirnya Nabi SAW pada Ibnu Abbas ra, maka jawab Ibnu Abbas ra : “Maukah anda aku kabarkan orang yang paling tahu tentang witirnya Nabi SAW ? Kujawab : Ya!” Maka kata Ibnu Abbas ra : “Tanya pada A’isyah !” Lalu aku minta tolong tanyakan melalui Hukaim bin ‘Aflah ra sebab aku pada waktu itu termasuk syi’ah Ali ra … (dst dalam hadits yang panjang).

3. Pada abad ke-2 dan 3 hijrah istilah syi’ah juga digunakan. Dalam tarikh, khalifah Ibnu Khayyan saat mengomentari keruntuhan khalifah sebelumnya mengatakan : “Inilah akibat syi’ah-nya Marwan bin Muhammad.”

Dari beberapa hadits diatas, jelas bahwa makna syi’ah artinya pendukung, penolong atau teman dekat secara umum, bukan menunjuk secara khusus kepada sebuah kelompok/aliran tertentu.

PARSIALNYA MANHAJ SYI’AH

Yaitu dalam syu’ur (emosi), karena mereka selalu berusaha mengangkat emosi ummat melalui perantaraan ahlul bait Nabi SAW. Tapi cinta mereka parsial, karena ahlul bait mereka batasi hanya pada Ali ra dan keluarganya saja, sementara A’isyah ra mereka caci-maki (padahal beliau ra adalah salah seorang istri Rasulullah SAW).

Makna ahlul bait dalam al-Qur’an ternyata berarti : Suami dan istri (QS 11/73), ibu dan bapak (QS 28/12), isteri-isteri (QS 33/33).

Kelompok syi’ah mengartikan bahwa QS 33/33 itu yang dimaksud Ali ra saja, karena menggunakan dhamir ” ‘alaikum”, hal ini dijawab bahwa kum juga mencakup lelaki dan wanita sebagaimana dalam lafadz salam (assalamu ‘alaikum), apalagi dalam awal ayat QS 33/33 itu bicara tentang istri nabi SAW.

PARSIAL DALAM MENCINTAI AHLUL BAIT

Orang-orang Syi’ah sangat parsial dalam mencintai ahlul bait (keluarga Nabi SAW), hal ini tercermin pada hal-hal sebagai berikut:
1. Terhadap paman-paman Rasulullah SAW:
Mereka habis-habisanan menyatakan Abu Thalib itu muslim dengan menolak hadits-hadits yang shahih, tapi menolak Abbas ra, bahkan menyatakan bahwa Abbas itu tidak ada, dan hanya rekayasa sejarah orang-orang Abbasiyyah. Kenapa? Sebab dalam fiqh (termasuk fiqh syi’ah) anak paman terhalang oleh paman dalam hak waris, artinya jika mereka mengakui keberadaan Abbas ra, maka klaim mereka bahwa Ali ra lah yang paling berhak akan kekhalifahan pasca Rasulullah SAW akan gugur, karena Abbas ra sebagai paman jelas lebih berhak (kelompok Syi’ah menganggap kekhalifahan pasca Nabi SAW menjadi hak Ali ra).

2. Terhadap para isteri Rasulullah SAW:
Istri nabi SAW mereka bagi dalam 2 kubu (padahal kenyataannya tidak demikian), yaitu kubu A’isyah, Hafshah, dll (yang menolak Ali ra) dengan kubu Ummu Salamah (pendukung Ali ra), pokoknya semua hal dalam agama Islam ini diterima dan ditolak bukan berdasarkan dalil yang shahih melainkan berdasar perasaan mereka pada Ali ra. Kemarahan mereka kepada Aisyah dan Hafshah, sebab beliau ra berdua adalah anak dari Abubakar ra dan Umar ra (yang dianggap oleh kelompok Syi’ah telah merampas kekhalifahan dari hak Ali ra).

Merekapun ‘memelintir’ kisah perang Jamal menjadi citra persekongkolan Ummul Mu’minin Aisyah ra dan para sahabat ra menentang Ali ra, padahal perang tersebut adalah disebabkan perbedaan ijtihad dalam melakukan qishash atas pembunuhan Utsman ra, kisah perang Jamal secara panjang lebar disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam dan Thabaqat Ibnu Ishaq.

3. Terhadap anak-anak Rasulullah SAW:
Mereka memuji-muji Fathimah ra saja, tetapi pada putri Rasulullah SAW yang lain Ruqayyah ra dan Ummu Kultsum ra dianggap bukan putri Nabi SAW, hanya karena mereka dinikahkan oleh Nabi SAW dengan Utsman ra, sementara mereka membenci Utsman ra.

4. Terhadap para menantu Rasulullah SAW:
Mereka mencintai Ali ra, tapi membenci Utsman ra (padahal Utsman ra termasuk 10 orang sahabat yang dijamin masuk syurga), begitu bencinya mereka pada Utsman ra sehingga istri Utsman ra (Ruqayyah ra dan Ummu Kultsum ra) dianggap mereka bukan anak asli Nabi SAW.

5. Terhadap para cucu Rasulullah SAW:
Yang dianggap cucu Nabi SAW oleh mereka hanyalah Hasan ra dan Husain ra, sedangkan Ummu Kultsum ra, putri Ali ra yang dinikahkan dengan Umar ra dianggap jin perempuan (padahal Imam Jalaluddin as Suyuthi dalam tarikhnya meriwayatkan kisah keutamaan Ummu Kultsum dengan suaminya, dalam sebuah hadits yang panjang).

Demikian pula mereka menafikan Umamah ra (anak Zainab ra dengan pernikahannya dengan Abul Ash ra), padahal Umamah ra ini sangat dicintai Nabi SAW, sampai-sampai saat beliau shalat pernah sambil menggendong Umamah ra (oleh kelompok syi’ah hadits tersebut diganti dengan Husein ra), bahkan saat Fathimah ra sakit menjelang wafatnya ia meminta Ali ra untuk menikahi Umamah ra.

6. Terhadap para mertua Nabi SAW:
Mereka tidak mengakui kekhalifahan Abubakar ra dan Umar ra, karena mereka menganggap keduanya sebagai merebut hak Ali ra. Padahal keduanya ra adalah mertua Rasulullah SAW.

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa jika kita menerima faham Islam versi Syi’ah, maka berarti kita terpaksa memandang bahwa Rasulullah SAW telah gagal dalam menyampaikan Islam, karena jangankan mendidik orang lain, keluarga terdekat beliau SAW sendiripun telah menyimpang dari Islam, maka bagaimanakah Islam ini akan sampai kepada kita sekarang?!

JENIS-JENIS ALIRAN SYI’AH DALAM MEMANDANG ALI RA

1. Ekstrim Mencintai Ali ra: Merupakan mayoritas dari syi’ah, yang sangat mengkultuskan Ali ra, dan mengkafirkan Abubakar ra dan Umar ra, kelompok ini berawal dari ajaran Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam), alirannya disebut Saba’iyyah, termasuk kelompok ini adalah Khomeini yang dalam bukunya yang menggemparkan (Kasyful Asrar) menulis doa untk melaknat Abubakar ra dan Umar ra (doa shanamai/berhala Quraisy). Kelompok syi’ah mati-matian mem-fiktif-kan Ibnu Saba’ ini dan menyatakan hadits tentang Abdullah bin Saba’ ini hanya melalui jalur Abu Mihnah saja, padahal juga terdapat dalam al-Musnad oleh Imam Ahmad, Ta’zhim wa Tahdzib oleh Ibnu Hajar, dll. Ibnu Saba’ ini lalu dibuang oleh Ali ra ke Madain karena kesesatan ajarannya.
2. Ekstrim Mengkafirkan Ali ra: Tokohnya adalah Ibnu Kamil, kelompok ini mengkafirkan Ali ra karena menganggapnya tidak serius menjelaskan masalah Imamah pada ummat sehingga membuat umat Islam berpecah-belah (Imamah adalah ajaran Syi’ah yang menyatakan bahwa sepeninggal Rasulullah SAW hak atas kekhalifahan diberikan kepada 12 Imam Syi’ah yang merupakan keturunan Ali ra).
3. Moderat: Mereka adalah Syi’ah Zaidiyyah yang menganggap bahwa Ali ra adalah sahabat yang paling utama dan paling berhak terhadao kekhalifahan setelah Nabi SAW, tetapi mereka tidak mengkafirkan para sahabat ra yang lain. Tapi inipun menurut ahlus sunnah wal jama’ah merupakan ijtihad yang kurang tepat, yang benar bahwa urutan keutamaan dan kemuliaan para sahabat ra menurut ahlus sunnah secara sepakat berurutan sesuai dengan urutan keempat khalifah ra yang dipilih oleh kaum muslimin.

Dengan mengikuti pemikiran syi’ah, maka sejarah para sahabat ra bukanlah merupakan sejarah keagungan dan kemuliaan ketinggian akhlaq serta mutiara indah dalam sejarah peradaban manusia hasil keberhasilan tarbiyyah Rasulullah SAW, melainkan tidak lebih dari sejarah perebutan kekuasaan yang berlumuran darah serta sejarah kezaliman manusia dan peperangan antar kelompok belaka.

MARAJI’ BUKU-BUKU SESAT KARANGAN SYI’AH
1. Al-Habsyi, Husein. 1991. SUNNAH-SYI’AH DALAM UKHUWWAH ISLAMIYYAH. Al-Kautsar. Malang.
2. Musawi, Ali bin Hushain ar-Radhi, 1990. NAHJUL BALAGHAH. YAPI. Jakarta.
3. Al-Musawi, S., 1983. DIALOG SUNNAH-SYI’AH. Mizan. Bandung.
4. Subhani, Ja’far, 1405. ISHMAH. Muassasah an-Nashri al-Islami. Qum-Iran.

sumber: http://www.pks-anz.org

Sesungguhnya kaidah Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar; satu-satunya yang diterima dan diridloi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk hamba-hamba Nya, yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan pemelihara dari berbagai perselisihan, sumber semua kebaikan dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh hamba, serta kabar gembira yang dibawa oleh para rasul dan para nabi adalah IBADAH HANYA KEPADA ALLAH Subhaanahu Wa Ta’ala SEMATA TIDAK MENYEKUTUKANNYA.

Bertauhid dalam semua keinginannya terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, bertauhid dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma (nama-nama) dan sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An Nahl: 36)
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At Taubah: 31)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az Zumar: 2-3)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS Al Bayyinah: 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya.” (Majmu’ Fatawa 15/25)

Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.

Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid’ah dan khurafat. (Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)

Setiap dakwah Islam yang baru muncul tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar ketika berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan (dengan berbagai rintangan).

Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan.

Namun seorang mu’min yang yakin dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor, tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih berganti tanpa ada manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya (2/379)

Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (QS Al Ahzaab: 21)

Inilah manhaj pertama dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap penting.

(Dikutip dari Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan)

Banyak kejadian yang dikisahkan oleh manusia tentang hantu atau roh orang yang sudah meninggal. Kita bisa melihat di acara-acara televisi dewasa ini yang mengemasnya dengan sajian yang menarik. Seseorang bercerita bahwa suatu ketika ditemui oleh si Fulan. Ternyata diketahui bahwa si Fulan tersebut baru saja meninggal dunia. Kisah-kisah sejenis ini sangatlah banyak ragam kejadiaannya.

Maka, kebanyakan manusia mengira bahwa roh orang yang sudah meninggal itu bergentayangan. Bahkan, peristiwa-peristiwa yang bersangkutan dengan kejadian orang yang baru meninggal tersebut sampai membuat segolongan aliran berkeyakinan bahwa orang yang sudah meninggal itu akan menitis kembali. Mereka menyebutkan bukti-bukti kejadian yang berkaitan dengan peristiwa kematian, dan juga hasil dari cerita-cerita seperti tersebut di atas.
Anggapan atau persepsi yang merupakan keyakian bagi kebanyakan orang-orang itu tidak lepas dari pengetahuan dan informasi yang diterimanya. Mereka berkeyakinan demikian karena apa yang mereka temui dan apa yang mereka dapatkan, semuanya, mengarah kepada kesimpulan tersebut. Bahkan, sebagian orang juga ada yang mempercayai dan melaksanakan perintah yang disampaikan oleh hantu (menurut mereka: roh gentayangan).

Sebutlah sebagai contoh seperti berikut. Seseorang didatangi orang yang diketahui telah meningal dunia sejak puluhan tahun, yaitu kakeknya sendiri, dan memberi sebuah pesan. Pesannya, “Aku menghendaki anak cucuku datang ke pemakamanku. Jika kau datang dan sebarang beberapa hari kau di sana, niscaya kuberikan sesuatu yang berharga untukmu.” Maka, orang itu mengira bahwa ia telah mendapatkan ilham dari kakeknya (orang bodoh menyebutnya: wahyu). Maka mereka datang ke pemakanan kakeknya, kemudian bertapa di sana. Maka, keadaan orang seperti ini adalah telah syirik kepada Alloh.

Kemudian, ada contoh lagi seperti berikut. Seseorang yang mengira telah mendapatkan ilham tadi kemudian menyepi atau semadi di pemakaman (kuburan). Beberapa malam kemudian didatangi kakeknya yang kemudian memberi petuah kepadanya dengan mengatakan, “Wahai cucuku! Ini kuberikan pusaka sebagai pegangan untukmu. Jika terjadi sesuatu, mintalah bantuan kepadanya, niscaya akan datang bala bantuan kepadamu dari pusaka itu. Dan, jangan lupa, peganglah kebenaran.” Maka, seseorang akan dengan yakin dan gembira membawa pusaka yang telah didapatnya dan akan selalu dipegangnya. Ia tambah yakin dengana adanya sang kakek yang berpesan untuk selalu berpegang kepada kebenaran. Keadaan orang semacam ini juga tertipu. Dan, ia telah berbuat syirik.

Kemudian, ada contoh lagi seperti berikut. Seorang dukun didatangi pasien yang baru beberapa bulan yang lalu ditinggal mati oleh anaknya. Ia datang untuk meminta petunjuknya. Pasien yang datang itu mengungkapkan keluhannya, “Mbah (Kakek!), keluarga saya akhir-akhir ini selalu ditimpa. Apakah ada yang berusaha menghancurkan saya Mbah? Karena, saya membuka usaha persis di samping orang kaya sebelum anakku meninggal dunia. Kalau ada, tolonglah Mbah!” Jawab mbah dikuk,”Silakan kamu pulang dulu anakku, nanti aku akan teropong siapa gerangan pelakunya.

Kemudian, datanglah seorang anak kecil kepada dukun itu dalam mimpinya. Anak itu mengaku telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, dan memberitahukan bahwa pelaku yang berusaha menghancurkan hidup keluarga ayahku adalah orang kaya di sampingnya. Sang dukun dengan yakin kemudian memberitahukan kepada pasiennya.

Sang dukun bertanya kepada pasiennya, “Apakah kamu telah ditinggal mati oleh anakmu?”
Sahut pasien, “Ya, benar Mbah, kok Mbah tahu? Sungguh Mbah ini orang yang mengetahui (orang pinter).” Sang dukun menjawab, “Setelah aku analisis, memang pelakunya adalah tetanggamu yang kaya itu. Ia tidak rela jika daganganmu menyainginya. Oleh karena itu, ia berusaha ingin menghancurkanmu.” Demikian penjelasan sang dukun kepada pasiennya.

Tentu Anda tahu apa yang akan terjadi dengan cerita selanjutnya. Yang terjadi selanjutnya tidak lain adalah peperangan antara dua orang tetangga. Ini adalah salah satu akibat campur tangan jin yang jahat untuk memecah-belah manusia. Orang yang mempercayai dukun dan sang dukun itu sendiri telah berbuat syirik dalam hal ini. Mereka termasuk orang-orang yang tertipu.

Lalu, bagaimana hal itu bisa dikatakan orang-orang yang tertipu? Yah, mereka tertipu karena tidak mengenal ajaran Islam, tidak mau mengenal tentang sifat-sifat setan, tidak mau mengenal jenis-jenis perbuatan setan. Bahwa semua kejadian yang kami contohkan tersebut di atas tidak lain adalah bentuk-bentuk kejahatan setan kepada manusia untuk menjerusmuskan manusia ke dalam lembah kesesatan. Ketiga contoh tersebut di atas tidak lain adalah bentuk-bentuk penyesatan yang dilakukan oleh makhluk yang mengaku telah meningal dunia, dan orang yang didatanginya mempercayainya karena di antaranya mereka melihat bentuknya yang sama dengan orang yang telah meninggal dunia. Bentuk penyesatan itu dilakukan oleh sekelompok jenis jin pendamping (qarin).

Dalil tentang Adanya Jin Pendamping

Ibn Mas’ud menceritakan, Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda yang artinya: “Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan ada pendampingnya dari golongan jin.” Mereka bertanya, “Juga padamu, ya Rasulullah?” “Ya, juga bagiku, hanya saja aku telah mendapat perlindungan dari Allah sehingga aku selamat. Ia tidak memerintahkan aku kecuali kebaikan.” (HR Muslim).

Ath-Thabarani mengisahkan riwayat dari Syuraik bin Thariq. Ia berkata, Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tidak ada seseorang di antara kalian melainkan ada baginya seorang setan.” Mereka bertanya, “Juga bagimu, ya Rasulullah?” “Ya, juga bagiku, tetapi Allah melindungiku sehingga aku selamat .”(HR. Ibnu Hibban).

Ibn Mas’ud meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Setiap anak Adam mempunyai kelompok, dan bagi malaikat ada kelompok dengan anak Adam. Kelompok setan mengajak kepada kejahatan dan mendustakan yang hak, adapun kelompok malaikat mengajak kepada kebaikan dan membenarkan yang hak. Barang siapa yang mendapatkan yang demikian itu, maka ketahuilah bahwa itu dari Allah dan pujilah Allah, dan barang siapa yang mendapatkan selain itu, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk, kemudian ia membaca asy-syaithanu ya’idukumul-faqra wa ya’murukum bil-fahsya’.” (HR. Tirmizi).

Sa’id al-Jariri mengomentari ayat yang berbunyi, “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Alquran), kami adakan baginya setan.” (QS. Az-Zukhruf: 36). Ia berkomentar, “Telah sampai berita kepada kami bahwa orang kafir apabila dibangkitkan pada hari kiamat, setan akan mendorong dengan tangannya, hingga ia tidak bisa melawannya, sampai Alloh menempatkannya di api neraka, dan ketika itu ia berkata, ‘Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat.’ (QS. Az-Zukhruf: 38). Sementara, orang mukmin akan diwakilkan padanya malaikat sampai ia diadili di antara manusia dan menempatkannya dalam surga.

Demikianlah, orang yang berpaling dari petunjuk yang lurus, yaitu Alquran dan sunah, maka baginya akan diadakan oleh Alloh yaitu setan, yang akan menyesatkannya. Contoh cerita-cerita yang disebutkan di atas adalah salah satu bentuk contoh mereka yang terkelabui oleh setan, karena mereka tidak menempuh jalan yang lurus, tetapi mengambil jalan orang-orang yang sesat, di antaranya mereka percaya dengan dukun, di antaranya mereka percaya dengan ilham-ilham picisan yang sebenarnya bukan ilham, tetapi tipu daya setan untuk menyesatkan manusia.

(Sumber Rujukan: Luqath al-Marjan fi al-Ahkam al-Jan, Imam Jalaluddin as-Suyuthi)

Siapapun orang di kalangan kaum muslimin pasti pernah mendengar kata “Aqidah”. Di berbagai kesempatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan perkataan ini sering terucap. Bahkan para ustadz, kiyai dan dai menyatakan bahwa aqidah merupakan pondasi bangunan Islam. Apakah sebenarnya faedah dan keutamaan dari aqidah Islam itu ?, tulisan berikut akan sedikit mengulas tentang hal tersebut.
Bilal adalah seorang budak hitam milik seorang qurays yang bernama Umayah. Ketika terbit cahaya Islam, Bilal merupakan salah seorang yang Allah beri hidayah untuk merasakan cahaya islam tersebut. Beliau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Kian hari semakin kokoh dan subur benih Islam di hati beliau.
Sampai suatu ketika tuan beliau yang masih dalam kekafiran mengetahui keislaman beliau dan murka. Bilal dipaksa untuk kembali kepada kekafiran dan beribadah kepada beragam sesembahan yang ada. Iman yang bersemayam di hati Bilal membuatnya tegar menghadapi berbagai siksaan yang luar bisa kejamnya. Bilal disiksa dengan dijemur di tengah terik matahari padang pasir, ditindih tubuhnya dengan batu besar dan disiksa dengan berbagai siksaan lain yang luar biasa kejam. Namun di saat diuji dengan siksaan itu, hati beliau merasakan sejuknya sebuah keimanan, sehingga terlontar dari mulut beliau yang mulia….Ahad (Allah Maha Esa)…Ahad..

Kita akan terheran, dan mungkin akan segera bertanya mengapa Bilal dan para sahabat yang lain begitu tegarnya menghadapi ujian, intimidasi dan siksaan yang seberat itu ? Jawabnya adalah, karena mereka telah mendapatkan sebuah kebahagiaan yang hakiki.
Kebahagiaan yang tidak banyak dipahami oleh kebanyakan orang. Karena umumnya manusia menyatakan bahwa bahagia itu adalah kekayaan yang melimpah, rumah indah, kendaraan mewah dan terpenuhinya segala fasilitas keduniaan. Memang itu semua adalah pendukung kebahagiaan di dunia, namun dalam dataran kehidupan, kita banyak menemukan orang yang telah terpenuhi segala materi dunianya tetap saja merasakan kesumpekan hidup, tidak tenang, stress, bahkan tak jarang mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri… naudzubillah min dzaalik.
Inikah kebahagiaan ?
Mungkin ada pula yang akan berkata, kalau demikian bahagia itu harus meninggalkan urusan dunia, hidup miskin, mengembara, tidak usah punya isteri dan keluarga atau…………? Itu juga bukan sebuah kebahagiaan yang benar, karena kebahagiaan bisa dinikmati oleh si kaya maupun si miskin, tua atau muda dan segala kalangan.
Berkaitan dengan hal ini para ulama mendefinisikan kebagiaan dengan ketenangan hati, lapangnya dada, dan merasa cukup dengan pemberian Allah. Itulah kebahagiaan, dan segalanya hanya bisa teraih dengan keimanan yang benar, sebagaimana sabda Nabi shallalllahu alaihi wa sallam
“Sungguh mengherankan perkaranya orang mukmin, karena setiap perkaranya akan baik baginya, apabila dia mendapatkan kenikmatan maka dia bersyukur dan itu baik bagi dia, dan apabila ia mendapatkan musibah maka ia bersabar maka itupun baik bagi dia” (HR Bukhari)
Inilah peran sebuah keimanan atau aqidah yang benar, yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya.
Dunia memang tidak pernah sepi dari kesedihan dan kesenangan, kemudahan dan kesukaran. Menghadapi hal tersebut seorang insan muslim yang beraqidah lurus akan selalu tegar menghadapi goncangan badai kehidupan. aneka ragam musibah, seperti kekurangan harta, kekurangan jiwa (kematian anak atau keluarga), kekurangan bahan pangan, pakaian atau ancaman, insya Allah akan mampu diatasi dengan ketegaran. Di dalam hatinya dipenuhi rasa harap kepada Allah, ketergantungan kepada Allah, tawakal, sabar , dan ridha terhadap ketentuan Allah. Tak goyah imannya dengan ujian-ujian tersebut bahkan semakin kokoh, mendorongnya untuk lebih mendekat kepada Allah dan mengikhlaskan doa hanya kepadaNya semata. Ia mengaplikasikan sabda rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam
“Apabila engkau meminta mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi)
Maka disaat itulah bertambah ketenangan dan kebahagiaan di dalam hatinya, yang kebahagiaan itu tak dirasakan oleh mereka yang tak kenal akan Tuhannya. Ia pun yakin akan firman Allah :
“Apabila Allah menimpakan bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu mengangkatnya kecuali Dia.” (QS Al An ‘am)
Hal tersebut di atas berbeda dengan mereka yang lemah aqidah dan imannya. Ujian yang datang sering membuat goncang, putus asa, mengumpat takdir atau terkadang lari kepada hal-hal yang lemah seperti meminta bantuan paranormal atau jin.
Insan yang berqidah lurus akan menjadi pribadi yang penuh dengan keindahan. Hal ini karena jelasnya tujuan hidup yang ia miliki, hendak kemana, untuk apa dan mengapa dia hidup di dunia. Maka jelaslah arah perjalan dia, sangat pasti ia melangkah dan tak ragu-ragu untuk menapak kehidupan. Ia sangat paham dengan tujuan hidup dia…….
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.”
(QS Adz dzariyat : 56)
Allah saja yang dia harap ridhaNya, bukan yang lain. Sehingga pikirannya pun tidak bercabang dan beranting, hanya satu. Berbeda dengan mereka yang punya banyak sesembahan tak tahu tuhan mana yang harus ia cari ridhanya. Sehingga wajar Nabi Yusuf mengatakan kepada dua temannya di penjara.
“Wahai penghuni penjara apakah Tuhan-Tuhan yang banyak itu lebih baik ataukah Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa.” (QS. Yusuf)
Kasus yang berlangsung di sebuah negara maju penganut paganisme, ketika angka kematian akibat bunuh diri sangat tinggi, dan pemudanya tak berharap untuk berpanjangan hidup, apanya yang salah. Mereka tidak punya tujuan hidup yang jelas, mau kemana hidup ini dilangsungkan, mengapa ia harus dilahirkan dan hidup. Kata kunci yang kita dapatkan adalah , mereka tidak kenal akan islam dan aqidah islam yang lurus. Maka, penggalian nilai-nilai kesempurnaan Islam yang diawali dengan aqidah adalah hal yang tertawarkan lagi.

Mari Kembali ke jalan Islam …!

Wallallahu a’lam bish showab

Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78)

Pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat-Nya pun berkata: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32)

Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Bagian pertama (didapat tanpa belajar) terbagi menjadi dua macam: Ilmu Syar’iat dan Ilmu Ma’rifat

Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir: “Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam: “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”

Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.

Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.

Bagian Kedua

Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.

Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.

KHURAFAT SHUFI

Istilah “ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok shufi mengatakan bahwa:
• “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak bisa mendapatkannya.
• “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
• Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
• Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
• Untuk menafsiri ayat atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka “Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau “Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).

BANTAHAN SINGKAT TERHADAP KESESATAN DI ATAS
• Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam: “Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits dhaif).
• Yang benar menurut Ahlusunnah wal Jama’ah adalah Nabi Khidhir alaihissalam memiliki syari’at tersendiri sebagaimana Nabi Musa alaihissalam. Bahkan Ahlussunnah sepakat kalau Nabi Musa alaihissalam lebih utama daripada Nabi Khidhir alaihissalam karena Nabi Musa alaihissalam termasuk Ulul ‘Azmi (lima Nabi yang memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad). Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
• Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya Islam.
• Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
• Inilah penyebab lain bagi kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai hadits, dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda: “Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan (difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, Al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan).
Sumber:
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (I/141, 167).
Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan (60, 76).
Al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir Al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Al-Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid 3/22-23) dan (jilid 1/71).
At-Tasawwuf, Muhammad Fihr Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
Al-Hawi, Suyuthiy (2/197).

Syirik merupakan fenomena yang terjadi sekarang ini banyak sekali saudara kita yang terjerumus ke dalam perbuatan syirik ini, baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja, baik itu disadari maupun tidak disadari. Bahkan terdapat sebagian pengajian “Islam” yang melakukan ritual-ritual syirik.

Syirik adalah dosa besar yang paling besar di dunia ini, karena syirik itu berarti membuat sesembahan tandingan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Syirik berarti tidak mempercayai ke Uluhiyyahan Allah SWT, yang seharusnya hanya kepada Allah SWT sajalah kita beribadah dan hanya kepada Allah SWT saja kita meminta pertolongan.

Syirik oleh sebagian ulama kita ada yang membaginya menjadi dua dan sebagian menjadi tiga tetapi tidak ada pertentangan di antara mereka tentang syirik ini. Syirik yang pertama adalah Syirik Akbar (besar) dan yang kedua adalah syirik Ashghar (kecil) dan ada ulama yang membagi menjadi tiga ialah dengan menambahkan Syirik Khofi(samar), akan tetapi syirik khofi ini juga sudah termasuk di dalam syrik yang kedua yaitu Syirik Ashghar, jadi tidak ada pertentangan di antara para ulama.
Syirik Akbar adalah syirik yang menjadikan sesuatu sebagai tandingan bagi Allah dan atau beribadah kepada selainnya, baik itu berupa pohon maupun matahari, bulan atapun ang lainnya. Dan akibat dari syirik akbar ini ialah akan menghapuskan pahala amalannya dan pelakunya jika belum bertobat sebelum maut menjemput dapat mengakibatkan kekalnya di dalam Neraka. Seperti yang difirmankan Allah SWT di dalam QS Al-An”am 88, At-Taubah 17, An-Nisa” 48,,116,Luqman 13, dan masih banyak lagi ayat di dalam Al Quran Al Karim yang menjelaskan bahayanya melakukan perbuatan syirik.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda kepada para sahabat yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di dalam Kitab Shahihnya, yang sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam,Maukah kalian aku beritahukan apa kabair yan paling besar.beliau mengulang tiga kali. Para sahabat menjawab ,Tentu,wahai Rasulallah. Lalu Rasulullah bersabda,Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Saat itu beliau bersandar lalu duduk dan melanjutkan juga kesaksian palsu,kesaksian palsu. Begitu Rasulullah mengulang-ulang sampai-sampai kami mengatakan,Andai beliau menghentikannya. ”( HR. Bukhari dan Muslim )

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,Jauhilah tujuh perkara yang memusnahkan. Beliau menyebutkan dan diantaranya adalah syirik. Didalam riwayat yang lainnya lagi Beliau juga bersabda, Barangsiapa mengganti agamanya(murtad) bunuhlah ia. (HR Ahmad dan Bukhari).

Dosa syirik ini masih bisa diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala jika pelakunya benar-benar bertobat dan berusaha tidak mengulangnya lagi. Allahu a”lam.

Syirik Ashghar (kecil) merupakan tindakan yang sudah jelas jelas disebutkan dalam nash-nash Al-Qur”an dan sunnah sebagai syirik, tetapi tidak termasuk jenis syirik besar. Contohnya adalah Riya” (ingin dilihat orang) dalam beramal, bersumpah tidak dengan nama Allah dan lain sebagainya.Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman :
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya (QS Al-Kahfi 110).

Maksud dari ”janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya” hendaknya tidak menyertakan riya” bersama amalnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jauhilah syirik kecil!” mereka bertanya,Wahai Rasulallah, apakah syirik kecil itu? Beliau menjawab,Yaitu riya. Pada hari pembalasan untuk segala yang dikerjakan oleh manusia Allah berkata,”Pergilah kepada orang-orang yang kalian ingin mereka melihat amal-amal kalian. Lalu lihatlah! Adakah pahala yang disediakannya? (HR. Imam Ahmad, al-Baihaqi, at-Thabarani, at-Tirmizi, dan Muslim dengan lafaz yang berbeda-beda).

Didalam riwayat yang lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa berlaku riya” Allah akan memperlihatkan keburukannya. Dan barang siapa berlaku sum”ah (ingin didengar) Allah akan memperdengarkan aibnya. (HR Bukhari-Muslim. Lafaz di atas adalah riwayat al-Mundziri dalam kitab Targhib.)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amalan mereka itu bagaikan debu yang beterbangan.

Maksudnya amal-amal yang dikerjakan untuk mengharapkan wajah Allah, Allah membatalkan pahalanya serta menjadikannya bagai debu yang beterbangan yaitu debu yang dapat dilihat dari sebuah celah dimana cahaya matahari masuk melaluinya.

”Adiy bin Hatim at Tha”iy meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
Pada hari kiamat nanti, beberapa golongan akan diperintahkan menuju surga. Ketika mereka telah dekat darinya, mencium keharumannya, menyaksikan istana-istananya, serta apa saja yang dijanjikan oleh Allah bagi penghuninya, terdengar seruan,”jauhkanlah mereka darinya! Sesungguhnya mereka tidak mendapatkan sesuatupun dari segala yang ada di sana!” Maka merekapun kembali dengan segala kerugian dan penyesalan. Belum pernah ada orang yang kembali dengan kerugian dan penyesalan yang melebihi mereka.
Mereka pun berkata ” Duh Rabb kami, andai saja engkau masukkan kami ke dalam neraka sebelum Engkau perlihatkan kepada kami pahala yang Engkau janjikan bagi para waliMu. Niscaya neraka itu terasa lebih ringan bagi kami.” Allah Ta”ala menjawab ”Justru itulah yang aku kehendaki bagi kalian! Dulu dalam kesendirian kalian sengaja melakukan dosa-dosa besar dihadapanku. Adapun jika bertemu dengan orang-orang kalian menampakkan diri sebagai orang-orang yang berbakti. Kalian memperlihatkan amal kepada mereka berbeda dengan yang kalian persembahkan kepadaKu dari hati kalian. Kalian menyegani orang-orang dan tidak kepadaKu. Kalian memuliakan mereka dan tidak memuliakanKu. Kalian meninggalkan dosa-dosa besar karena manusia dan bukan karena Aku. Maka hari ini Aku timpakan kepada kalian siksaanKu yang terpedih dan Aku haramkan atas kalian limpahan pahala dariKu. (HR Thabraniy, Abu Nu”aim, Baihay, dan lainnya.Menurut Ibnu al Jauzy hadist ini termasuk hadist palsu, tetapi imam as-Suyuthi menentangnya. Allahu A”lam).

Syirik kecil ini tidak menyebabkan seseorang keluar dari islam serta tidak memastikan kekalnya seseorang di dalam Neraka, tetapi menghilangkan kesempurnaan tauhid yang semestinya.

Syirik Khofi merupakan perbuatan syirik yang samar akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap prilaku kita jangan sampai terjerumus ke dalam syirik khofi ini. Syirik khofi bisa masuk ke dalam kedua jenis syirik tadi, bisa saja termasuk syirik besar seperti syiriknya orang-orang munafik

Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas, Dr. Yusuf al-Qaradhawi

Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yg banyak sekali, cthnya dlm kehidupan orang yg mukhlis; dlm tindak-tanduknya, dlm pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:

Pertama: Takut Kemasyhuran

Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bhw penerimaan amal di sisi Allah hanya dgn cara sembunyi-sembunyi, tdk secara terang-terangan dan didedahkan. Sbb andaikata kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tdk baik yg masuk ke dlm dirinya, maka sedikit pun manusia tdk memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.

Maka dr itu zuhud dlm masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yg serba gemerlap lbh besar drp zuhud dlm masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tdk melihat zuhud dlm hal tertentu yg lbh sedikit drp zuhud dlm kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dlm masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lbh banyak lagi.”

Inilah yg membuat para ulama salaf dan orang-orang shaleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dr ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh krn itu mereka memperingatkan hal ini kpd murid-muridnya. Para pengarang buku tlh meriwayatkan dlm pelbagai gambaran ttg tingkah laku ini, spt Abu Qasim a-Qusyairi dlm ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dlm Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dlm al-Ihya’.

Begitu pula yg dikatakan seorang zuhud yg terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tdk membenarkan orang yg suka kemasyhuran.”

Beliau juga berkata, “Tdk sehari pun aku berasa gembira di dunia kecuali hanya sekali. Pd suatu mlm aku berada di dlm masjid salah satu desa di Syam, dan ketika itu aku sdg sakit perut. Lalu muazzin dtg dan menyeret kakiku hingga keluar dr masjid.”

Beliau berasa senang krn muazzin tersebut tdk mengenalinya. Maka dr itu beliau diperlakukan secara kasar, kakinya diseret spt seorang pesakit. Beliau meninggalkan kedudukan dan kekayaannya krn Allah. Sebenarnya ketika itu beliau tdk ingin keluar jika tdk sakit.

Seorang zuhud yg terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tdk mengenal orang yg suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”

Beliau juga berkata, “Tdk akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yg suka terkenal di tgh manusia.”

Seseorang prnh menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”

Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tdk dikenal, berjalanlah sendiri dan jgn mahu diikuti, bertanyalah dan jgn ditanya. Lakukanlah hal ini.”

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tdk berniat secara benar krn Allah kecuali jika dia suka tdk merasakan kedudukannya.”

Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yg dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yg berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi krg takut dirinya menjadi terkenal.

Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di blkg Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”

Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yg tlh engkau lakukan?”

Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bg yg mengikuti dan ujian bg yg diikuti.”

Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yg pd permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yg jauh terhadap kejiwaan orang-orang yg mengikuti dan sekaligus orang yg diikuti.

Diriwayatkan dr al-Hasan, beliau berkata, “Pd suatu hari Ibn Mas’ud keluar dr rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.”

Pd suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kpdku? Jika tdk, mengapa kejadian spt ini masih tersemat dlm hati orang Mu’min?”

Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yg mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tdk krn aku tahu bhw Allah mengetahi isi hatiku ttg ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dr Allah.”

Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sbg sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pd waktu mlm dan pembaharu hati yg diketahui penduduk langit, namun tdk dikenal penduduk bumi.”

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup utk tdk dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tdk dikenal? Apa sukarnya engkau tdk disanjung-sanjung? Tdk mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”

Athar-athar ini tdk mengajak kpd pengasingan atau uzlah. Orang-orang yg menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’ie. Mereka memiliki pengaruh yg amat baik dlm menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yg dpt difahami dr sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dr naluri jiwa yg tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yg disusupkan syaitan ke dlm hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yg serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yg mengikutinya.

Kemasyhuran itu sendiri bknlah suatu yg tercela. Tiada yg lbh masyhur drp para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yg tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sgt bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tdklah menjadi masalah, sekali pun ia ttp menjadi ujian bg orang-orang yg lemah, spt yg dikatakan oleh Imam al-Ghazali.

Sejajar dgn pengertian ini yg tlh disebutkan dlm hadith Abu Dzar drp Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bhw Baginda prnh ditanya ttg seorang lelaki yg melakukan suatu amal kebajikan krn Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.

Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yg didahulukan, sekaligus khabar gembira bg orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)

Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal krn Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”

Pengertian spt inilah yg ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan alin-lainnya.

Begitu pula hadith yg ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dr hadith Abu Hurairah, bhw ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kali dia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kpdnya.”

Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala krn merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”

Kedua: Menuduh Diri Sendiri

Orang yg mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sbg orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan krg dlm melaksanakan pelbagai kewajipan, tdk mampu menguasai hatinya krn terpedaya oleh suatu amal dan takjub pd dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk diterima.

Krn sikap spt ini, ada sebahagian di antara para salaf yg menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yg menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”

Beliau menjawab, “Apa yg membuatkanku tahu bhw hanya sedikit dr amal-amalku yg masuk dlm timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah tlh berfirman, Allah hanya menerima (amal) dr orang-orang yg bertaqwa,”

Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dr itu al-Quran menambahinya dgn firman Allah yg bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dr ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)

Sayyidah Aishah prnh bertanya kpd Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ttg orang-orang yg dinyatakan dlm firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yg memberikan apa yg tlh mereka berikan dgn hati yg takut, (krn mereka tahu bhw) sesungguhnya mereka akan kembali kpd Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)

“Apakah mereka orang-orang yg mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kpd Allah?”

Baginda menjawab, “Bkn wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yg mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tdk diterima. Mereka itu bersegera utk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yg segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)

Orang yg mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yg menyusup ke dlm dirinya, sdg dia tdk menyedarinya. Inilah yg disebut syahwah khafiyyah yg menyusup ke dlm diri orang yg meniti jalan kpd Allah tanpa disedarinya.

Dlm hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dlm kederhakaan amat jelas dan terang. Sdgkan kepentingan peribadi di dlm ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yg tdk nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yg masuk ke dlm dirimu dan orang lain juga tdk melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dlm beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tdk perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”

Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dr Liputan

Amal yg dilakukan secara diam-diam harus lbh disukai drp amal yg disertai liputan dan didedahkan. Dia lbh suka memilih menjadi perajurit bayangan yg rela berkorban, namun tdk diketahui dan tdk dikenali. Dia lbh suka memilih menjadi bahagian dr suatu jamaah, ibarat akar pohon yg menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tdk terlihat oleh mata, tersembunyi di dlm tanah; atau spt asas bangunan. Tanpa asas, dinding tdk akan berdiri, atap tdk akan dpt dijadikan berteduh dan bangunan tdk dpt ditegakkan. Tetapi ia tdk terlihat, spt dinding yg terlihat jelas. Syauqy berkata di dlm syairnya:

Landasan yg tersembunyi
Tdk terlihat mata krn merendah
Bangunan yg menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah

Di bahagian sblm ini tlh dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yg berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, iaitu jika tdk hadir mereka tdk diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dr setiap tempat yg gelap.”

Keempat: Tdk Memerlukan Pujian Dan Tdk Tenggelam Oleh Pujian

Tdk meminta pujian orang-orang yg suka memuji dan tdk bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tdk terkecoh ttg hakikat dirinya di hdpn orang yg memujinya, krn mmg dia lbh mengetahui ttg rahsia hati dan dirinya drp orang lain yg boleh tertipu penampilan dan tdk mengetahui batinnya.

Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dr persangkaan mereka ttg dirimu. Maka adalah engkau orang yg mencela dirimu sendiri krn apa yg engkau ketahui pd dirimu. Orang yg paling bodoh adalah yg meninggalkan keyakinannya ttg dirinya krn ada persangkaan orang-orang ttg dirinya.”

Diriwayatkan dr Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh, bhw jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, jgnlah Engkau hukum aku krn apa yg mereka katakan. Berikanlah kebaikan kpdku dr apa yg tdk mereka ketahui.”

Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anh berkata kpd orang-orang yg mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yg menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.

Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kpd Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tdk mengenalku dan hanya Engkaulah yg mengetahui siapa diriku.”

Salah seorang yg shaleh bermunajat kpd Allah, krn sebahagian orang ada yg memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:

Mereka berbaik sangka kpdku
Padahal hakikatnya tdklah begitu
Tetapi aku adalah orang yg zalim
Sbgmana yg Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yg ada
Dr pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sbg tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tdk layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Jgnlah Engkau hinakan aku
Pd Hari Qiamat di tgh mereka
Jadikanlah aku yg mulia
Termasuk yg hina dina

Penyair yg shaleh ini mengisyaratkan makna yg lembut dan sgt penting, iaitu keindahan tabir yg diberikan Allah kpd hamba-hambaNya. Brp banyak cela yg tersembunyi, dan Allah menutupinya dr pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dr pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan utk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sbg kurnia dan kemuliaan bgnya.

Seerti dgn ini tlh dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “Sesiapa yg memuliakanmu, sbnrnya dia tlh memuliakan keindahan tabir pd dirimu. Keutamaan ada pd diri orang yg memuliakanmu dan menutupi aibmu, bkn pd diri orang yg menyanjungmu dan berterima kasih kpdmu.”

Abu al-Atahiyah berkata dlm syairnya:

Allah tlh berbuat baik kpd kita
Krn kesalahan tdk menyebar ke mana-mana
Apa yg tersembunyi pd diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya

Kelima: Tdk Kedekut Pujian Terhadap Orang Yg Mmg Layak Dipuji

Tdk kedekut memberikan pujian kpd orang lain yg mmg layak dipuji dan menyanjung orang yg mmg layak disanjung. Di sana ada dua bencana yg bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kpd orang yg tdk berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kpd orang yg layak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, spt sabda Baginda ttg Abu Bakar yg bermaksud: “Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sbg kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”

Sabda Baginda kpd Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yg lain.”

Sabda Baginda kpd Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yg para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”

Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau spt kedudukan Harun di mata Musa.”

Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu drp pedang-pedang Allah.”

Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”

Masih ramai sahabat yg dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, krn kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dr kalangan pemuda, spt Usamah bin Zaid yg diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dlm pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sbg pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh thn. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lbh diutamakan drp orang-orang yg lbh terdahulu memeluk Islam, krn kelebihan dirinya, spt Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.

Boleh jadi seseorang tdk mahu memberikan pujian kpd orang yg layak dipuji, krn ada maksud tertentu dlm dirinya, atau krn rasa iri hati yg disembunyikan, spt takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Krn dia juga tdk mampu utk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tdk perlu menyanjungnya.

Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yg meminta pendapat Ibn Abbas dlm pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sgt muda. Maka para pemuka sahabat berkata kpdnya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Krn usia yg muda tdk menghalangimu utk berbicara.”

Keenam: Berbuat Selayaknya Dlm Memimpin

Orang yg mukhlis krn Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan ttp patriotik ketika berada paling blkg, selagi dlm dua keadaan ini dia mencari keredhaan Allah. Hatinya tdk dikuasai kesenangan utk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dlm kepimpinan. Tetapi dia lbh mementingkan kemashlahatan bersama krn takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yg dia lewatkan.

Apa pun keadaannya dia tdk bercita-cita dan tdk menuntut kedudukan utk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sbg pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kpd Allah agar dia mampu melaksanakannya dgn baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tlh mensifatkan kelompok orang spt ini dlm sabda Baginda yg bermaksud:

“Keuntungan bg hamba yg mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yg kusut kepalanya dan yg kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan blkg, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)

Allah meredhai Khalid bin al-Walid yg diberhentikan sbg komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yg sentiasa mendapat kemenangan. Stlh itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dlm kedudukan spt itu pun beliau ttp ikhlas memberikan pertolongan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan seandainya ada seseorang yg meminta jawatan dan sengaja utk mendapatkannya. Tlh disebutkan di dlm as-Shahih, bhw Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh bersabda kpd Abdurrahman bin Samurah:

“Jgnlah engkau memimta jawatan pemimpin. Krn jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kpdmu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketujuh: Mencari Keredhaan Allah, Bkn Keredhaan Manusia

Tdk memperdulikan keredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sbb setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dlm sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yg ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yg tdk bertepi, tujuan yg sulit diketahui dan tuntutan yg tdk terkabul. Dlm hal ini seorang penyair berkata:

Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yg membentang
Di tgh tuntutan-tuntutan hawa nafsu

Penyair lain berkata:

Jika aku meredhai orang-orang yg mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yg hina

Orang yg mukhlis tdk terlalu peduli dgn semua ini, krn syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dlm satu syair:

Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup ttp terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yg ada di atas tanah
Ttp menjadi tanah

Kelapan: Menjadikan Keredhaan Dan Kemarahan Krn Allah, Bkn Krn Kepentingan Peribadi

Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan krn Allah dan agamaNya, bkn krn pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tdk spt orang-orang munafik opportunis yg dicela Allah dlm KitabNya:

“Dan di antara mereka ada yg mencela mu ttg (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian drpnya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tdk diberi sebahagian drpnya, dgn serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)

Boleh jadi engkau prnh melihat orang-orang yg aktif dlm lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yg mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yg menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkan medan jihad dan dakwah.

Ikhlas utk mencapai tujuan menuntutnya utk cekal dlm berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sbb dia berbuat krn Allah, bkn krn kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bkn krn kepentingan orang tertentu.

Dakwah kpd Allah bkn spt harta yg ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tdk boleh menarik diri dr medan dakwah ini hanya krn sikap atau tindakan tertentu yg mempengaruhi dirinya.

Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan

Perjalanan yg panjang, lambatnya hasil yg diperoleh, kejayaan yg tertunda, kesulitan dlm bergaul dgn pelbagai lapisan manusia dgn perbezaan perasaan dan kecenderungan mereka, tdk boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tgh jalan. Sbb dia berbuat bkn sekadar utk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yg plagi pokok tujuannya adalah utk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.

Nabi Nuh ‘alaihissalam, pemuka para anbia’, hidup di tgh kaumnya selama 950 thn. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yg mahu beriman kpd beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yg difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku tlh menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dr kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kpd iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dlm telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)

Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 thn, beliau ttp menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yg berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yg lain berpaling dr beliau, sekali pun beliau sgt berharap mereka mahu beriman.

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita individu-individu Mu’min di dlm surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tdk mengatakan, “Kematian ini dpt memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?”

Mereka tdk berkata spt itu, krn mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tgn Allah. Siapa yg tahu kalau pun darah mereka itu merupakan santapan lazat bg pohon iman generasi berikutnya?

Perkara yg prinsip, alam orang yg mukhlis hanya bg Allah semata. Dia cekal dlm hal ini dan terus spt itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kpd Allah, krn Allah-lah yg menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bg Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.

Sesungguhnya di akhirat Allah tdk akan bertanya kpd manusia, “Mengapa engkau tdk memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tdk berusaha?”

Allah tdk bertanya, “Mengapa engkau tdk berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tdk melakukannya?”

Kesepuluh: Berasa Senang Jika Ada Yg Bergabung

Berasa senang jika ada seseorang yg mempunyai kemampuan, bergabung dlm barisan mereka yg mahu beramal, utk menegakkan bendera atau ikut taat dlm amal. Hal ini harus disertai dgn usaha memberikan kesempatan kpdnya, sehingga dia dpt mengambil tempat yg sesuai dgn kedudukannya. Dia tdk harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah krn kehadirannya. Malahan jika orang yg mukhlis melihat ada orang lain yg lbh baik drp dirinya yg mahu memikul tanggungjawabnya, maka dgn senang hati dia akn mundur, memberikan tanggungjawabnya kpd orang itu dan dia berasa senang menyerahkan jawatan kpdnya.

Sebahagian orang yg memegang jawatan, lbh-lbh lagi jika berada di barisan hadapan, tdk mahu menyerah dlm mempertahankan kedudukannya, tdk mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain. Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yg tlh diberikan Allah kpdku, maka aku tdk mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yg tlh dikenakan kpdku, maka aku tdk mahu membukanya. Kedudukan ini dtg dr langit.”

Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bg mereka yg sesuai dgnnya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bg orang yg mmg sesuai dgn tenoat itu. Banyak cemuhan ditujukan kpd penguasa yg bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dgn anggapan bahawa merekalah yg paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dr terpaan angin taufan.

Ketika mendapat kritik dr orang lain, para da’ie Muslim tdk boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tdk boleh lpd tgn demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yg tdk boleh lps tgn demi kemaslahatan negara dan ummah. Krn andai lpd tgn, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yg dibisikkan ke dlm hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yg lbh banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kpd kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.

Brp ramai jemaah atau harakah yg disusupi kezaliman dr luar, pengaruh dr dlm atau kepincangan dlm berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sbg akibat dr kerakusan satu atau dua orang yg terlibat di dlmnya. Dia tdk mahu melepaskan kedudukannya kpd orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tdk mahu berputar seiring dgn putaran bumi, tdk berubah seiring dgn perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.

Malahan di antara mereka ada yg memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah utk menghalang jalan bg orang lain yg lbh mampu dan lbh bertenaga, bkn sahaja orang lain itu dpt dikerahkan utk mengurangkan beban amanat yg dipikulnya malah sekaligus sbg melatih diri utk memikul tanggungjawab.

Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yg Bermanfaat

Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yg paling diredhai Allah, dan bkn yg paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yg mukhlis lbh mementingkan amal yg lbh banyak manfaatnya dan lbh mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.

Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan utk mendamaikan mereka yg sdg bertikai, justeru itulah yg lbh dipentingkannya. Dlm sebuah hadith disebutkan:

“Ketahuilah, akan ku khabarkan kpdmu ttg sesuatu yg lbh utama drp darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sbb kerosakan di antara sesama amnusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)

Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dlm jiwa jika boleh melaksanakan umrah pd setiap bulan Ramadhan dan haji pd musimnya. Tetapi dikatakan kpdnya, “Sumbangkan saja wang itu utk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yg sdg mengalami kehancuran.” Jika hatinya tdk lapang dan menolak, maka dia spt apa yg dikatakan al-Ghazali sbg orang yg tertipu.

Ada seorang penderma dr salah satu negara kaya yg berkunjung ke Afrika utk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yg mengusulkan akar dia membaiki bbrp masjid lama yg hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tgh permukiman penduduk dan kewujudannya sgt diperlukan. Tabung yg mestinya utk membangun satu masjid yg direncanakan, cukup utk membaiki sepuluh masjid lama yg sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan utk nama-nama masjid tersebut.

Kedua Belas: Menghindari Ujub

Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tdk merosak amal dgn ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yg tlh dilakukannya. Sikap spt ini dpt membutakan matanya utk melihat celah-celah yg sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yg perlu dilakukan oleh orang Mu’min stlh melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia tlh melakukan kelalaian, disedari mahupun tdk disedari. Maka dr itu dia takut jikalau amalnya tdk diterima. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dr mereka yg bertaqwa.” (al-Maidah: 27)

Di antara ungkapan yg sgt berkesan dlm masalah ini, yg dinisbatkan kpd Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yg menyesakkanmu lbh baik di sisi Allah drp kebaikan yg membuatmu ujub.”

Pengertian spt ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dlm Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tdk membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sbb yg menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yg membuahkan ketundukan dan kepasrahan lbh baik drp ketaatan yg membuahkan ujub dan kesombongan.”

Dr sini al-Quran memperingatkan agar tdk menyertai sedekah dgn menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yg menyakitkan, krn dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yg dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yg bermaksud:

“Perkataan yg baik dan pemberian maaf lbh baik drp sedekah yg diiringi dgnsuatu yg menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yg beriman, jgnlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dgn menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), spt orang yg menafkahkan hartanya krn riya’ kpd manusia dan dia tdk beriman kpd Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bg orang itu adalah spt batu licin yg di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tdk bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yg merosak. Ibn Umar meriwayatkan dr Baginda yg bermaksud:

“Tiga perkara yg merosak dan tiga perkara yg menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yg merosak adalah kedekut yg ditaati, hawa nafsu yg diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dlm Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita kejadian yg dialami kaum Muslimin pd waktu Perang Hunain. Allah tlh memberikan kemenangan kpd mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tdk diunggulkan menang. Allah juga memberikan kemenangan kpd mereka pd Perang Khandaq, yg sblm itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yg bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dgn hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kpd mereka pd waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pd waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub krn jumlah mereka yg banyak. Ternyata jumlah yg banyak ini tdk memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kpd Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dr sisi Allah. Dia berfirman yg bermaksud:

“Sesungguhnya Allah tlh menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yg banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pd waktu kamu menjadi sombong krn banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yg banyak itu tdk memberi manfaat kpd kamu sedikit pun, dan bumi yg luas itu tlh terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke blkg dgn bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kpd RasulNya dan kpd mereka yg beriman.” (at-Taubah: 25-26)

Orang Mu’min yg sedar adalah mereka yg menyerahkan segala urusannya hanya kpd Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya dtg dr sisiNya. Firman Allah:

“Dan kemenangan itu hanyalah dr Allah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 126)

Kemuliaan juga datang hanya dr sisiNya:

“Barangsiapa yg menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)

Taufiq kpd hal-hal yg baik juga berasal dr pertolongan Allah. FirmanNya:

“Dan tdk ada taufiq bagiku melainkan dgn (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)

Hidayah hanya dtg dr sisiNya:

“Barangsiapa yg disesatkanNya, maka kamu tdk boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yg dtg yg mampu memberikan petunjuk kpdnya.” (al-Kahfi: 17)

Dikatakan dlm sebuah syair:

Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tdk akan ada pilihan bg semua manusia
Andaikan Dia tdk memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana

Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri

Al-Quran tlh memperingatkan utk membersihkan diri dr pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:

“Dia lbh mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dr tanah dan ketika kamu masih dlm janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertaqwa.” (an-Najm: 32)

Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yg menganggap dirinya suci. Firman-Nya yg bermaksud:

“Apakah kamu tdk memerhatikan orang yg menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yg dikehendaki-Nya dan mereka tdk dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)

Hal ini terjadi krn mereka berkata, spt yg dijelaskan Allah yg bermaksud:

“Kami ini adalah anak-anak Allah dan keksih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)

Perkataan mereka ini disanggah dgn firman-Nya yg bermaksud:

“Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yg diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yg dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yg dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaanl Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kpd Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)

Orang yg tlh melakukan sesuatu amal shaleh, tdk boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika utk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:

“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)

Selain itu ia bertujuan utk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yg bermaksud:

“Barangsiapa membuat sunnah yg baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yg mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)

Dibolehkan juga jika bertujuan utk membela diri krn ada tuduhan yg dilemparkan kpdnya, padahal dia tdk bersangkut-paut dgn tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bg orang yg batinnya sudah kuat krn Allah semata dan bukan krn tujuan yg bukan-bukan serta tdk tergolong pd ujub, tdk bertujuan mencari sanjungan dr orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jrg orang yg bebas dr tujuan ini.

Orang Islam harus waspada, jgn sampai ujub terhadap diri sendiri, krn kebaikan dan keshalihan yg dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yg beruntung sdg yg lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yg layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yg selamat) sdgkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yg layak disebut thaifah manshurah (kelompok yg mendapat pertolongan) sdgkan yg lain dibiarkan.

Pandangan terhadap diri sendiri spt ini adalah ujub yg merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam spt itu adalah pelecehan yg menghinakan.

Dlm sebuah hadith shahih disebutkan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia tlh rosak’, maka dialah yg lbh rosak drp mereka.” (HR Imam Muslim)

Hadith ini diriwayatkan dgn bacaan ‘ahlakuhum’, dgn pengertian bahawa justeru dialah yg lbh byk dan lbh cepat menimbulkan kerosakan, krn dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orh lain. Dgn bacaan dan makna spt ini, bererti dialah yg menyebabkan kerosakan mereka, krn dia berasa lbh unggul dr mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan ini ditujukan kpd orang-orang yg berkata spt itu, krn ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan org lain dan berasa dirinya lbh unggul dr mereka. Ini adalah perbuatan yg diharamkan. Tetapi jika perkataan spt itu disampaikan krn memang ada kekurangan dlm pengamalan agama mereka atau krn rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa. Inilah yg ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, spt yg dikatakan olek Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.

Dlm hadith lain disebutkan, yg bermaksud:

“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)

Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tdk mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sdgkan mereka ibarat dua cabang yg melekat di satu pohon yg sama.

Hari akhir sering kali diperbincangkan oleh sebagian umat manusia. Meski diperbincangkan namun tidak banyak yang mencoba bersiap untuk menyambut kehadirannya. Memang di sana ada beberapa golongan manusia yang menyikapi tentang kehidupan yang lain ini, dan ada pula yang mengingkarinya, ada yang ragu dan ada pula yang beriman kepadanya yang disebutkan terakhir adalah orang-orang mukmin yang bertakwa kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “alif lam mim, inilah alkitab yang tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa yaityu yang beriman dengan hal-hal yang ghoib.…” (QS: Al-Baqarah: 1-5)

Orang-orang mukmin merekalah yang percaya secara pasti tentang datangnya hari tersebut, diawali dengan kehidupan di alam kubur kemudian Alloh ‘Azza wa Jalla bangkitkan manusia dari kubur mereka, dihisab dan dibalas perbuatan mereka sehingga penduduk surga menempati tempat mereka dan penduduk neraka menempati tempat mereka pula.

Beriman kepada hari akhir meliputi 2 hal:
1. yaitu beriman kepada adanya kebangkitan dan dihimpunkannya manusia. Setelah kematian seluruh manusia, Alloh ‘Azza wa Jalla kemudian menghidupkan kembali orang-orang mati dari kubur mereka serta dikembalikan setiap ruh kepada tubuhnya lalu bangkitlah umat manusia untuk menghadap kepada tuhan mereka. Mereka dihimpunkan dan dikumpulkan didalam suatu keadaan tanpa alas kaki, telanjang tanpa berpakaian dan belum berkhitan. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “kemudian sesudah itu sesungguhnya kalian benar-benar akan mati , kemudian sensungguhnya kamu sekalian akan dibangkitakan dari kuburmu dihari kiamat” (QS: Al – Mukminun: 15-16)
Tentang penghimpunan dan pengumpulan manusia, Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “pada hari kiamat manusia dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan tanpa dihitan” (mutafaqun alaih)
2. Beriman dengan hisab (perhitungan amal) dan mizan atau (timbangan amal) Allah menghitung amal setiap manusaia berdasarkan amal yang mereka lakukan di dunia. Barang siapa termasuk ahli tauhid dan taat kepada Alloh ‘Azza wa Jalla serta rasulNya ia akan mendapatkan perhitungan yang mudah dan ringan. Sebaliknya barang siapa termasuk ahli syirik dan maksiat akan mendapati hisab yang sulit dan berat.
Selanjutnya amal perbuatan itu ditimbang dalam timbangan kebaikan diletakkan dalam suatu bejana timbangan dan keburukan diletakkan dalam bejana yang lain . barang siapa yang kebaikannya lebih berat dari pada keburukannya maka termasuk penduduk surga, sebaliknya segala keburukan lebih berat, maka termasuk penduduk neraka.

Firman Alloh ‘Azza wa Jalla berkaitan dengan perhitungan amal ini, yang artinya: “Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanan, maka dia akan dihitung amalnya dengan perhitungan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnyadengan tgembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk kedalam api yang menyala-nyala. ” (QS: Al-Insyiqoq: 7- 12)

Tentang Mizan Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat/adil pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang sedikitpun . dan jika amalan itu hanya sebesar biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)-Nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” (QS: Al Anbiyaa’: 47)

Muqaddimah
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)
Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Memang hanya satu insan kamil yang ma’shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.
Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru.
Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.
Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur’an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.
Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.

Pengertian Muraqabah dan Muhasabah
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.

Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.
Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat. Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di akhirat kelak.
Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.
Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul ‘alam” (soko guru dunia). Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul ‘alam yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).
Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur’an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la’natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.

Tahapan-tahapannya
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)
Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.
Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

Muraqabah
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:
“…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16), “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)
(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.
Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal ’afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.

Muhasabah
Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.
Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18). Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.
Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).
Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)
Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)
Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin.
Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)
Ummul Mu’minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do’akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo’akan termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.
Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.
Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.
Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.
Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita ?.
Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na’udzubillah min dzalik.

Hasil Muraqabah dan Muhasabah
Seseorang yang rajin me’muraqabah’i dan me’muhasabah’i dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan. Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan muraqabah dan muhasabah :
1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas syari’at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).
3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30)

Oleh:Abdul Hakim bin Amir Abdat

Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang telah hilang dari dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ; Dimana Allah ? Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! :

1. Allah ada pada diri kita ini ..!
2. Allah dimana-mana di segala tempat !

Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu’tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid’ah.

Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :

Artinya : “Beliau bertanya kepadanya : “Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : “Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : “Siapakah Aku ..?”. Jawab budak itu : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”.

Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :

1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa’i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya “Al-Muntaqa” (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya “Sunanul Kubra” (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya “Tauhid” (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
12. Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya “As-Sunnah ” (No. 652).

PEMBAHASAN

PERTAMA
Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid’ah dari kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu; dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary, yaitu ; mereka mempunyai i’tiqad (berpendapat) :

“ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?”

Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya !?.

Jawablah kepada mereka dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Artinya :

“Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar” (An-Nur : 16)

“Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan ” (Al-Mu’minun : 91)

“Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar”. (Al-Isra : 43)

Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).

Artinya :

“Dan demikian ra’yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : “Dimana Allah ? “Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SAW”.

Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah (hal: 39): “Di dalam hadits Rasulullah SAW ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu’min”.

Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SAW (kepada budak perempuan): “Dimana Allah ?”. Mendustakan perkataan orang yang mengatakan : “Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan (pertanyaan): Di mana .?

KEDUA

Lafadz ‘As-Samaa” menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :
Artinya :
“(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah”.
Dinamakan “Awan” itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

Artinya :

“Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)” (Al-Baqarah : 22).

Adapun huruf “Fii” dalam lafadz hadits “Fiis-Samaa” bermakna ” ‘Alaa” seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Artinya :

“Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi” (At-Taubah : 2)

“Mereka tersesat di muka bumi” (Al-Maa’idah : 26)

Lafadz “Fil Arldhii” dalam dua ayat diatas maknanya ” ‘Alal Arldhii”, Maksudnya :

Allah ‘Azza wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun mahluk menyerupai-Nya.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Artinya :

“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan) Maha Melihat”. (As-Syura : 4)

“Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 4)

“Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (bersemayam)”. (Thaha : 5)

“Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.(Al-A’raf :54).

Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah ‘Azza wa Jalla ISTIWAA diatas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Mereka tidak menta’wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan “Allah istiwaa di atas ‘Arsy” itu maknanya : Allah menguasai ‘Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?… Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).

Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai ‘Arsy. Ia menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan mahluk). Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas ‘Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur’an. Dan semuanya dengan lafadz “istawaa”. Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat, bukan “istawla” dengan jalan menta’wilnya.

Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya.

Artinya :

“Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istawaa” (Thaha : 5)

“Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.

Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :

1. Surat Al-A’raf ayat 54
2. Surat Yunus ayat 3
3. Surat Ar-Ra’du ayat 2
4. Surat Al-Furqaan ayat 59
5. Surat As-Sajdah ayat 4
6. Surat Al-Hadid ayat 4

Menurut lughoh/bahasa, apabila fi’il istiwaa dimuta’adikan oleh huruf ‘Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada di atasnya.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Artinya :

“Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi” (Hud : 44).

Di ayat ini fi’il “istawaa” dimuta’addikan oleh huruf ‘Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa “Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi” yakni menta’wil lafadz “istawat” dengan lafadz “istawlat” yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13).

Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas).

Artinya :

“Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya :

“Ia berada tinggi di atas “Arsy”

(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya “At-Tauhid” (hal: 101):

Artinya :

“Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A’laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi) sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya. Kami tidak akan mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan “Sesungguhnya Ia (Allah) istawla (menguasai) ‘Arsy-Nya tidak istawaa!”. Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan : “Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)” Tetapi mereka mengucapkan : “Hinthah (gandum).?”. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah”.

Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai ‘Arsy sedangkan Dzat Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum Jahmiyyah !

Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas ‘Arsy-Nya tanpa :

1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.
2. Ta’wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
3. Ta’thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara keseluruhannya.
4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?

Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya : “Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :

Artinya :

“Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid’ah”.

(baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46)

Perhatikan !

1. ‘Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas :

Artinya :

“Dan ‘Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya”.

Berkata Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat (terpercaya).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid”).

2. Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas ‘Arsy- tidak tergantung kepada ‘Arsy. Bahkan sekalian mahluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

Artinya :

“Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (Al-Ankabut : 6) Yakni : Allah tidak berkeperluan kepada sekalian mahluk”.

KETIGA

Penunjukan Beberapa Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang Shahih

Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

Artinya :

“Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?” (Al-Mulk : 16)

“Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit bahwa Ia akan mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan mengetahui bagaimana ancaman-Ku”. (Al-Mulk : 17).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -setelah membawakan dua ayat di atas di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 115).

Artinya :

“Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu ; apa yang ada diantara keduanya sesungguhnya Ia di atas langit”.

Berkata Imam Abul Hasan Al-Asy’ary di kitabnya “Al-Ibanah Fi Ushulid-diayaanah hal : 4 setelah membawakan ayat di atas : “Di atas langit-langit itu adalah ‘Arsy, maka tatkala ‘Arsy berada di atas langit-langit. Ia berfirman : “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit ?” Karena sesungguhnya Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy yang berada di atas langit, dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Samaa” (langit), maka ‘Arsy berada di atas langit. Bukankah yang dimaksud apabila Ia berfirman : “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang diatas langit ?” yakni seluruh langit ! Tetapi yang Ia kehendaki adalah ‘Arsy yang berada di atas langit”.

Saya berpandangan (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dua ayat di atas sangat tegas sekali yang tidak dapat dibantah dan ta’wil bahwa lafadz “MAN” tidak mungkin difahami selain dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan Malaikat-Nya sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengannya, yang telah merubah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah dlamir (kata ganti) pada fi’il (kata kerja) “yakhtsif” (Ia menenggelamkan) dan “yartsil” (Ia mengirim) adalah “huwa” (Dia) ? siapakah Dia itu kalau bukan Allah ‘Azza wa Jalla.

Firman Allah :

Artinya :

“Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”. (An-Nahl : 50).

Ayat ini tegas sekali menyatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas bukan di mana-mana tempat. Karena lafadz “fawqo” (di atas) apabila di majrur dengan huruf “min” dalam bahasa Arab menunjukan akan ketinggian tempat. Dan tidak dapat di ta’wil dengan ketinggian martabat, sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Alangkah zhalimnya mereka ini yang selalu merubah-rubah firman Tuhan kita Allah Jalla Jalaa Luhu.

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 111): “Tidaklah kalian mendengar firman pencipta kita ‘Azza wa Jalla yang mensifatkan diri-Nya.

Artinya :

“Dan Dialah (Allah) yang Maha Kuasa di atas hamba-hamba-Nya”. (Al-An’am : 18 & 61).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya tersebut : “Tidakkah kalian mendengar wahai penuntut ilmu. Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala kepada Isa bin Maryam :

Artinya :

“Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku” (Ali Imran : 55)

Ibnu Khuzaimah menerangkan : Bukankah “mengangkat” sesuatu itu dari bawah ke atas (ke tempat yang tinggi) tidak dari atas ke bawah!. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla.

Artinya :

“Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya” (An-Nisa’ : 158).

Karena “Ar-raf’ah” = mengangkat dalam bahasa Arab yang dengan bahasa mereka kita diajas berbicara (yakni Al-Qur’an) dalam bahasa Arab yang hanya dapat diartikan dari bawah ke tempat yang tinggi dan di atas” (kitab At-Tauhid : 111).

Sekarang dengarlah wahai orang yang berakal, kisah Fir’aun bersama Nabi Allah Musa ‘Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir’aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit :

Artinya :

“Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 3 .

Perhatikanlah wahai orang yang berakal!. Perintah Fir’aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit-.

Kalau tidak demikian, yakni misalnya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat -sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah- tentu Fir’aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan mengerahkan bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya: “Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !”. Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.

Perhatikanlah, wahai orang yang berakal !. Keadaan Fir’aun yang mendustakan Nabi Musa dengan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka yang telah merubah firman Allah dengan mengatakan : Allah ada di segala tempat !.

Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanlah hasil dari pikiran saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara keterangannya : “Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas”.

2. Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : “Fir’aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 4 ).

3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya “Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”.

4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya “Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A’imah ” (hal : 15) : “Bahwasanya Fir’aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Musa AS menerangkan bahwa Tuhannya berada di atas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : “Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta” yakni tentang perkataan Musa : Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan”.

5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya : “Berkata Fir’aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit”. Kemudian beliau menerangkan : “Kalau sekiranya Musa mengatakan : “Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir’aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir’aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi”. (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).

6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : “Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir’aun) : “Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir’aun menuduhnya berdusta”. (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).

7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya “An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa ‘Alaa” (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : “Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun berkata : “Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta”.

Demikianlah penjelasan dari tujuh Imam besar di dalam Islam tentang ayat di atas, selain masih banyak lagi yang kesimpulannya: “Bahwa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit di atas ‘Arsy-Nya, Ia istiwaa (bersemayam) yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, adalah; sunnahnya Fir’aun”. Na’udzu billah !!.

Sampai di sini pembahasan beberapa dalil dari kitab Allah -salain masih banyak lagi- yang cukup untuk diambil pelajaran bagi mereka yang ingin mempelajarinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Artinya :

“Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !” (Al-Hasyr : 2).

Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi SAW banyak sekali. Di bawah ini akan disebutkan beberapa di antaranya :

Nabi kita SAW telah bersabda :

Artinya :

“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih dikitabnya “Silsilah Shahihah No. 925”.

“Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang di muka bumi, niscaya tidak akan disayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Mu’jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 83 diringkas oleh Al-Albani) mengatakan : Rawi-rawinya tsiqaat/kepercayaan).

“Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).

“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya “.(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).

Keterangan :

“Dzat yang di atas langit yakni Allah ‘Azza wa Jalla (perhatikan empat hadits di atas)”.

“Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : “Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku ? Mereka menjawab : “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll).

Keterangan :

“Sabda Nabi SAW : “Kemudian NAIK Malaikat-malaikat yang bermalam …dst” Menunjukan bahwa Pencipta itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas. Hal ini juga menunjukkan betapa rusaknya pikiran dan fitrahnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Pencipta kita, tidak berada di atas tetapi di segala tempat ? Maha Suci Allah ! Dan Maha Tinggi Allah dari segala ucapan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka !.

“Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi SAW di padang ‘Arafah : “(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi SAW mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo’a) : “Ya Allah saksikanlah ! Ya Allah saksikanlah ! ( Riwayat Imam Muslim 4/41).

Sungguh hadits ini merupakan tamparan yang pedas di muka-muka kaum Ahlul Bid’ah yang selalu melarang kaum muslimin merisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata : Kami khawatir orang-orang akan mempunyai i’tiqad bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit ! Padahal Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?.

Demikianlah kekhawatiran yang dimaksudkan syaithan ke dalam hati ketua-ketua mereka. Yang pada hakekatnya mereka ini telah membodohi Nabi SAW yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.

Perhatikanlah perkataan mereka : “Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?”

Perhatikanlah ! Adakah akal yang shahih dan fitrah yang bersih dapat menerima dan mengerti perkataan di atas !?.

Mereka mengatakan Allah tidak bertempat karena akan menyerupai dengan mahluk-Nya. Tetapi pada saat yang sama mereka tetapkan bahwa Allah berada di segala tempat atau di mana-mana tempat !?.

Ya Subhanallah !

Artinya :

“Dari Ibnu Abbas (ia berkata) : ” Bahwa Rasulullah SAW berkhotbah kepada manusia pada hari Nahr (tgl. 10 Zulhijah) -kemudian Ibnu Abbas menyebutkan khotbah Nabi SAW- kemudian beliau mengangkat kepalanya (ke langit) sambil mengucapkan : Ya Allah bukankah Aku telah menyampaikan ! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan !. (Riwayat Imam Bukhari Juz 2 hal : 191).

Perhatikan wahai orang yang berakal ! Perbuatan Rasulullah SAW mengangkat kepalanya ke langit mengucapkan : Ya Allah !.

Rasulullah SAW menyeru kepada Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy di atas sekalian mahluk-Nya. Kemudian perhatikanlah kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada di segala tempat, di bawah mahluk, di jalan-jalan, di tempat-tempat yang kotor, dan di perut-perut hewan !?

Maha Suci Allah ! Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sama dengan mereka !.

Artinya :

“Dari Aisyah, ia berkata : “Nabi SAW mengangkat kepalanya ke langit. (Riwayat Imam Bukhari 7/122).

KEEMPAT

Keterangan Para Sahabat Nabi SAW, dan Ulama-Ulama Islam.

Adapun keterangan dari para sahabat Nabi SAW, dan Imam-imam kita serta para Ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali, yang tidak mungkin kami turunkan satu persatu dalam risalah kecil ini, kecuali beberapa diantaranya.

1. Umar bin Khatab pernah mengatakan :

Artinya :

“Hanyasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini”. Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit ” [Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].

2. Ibnu Mas’ud berkata : Artinya : “‘Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”.

Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” No. 8987. dan lain-lain Imam.

Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya (beliau meringkas dan mentakhrij hadits ini di kitab Al-Uluw).

Tentang ‘Arsy Allah di atas air ada firman Allah ‘Azza wa Jalla.

“Dan adalah ‘Arsy-Nya itu di atas air” (Hud : 7)

3. Anas bin Malik menerangkan :
Artinya :

“Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi SAW, ia berkata : “Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.

Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan :

“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit”. (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176). Yakni perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsyin langsung Allah Ta’ala yang menikahinya dari atas ‘Arsy-Nya.

Firman Allah di dalam surat Al-Ahzab : 37

“Kami kawinkan engkau dengannya (yakni Zainab)”.

4. Imam Abu Hanifah berkata :

Artinya :

“Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir”.

Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan “aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi”. Berkata Imam Abu Hanifah : “Sesungguhnya dia telah ‘Kafir !”.

Karena Allah telah berfirman : “Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa”. Yakni : Abu Hanifah telah mengkafirkan orang yang mengingkari atau tidak tahu bahwa Allah istiwaa diatas ‘Arsy-Nya.

5. Imam Malik bin Anas telah berkata :

Artinya :

“Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya”.

6. Imam Asy-Syafi’iy telah berkata :

Artinya :

“Dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya”

7. Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : “Allah di atas tujuh langit diatas ‘Arsy-Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat.?

Jawab Imam Ahmad :

Artinya :

“Benar ! Allah di atas ‘Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-nya”.

8. Imam Ali bin Madini pernah ditanya : “Apa perkataan Ahlul Jannah ?”.

Beliau menjawab :

Artinya :

“Mereka beriman dengan ru’yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus bagi kaum mu’minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa”.

9. Imam Tirmidzi telah berkata :

Artinya :

“Telah berkata ahli ilmu : “Dan Ia (Allah) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-Nya”.

(Baca : “Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51, 52, 53, 54 dan 57).

10. Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- :

Artinya :

“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”.
(Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).

11. Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- :

“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5).

Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta’wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy. Dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?” (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).

Yakni : Kita wajib beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala istiwaa di atas ‘Arsy-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas sekalian mahluk-Nya. Tetapi wajib bagi kita meniadakan pertanyaan : “Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?”. Karena yang demikian tidak dapat kita mengerti sebagaimana telah diterangkan oleh Imam Malik dan lain-lain Imam. Allah istiwaa sesuai dengan kebesaran-Nya tidak serupa dengan istiwaanya mahluk sebagaimana kita meniadakan pertanyaan : Bagaimana Dzatnya Allah ?.

Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia, di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada beliau dengan “tawasul”, tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepas diri dari qaum musyrikin tersebut.

Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un !!.

KELIMA

Kesimpulan

Hadits Jariyah (budak perempuan) ini bersama hadits-hadits yang lain yang sangat banyak dan berpuluh-puluh ayat Al-Qur’an dengan tegas dan terang menyatakan :

“Sesungguhnya Pencipta kita Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya”. Maha Suci Allah dari menyerupai mahluk-Nya.!.

Dan Maha Suci Allah dari ta’wilnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada dimana-mana tempat !??.

Dapatlah kami simpulkan sebagai berikut :

1. Sesungguhnya bertanya dengan pertanyaan : “Dimana Allah ?, disyariatkan dan penanya telah mengikuti Rasulullah SAW.

2. Wajib menjawab : “Sesungguhnya Allah di atas langit atau di atas ‘Arsy”. Karena yang dimaksud di atas langit adalah di atas ‘Arsy. Jawaban ini membuktikan keimanannya sebagai mu’min atau mu’minah. Sebagaimana Nabi SAW, telah menyatakan keimanan budak perempuan, karena jawabannya : Allah di atas langit !.

3. Wajib mengi’tiqadkan sesungguhnya Allah di atas langit, yakni di atas ‘Arsy-Nya.

4. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir.

5. Barangsiapa yang tidak membolehkan bertanya : Dimana Allah ? maka sesungguhnya ia telah menjadikan dirinya lebih pandai dari Rasulullah SAW, bahkan lebih pandai dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzu billah.

6. Barangsiapa yang tidak menjawab : Sesungguhnya Allah di atas langit, maka bukanlah ia seorang mukmin atau mukminah.

7. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa bertanya :”Dimana Allah ?” akan menyerupakan Allah dengan mahluk-nya, maka sesunguhnya ia telah menuduh Rasulullah SAW jahil/bodoh !. Na’udzu billah !

8. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa Allah berada dimana-mana tempat, maka sesunguhnya ia telah kafir.

9. Barangsiapa yang tidak mengetahui dimana Tuhannya, maka bukankah ia penyembah Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia menyembah kepada “sesuatu yang tidak ada”.

10. Ketahuilah ! Bahwa sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit, yakni di atas ‘Arsy-Nya di atas sekalian mahluk-Nya, telah setuju dengan dalil naqli dan aqli serta fitrah manusia. Adapun dalil naqli, telah datang berpuluh ayat Al-Qur’an dan hadits yang mencapai derajat mutawatir. Demikian juga keterangan Imam-imam dan Ulama-ulama Islam, bahkan telah terjadi ijma’ diantara mereka kecuali kaum ahlul bid’ah. Sedangkan dalil aqli yang sederhanapun akan menolak jika dikatakan bahwa Allah berada di segala tempat !. Adapun fitrah manusia, maka lihatlah jika manusia -baik muslim atau kafir- berdo’a khususnya apabila mereka terkena musibah, mereka angkat kepala-kepala mereka ke langit sambil mengucapkan ‘Ya … Tuhan..!. Manusia dengan fitrahnya mengetahui bahwa penciptanya berada di tempat yang tinggi, di atas sekalian mahluk-Nya yakni di atas ‘Arsy-Nya. Bahkan fitrah ini terdapat juga pada hewan dan tidak ada yang mengingkari fitrah ini kecuali orang yang telah rusak fitrahnya.

Tambahan

Sebagian ikhwan telah bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tentang ayat :

Artinya :

“Dan Dia-lah Allah di langit dan di bumi, Dia mengetahui rahasia kamu dan yang kamu nyatakan, dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan “. (Al-An’am : 3)

Saya jawab : Ahli tafsir telah sepakat sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir mengingkari kaum Jahmiyyah yang membawakan ayat ini untuk mengatakan :

“Innahu Fii Qulli Makaan”

“Sesungguhnya Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat !”.

Maha Suci Allah dari perkataan kaum Jahmiyyah ini !

Adapun maksud ayat ini ialah :

1. Dialah yang dipanggil (diseru/disebut) Allah di langit dan di bumi.

2. Yakni : Dialah yang disembah dan ditauhidkan (diesakan) dan ditetapkan bagi-Nya Ilaahiyyah (Ketuhanan) oleh mahluk yang di langit dan mahluk yang di bumi, kecuali mereka yang kafir dari golongan Jin dan manusia.

Ayat tersebut seperti juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Artinya :

“Dan Dia-lah yang di langit (sebagai) Tuhan, dan di bumi (sebagai) Tuhan, dan Dia Maha Bijaksana (dan) Maha mengetahui”. (Az-Zukhruf : 84)

Yakni : Dia-lah Allah Tuhan bagi mahluk yang di langit dan bagi mahluk yang di bumi dan Ia disembah oleh penghuni keduanya. (baca : Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 123 dan Juz 4 hal 136).

Bukanlah dua ayat di atas maksudnya : Allah ada di langit dan di bumi atau berada di segala tempat!. Sebagaimana ta’wilnya kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Atau perkataan orang-orang yang “diam” Tidak tahu Allah ada di mana !.

Mereka selain telah menyalahi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta keterangan para sahabat dan Imam-imam Islam seluruhnya, juga bodoh terhadap bahasa Arab yang dengan bahasa Arab yang terang Al-Quran ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Abu Abdillah Al-Muhasiby dalam keterangan ayat di atas (Az-Zukhruf : 84) menerangkan : “Yakni Tuhan bagi penduduk langit dan Tuhan bagi penduduk bumi. Dan yang demikian terdapat di dalam bahasa, (umpamanya ) engkau berkata : “Si Fulan penguasa di (negeri) Khirasan, dan di Balkh, dan di Samarqand”, padahal ia berada di satu tempat”. Yakni : Tidak berarti ia berada di tiga tempat meskipun ia menguasai ketiga negeri tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia, umpamanya kita berkata “Si Fulan penguasa di Jakarta, dan penguasa di Bogor, dan penguasa di Bandung”. Sedangkan ia berada di satu tempat.

Bagi Allah ada perumpamaan/misal yang lebih tinggi (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 73).

Adapun orang yang “diam” (tawaqquf) dengan mengatakan : “Kami tidak tahu Dzat Allah di atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang telah memelihara kebodohan !. Allah Rabbul ‘Alamin telah sifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat ini, yang salah satunya bahwa Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “kita tidak tahu” nyata telah berpaling dari maksud Allah. Pantaslah kalau Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, sama seperti orang yang menta’wilnya.

Makna iman dalam persepektif Islam bukanlah sekedar percaya melainkan harus melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada manusia yakni Qolb (hati), lisan dan amal shaleh. Artinya seseorang yang beriman harus meyakini dalam hatinya dengan sesungguh-sungguhnya tentang semua hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan lisannya sebagai sebuah pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Dan akhirnya dijabarkan dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya
Tidak bisa dikatakan beriman seseorang, bila ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut. Misalnya seperti paman Nabi SAW yakni Abu Thalib, yang sebenarnya dilubuk hatinya meyakini kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta perilakunya menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasullulah. Namun karena beliau tidak juga kunjung mau melafaskan keimanannya, maka beliau mati tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun dengan hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas keimanannya dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi hatinya mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan kebencian sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik, manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam lipatan

Selanjutnya tipe ketiga, yakni tipe orang yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafaskannya namun enggan melaksanakan konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti ini dikategorikan orang-orang “fasiq”.
Kemudian hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang harus diimani adalah semua yang termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang terkenal. Keenam rukun iman tersebut ialah iman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, takdir yang baik dan buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun iman tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya. Iman kepada Allah seyogyanya membuat seseorang menjadi taat kepadaNya, menjalankan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi semua yang dilarangNya serta selalu bersandar dan memohon pertolongan kepadaNya, takut kepada ancaman dan nerakaNya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurgaNya. Disamping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepadaNya.
Berikutnya iman kepada malaikat membawa konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan karena di kanan dan di kiri kita ada Roqib dan Atid yang siap mencatat segala yang baik maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada kitab-kitabNya membuat kita mengimani semua kitab suci yang berasal dariNya. Namun kitab-kitab suci terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa berlakunya dan telah dikoreksi dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir : Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi membawa konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS 2:285). Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah Muhammad SAW (QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir yang baik dan buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti takdir baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau terkena musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari akhir atau kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau mengkalkulasi pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat itu (QS 59:18) berupa ketaqwaan karena segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak.

Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman tersebut.
Dalam QS 49:14, Allah berfirman :
“Berkata orang-orang Arab (Badui) :Kami telah beriman. Katakanlah kepada mereka :Jangan gegabah mengatakan “kami beriman” tetapi katakanlah “kami telah Islam”, tunduk. karena keimanan belum masuk kedalam hatimu …. . ”
Dari ayat tersebut di atas kita bisa melihat bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan waktu, jihad, kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor hidayah untuk membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan menghunjam ke dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya adalah kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi setelah iman sudah ada didalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah iman kita meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadist Nabi SAW disebutkan : “Al iman yazid wa yanqush”: iman bisa bertambah atau berkurang. Karena itu seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan yang dapat kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk, demikian pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap fluktuasi iman digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra :berbolak-baliknya hati lebih cepat tinimbang air yang menggelegak di periuk tatkala mendidih. Dari tinjauan etimologisnya saja ;hati, qolban adalah sesuatu yang berbolak-balik sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena iman tempat di hati, seyogyanyalah kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan turun naiknya iman.
Karena itu dalam QS 3:8, Allah menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan ketetapan hati. Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi SAW :”Ya Allah, yang pandai membolak-balikkan hati, tetapkan hati hamba pada agamamu. ” Mengapa kita harus terus berdoa seperti itu ? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap survive dan kalau bisa meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai membuat iman itu berbuah.
Syaikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah pernah mengungkapkan kata-kata bijak :”Dunia adalah ladang tempat menanam kebajikan yang hasilnya akan kita tuai, panen di akhirat kelak.
Menurut Ibnul Qoyyim pula, iman yang dimiliki seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh dan berbuah ia harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur atau memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak kita bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian taqwa yang dimilikinya dan implementasi iman berupa ibadah, amal shaleh dan ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit yang dimiliki seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan memberinya pupuk dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah yang akan dituainya kelak diakhirat.
Rasulullah SAWpun menegaskan : “Al iman yaazidu bi thoat wa yanqushu bil maksiat. Iman akan bertambah /meningkat dengan ketaatan dan akan berkurang atau menurun dengan kemaksiatan yang dilakukan.

1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman
Merujuk kepada hadist Nabi SAWdiatas, jelas nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah jika ia berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati orang-orang yang taat kepadaNya dan rosulNya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka menuruti perintahNya dan menjauhi laranganNya maka akan semakin meningkatlah kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang juga bisa menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu mengingat Allah dan banyak bersyukur kepadaNya. Atau bila diberi cobaan berupa musibah tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka padaNya (QS 29 : 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan pengujian kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang bisa terjadi pada diri seorang mu’min yakni bila ia memiliki keimanan, iman akan mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang dikehendakiNya (QS 51 : 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketaqwaan dan ketaqwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau berkurang dan bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang dilakukannya. Semakin banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang akan semakin menurun kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus melakukan dosa besar, pada saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya habis sama sekali.
Imam Ghozali mengumpamakan hati seseorang seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang dilakukannya akan menyebabkan titik hitam dilembaran putih itu. Semakin banyak dosa kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan hati yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut atau menyesal pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan.
Apabila kemaksiatan yang dilakukan seseorang masih terkatagori as sayyiat atau dosa kecil, maka kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya Allah akan mengkompensasi dosa dosa kecil tersebut. Dalam hadist Nabi SAW dikatakan :”Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik. “
Sementara itu didalam QS 3 : 135 disebutkan ciri orang beriman dan bertaqwa adalah :bila melakukan kekejian atau menzolimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat ingat Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah SWT memang menyuruh kita bersegera bertaubat memohon ampunan dan syurgaNya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam taubat adalah adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti dan ketika berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.

2. Dampak Positif atau Manfaat Kekuatan Iman
a. Memiliki kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al quwwatu silah billah “ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang paling nyata. Karena seorang mu’min yang memiliki kekuatan hubungan dengan Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b. Memiliki ketenangan dan ketentraman jiwa. Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak pernah takut pada manusia sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya takut kepada Allah saja. Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa diliputi ketentraman dan ketenangan (QS 13 :28), sehingga Rasullulah SAW bersabda : « sungguh ajaiblah urusannya orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu baik untuknya. Dan bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya. Iman dalam diri seorang mu’min menjadi stabilisator bagi jiwanya. Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur atau lupa diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang Maha memberi : bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat apapun juga tidak akan membuatnya hilang akal, tergoncang jiwanya dan berburuk sangka atau berpaling dari Allah.
c. Memiliki kemampuan memikul beban apakah itu beban kehidupan ataupun beban dijalan Allah. Orang yang beriman akan mampu memikul beban kehidupan ataupun beban di jalan Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan berikhtiar semaksimal mungkin dan mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah. Fatimah putri Nabi SAW adalah contoh luar biasa seseorang yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang berat. Suatu saat ketika ia bersama bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut risalah bapaknya dan juga kaum nya mengalami tahun-tahun sulit masa pemboikotan, ibunda Khodijah sempat dengan sendu berujar kepadanya : ‘’ Kasihan anakku sekecil ini kau sudah menderita ‘’ jawaban Fatimah benar-benar mencengangkannya :’’Ibu …mengapa ibu berkata begitu ? cobaan yang lebih berat dari ini pun aku sanggup ‘’Subhanallah.
d. Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi musibah. Sesungguhnya setiap mu’min akan dicoba oleh Allah dengan berbagai cobaan keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah, ia akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan syurganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari Allah bagi orang –orang yang sabarpun tak ada batasnya. Tak terhitung dan berlimpah ruah seperti luapan air bah. Subhanallah, Allahuakbar.

3. Tanda-tanda keimanan
Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah amal shaleh yang dilakukannya dan libasut taqwa (pakaian taqwa) yang dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim dari kufri adalah keimanannya kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat karena dalam hadist dikatakan :bainal abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat ( batas antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49 :15 disebutkan orang yang beriman ialah yang tak pernah sedikitpun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi ujian-ujian keimanan dari Allah (QS 29 :2) ada satu surat didalam Al Quran yang berjudul Al-mukminun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman yakni khusyu dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji serta menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas akan mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mu’min yang lain ada pada QS 48 :29, yang bahkan ciri keimanannya itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu bersujud kepadaNya.
Dan akhirnya orang yang istiqomah dalam keimanannya akan selalu memiliki sikap at tafa’ul (optimis), as syajaah (berani), dan ith mi’nan (tenang ) dalam kehidupan ini.

4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan keimanan seseorang di antaranya ialah :
a. Shalat tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat nawaafil.
b. Shaum. Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum sunnah seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c. Memperbanyak tilawah quran. Dalam QS 8 :2 disebutkan ciri orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d. Dzikir dan takafur. Rasullullah SAW terlihat menangis ketika turun surat QS 3 : 190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab : celakalah orang yang membaca ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya. Dan kedua ayat tersebut berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda kekuasaannya.
e. Jalasah ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan sahur bersama untuk kemudian berpuasa dan bila memungkinkan ifthor shaum bersama dengan didahului taujih, ruhiah akan besar efeknya bagi keimanan seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak sahabat-sahabat yang lain : “ijlis bina ‘ nu’minu sa’at”(duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan penuh konsentrasi).
f. Dzikrul maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya apakah dengan menjenguk dan mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau memandikan, mengkafani dan menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga dapat meningkatkan keimanan seseorang.

SUPLEMEN
Aqidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah Azzam mendefinisikan istilah aqidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara Imam Syahid Hasan Al- Banna menjabarkan aqidah sebagai urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati menentramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan.
Aqidah yang diajarkan Rasulullah SAW adalah tauhid dan tujuannya ialah untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari aqidah atau yang berkaitan dengan masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi atau salafus shaleh.
2. Metode ghoiru asasi yakni metode ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus shaleh yakni metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in dan tabit tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah seperti ungkapan Abu Bakar Ash Shidiq :’’ Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya kepadaku niscaya aku tidak mengenalNya ‘’.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan metode yang kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghoiru asasi yang lebih dikenal sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis dan daya nalar dalam masalah keimanan atau aqidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau pengaruh keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun kepada prilaku atau akhlaq yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin yakin malah semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam Ar-Razi dan Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa metode paling efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode A-Qur’an dan Al-Sunnah. Wallohu a’lam …

Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw membonceng sepupunya Abdullah bin Abbas yang masih kecil itu. Rasulullah saw memulai dialog dengan menanyakan kesiapan muridnya dengan ungkapan yang memancing rasa ingin tahu sang murid karena pernyataan beliau yang memposisikan sang murid sedemikian mulia. Selain itu ungkapan beliau sangat terbuka terhadap pertanyaan yang dapat mengenyangkan akal sang murid. Mari kita nikmati dialog tersebut.

Ya ghulam (wahai anak muda), maukah engkau mendengarkan beberapa kalimat yang sangat berguna?

Jagalah ALlah SWT maka engkau akan menda patkanNya selalu menjagamu. Jagalah ALlah SWT , maka engkau akan mendapatkanNya selalu dekat di hadapanmu. Kenalilah ALlah dalam sukamu, maka ALlah akan mengenalimu dalam dukamu. Bila engkau meminta, mintalah kepada ALlah. Jika engkau memerlukan pertolongan, mohonkanlah kepada ALlah. Semua hal (yang terjadi denganmu) telah selesai ditulis. Ketahuilah, seandainya semua makhluk bersepakat untuk membantumu dengan apa yang tidak ditaqdirkan ALlah untukmu, mereka tidak akan mampu membantumu. Atau bila mereka berkonspirasi untuk menghalangi engkau mendapatkan apa yang ditaqdirkan untukmu, mereka juga tidak akan dapat melakukannya. Semua aktifitasmu kerjakan lah dengan keyakinan dan keikhlasan. Ketahuilah, bahwa bersabar dalam musibah itu akan memberikan hasil positif; dan bahwa kemenangan itu dicapai dengan kesabaran; dan bahwa kesuksesan itu sering dilalui lewat tribulasi; dan bahwa kemudahan itu tiba setelah kesulitan.
[Hadist Riwayat Ahmad, Hakim, Tirmidzi]

Lalu bertanyalah Abdullah kecil kepada gurunya, ya Rasulullah bagaimanakah caranya aku menjaga Allah swt padahal Dia-lah Rabb(pencipta, pemilik dan pemelihara) kita ?. Lalu Rasulullah saw menjawab, wahai Abdullah bukankah Allah swt telah menetapkan suatu aturan yang Dia perintahkan kita untuk melakukannya, juga telah menetapkan larangan agar kita tidak melampaunya ? Maka ketika engkau berusaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka engkau telah menjaga aturan atau hukum-hukum-Nya yang dengan itu maka Allah swt akan memberikan penjagaan kepadamu.

Kenapa demikian ? Karena pada hakikatnya semua yang Allah swt perintahkan kepada kita adalah semata-mata untuk kebaikan diri kita sendiri walaupun kita belum dapat merasakannya saat itu juga, dan sebaliknya sesuatu yang Allah swt larang kepada kita untuk melakukannya maka sesungguhnya karena sesuatu itu akan membahayakan diri kita sendiri walaupun saat itu kita belum dapat merasakan bahayanya.

Mengertilah Abdullah bin Abbas apa yang dimaksudkan oleh gurunya : Rasulullah saw. Sebaik-baiknya murobbi (pembina)

Semoga Allah swt senantiasa memberikan kemudahan kepada kita semua untuk mengikuti Rasulullah saw , penutup para Nabi dan Rasul ,teladan umat sampai akhir zaman..

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al Ahzab :21)

(Umu Dini | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

Oleh Sa’id Hawwa.

Sa’id Hawwa adalah sosok ulama yang cukup vokal dalam menyuarakan kebenaran (al-Islam). Ulama yang hidup di Mesir ini telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan keislaman yang sangat berkualitas dan dibutuhkan ummat. Pemikiran-pemikirannya senantiasa merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak lepas dari kontroversi dan kritikan (protes) dari mereka yang merasa berat untuk melaksanakan Islam secara total (kaffah) sebagaimana yang selalu ‘diteriakkan’ oleh beliau.

Dalam bukunya yang berjudul “Min Ajli Khuthwatin ila al-Amam’ala Thariqi al-Jihad al-Mubarak”, Sa’id Hawwa mengungkapkan ketentuan-ketentuan dalam Islam yang bersifat badihi (prinsipil), yaitu merupakan ketentuan yang sudah jelas nash-nya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Dan semua ummat Islam wajib menerima ketentuan atau konsepsi dalam Islam yang bersifat badihi tersebut. Menurut Sa’id Hawwa, ada sepuluh ketentuan yang bersifat badihi (prinsipil). Berikut ini ke-sepuluh prinsip tersebut yang diringkas dari
buku “10 Aksioma tentang Islam” – terjemahan dari buku “Min Ajli Khuthwatin ila al-Amam’ala Thariqi al-Jihad al-Mubarak”.

Prinsip Pertama

Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang dibebankan pada seluruh ummat manusia, di barat atau di timur, di utara atau di selatan, berkulit kuning, merah, putih atau hitam. Allah swt telah mengumumkan bahwa Dia tidak akan menerima sistem hidup (ad-Dien) selain Islam dengan firman-Nya:

Sesungguhnya dien (sistem hidup) yang diridhai di sisi Allah ialah Islam. (QS. Ali Imran:19)

Barangsiapa yang mencari dien (sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (dien itu) darinya. (Qs.Ali Imran:85)

Yang dimaksud dengan Islam adalah risalah yang diturunkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw. Risalah ini merupakan penutup seluruh risalah Allah swt, dan demikian risalah atau agama yang diturunkan Allah sebelumnya melalui para Nabi-Nya yang terdahulu tidak berlaku lagi. Karena itu seluruh manusia diwajibkan untuk memeluk Islam sampai Hari Kiamat. Barangsiapa yang tidak mengimani Islam, sedangkan seruan Islam telah sampai kepadanya, maka ia dianggap sebagai ahli neraka.

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak mendengar seseorang tentangku dari ummat ini, apakah ia Yahudi atau Nasrani, kemudian ia tidak beriman dengan apa yang diutus kepadaku melainkan ia akan tergolong dari ahli neraka. (HR.Muslim)

Prinsip Kedua

Islam adalah satu-satunya jawaban yang benar dan bersih terhadap semua persoalan manusia. Ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi keyakinan, ibadat, syari’at dan syi’ar-syi’ar. Islam merupakan neraca dan satu-satunya tolok ukur untuk semua sisi kehidupan manusia. Dari Islamlah terefleksinya petunjuk yang benar dan lurus serta selamat dalam segala hal.

Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri. (Qs.an-Nahl:89)

Al-Qur’an menerangkan segala persoalan, apakah melalui nash-nashnya atau
melalui kesimpulan-kesimpulan yang tepat tentang nash-nash tersebut berdasarkan hadits, qiyas, ijma’ ulama, istihsan, istishab, istislah, ‘urf, hukum-hukum yang diakui oleh akal, syara’ atau hukum adat menurut batas-batas yang dibenarkan oleh nash tersebut.

Prinsip Ketiga

Bila seseorang masuk Islam, berarti ia telah menyerah secara mutlak kepada Allah swt dalam semua persoalan yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk yang berhubungan dengan jiwa, akal, hati, ruh, perasaan, emosi, perbuatan, pemikiran, kepercayaan dan peribadatan. Termasuk dalam hal konstitusi dan undang-undang kehakiman. Di samping itu Islam berarti penolakan total terhadap seluruh bentuk penyekutuan dengan selain Allah.

Allah swt berfirman:
….Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…. (Qs.al-Baqarah:256)

Prinsip Keempat

Dalam Islam pemikiran eksperimental merupakan salah satu fenomena proses pembentukan pribadi Muslim atau karakteristik Islam. Oleh karena itu segala sesuatu yang telah dicapai oleh akal yang sehat dan melalui proses percobaan adalah sesuatu yang dapat diterima dari sudut pandangan Islam dan diberi jaminan kepercayaan terhadap kesahannya. Rasulullah pernah bersabda:

Hikmah (ilmu pengetahuan) itu merupakan hak orang Mu’min. Maka di mana saja ia jumpai, ia lebih berhak terhadapnya.

Namun jika pemikiran-pemikiran eksperimental itu sudah tidak murni lagi, telah diwarnai oleh sistem hidup yang tidak Islami, maka kita berkewajiban untuk membersihkannya terlebih dahulu, dan mewarnainya dengan nilai-nilai Islam yang bersih, sebelum kita menggunakannya.

Prinsip Kelima

Islam adalah satu sistem yang sempurna dan lengkap, karena ia mencakup seluruh sistem politik, sosial, ekonomi dan moral. Oleh karena itu mengabaikan atau melupakan sebagian dari sistem Islam berarti menghalangi perjalanan seluruh sistem itu sendiri. Begitu juga menegakkan politik yang tidak berdasarkan pada pilar-pilar Islam merupakan satu kendala dan sekaligus tantangan terhadap Islam.

Seluruh sektor kehidupan kaum Muslimin harus selalu berlandaskan pada nilai-nilai dan syari’at Islam, ekonominya, politiknya, sosialnya, pendidikannya, militernya dan sektor-sektor lainnya. Tidak dibenarkan melaksanakan Islam secara parsial (tentunya selama kondisi dan kemampuan memungkinkannya).

Apakah patut kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi yang berbuat demikian dari kamu, kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksa yang amat berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu perbuat. (Qs.al-Baqarah:85)

Barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Qs.al-Maidah:44)

Prinsip Keenam

Seluruh kaum Muslimin dibebani kewajiban menegakkan kalimatullah agar Islam menjadi satu-satunya Dien yang tegak di bumi ini. Allah berfirman:

Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah dan kalimatullah itulah yang tinggi. (Qs.at-Taubah:40)

Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimatullah yang tertinggi sekali, maka ia berjuang di jalan Allah. (al-Hadits)

Salah satu tujuan Allah mengutus Rasul-Nya adalah agar Islam sebagai dienullah menang terhadap dien-dien (sistem hidup) lainnya. Karena itu semua pengikut Muhammad berkewajiban untuk mewujudkan kemenangan Islam dengan berjihad di jalan-Nya.

Dia-lah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan dien yang
haq, agar dimenangkan-Nya terhadap semua dien. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi. (QS .al-Fath:28)

Orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (Qs.at-Taubah:20)

Prinsip Ketujuh

Kaum Muslimin dalam satu negara, bahkan di seluruh dunia harus merupakan satu sekutu, satu blok dan satu jama’ah. Sekutu ini adalah sekutu iman dan politik. Apa pun bentuknya yang memisahkan dan mengesampingkan hal ini adalah satu kekufuran dan kesesatan yang amat besar. Sekutu dan blok tersebut harus mempunyai imam tersendiri.

Kepemimpinan dan persatuan bagi ummat Islam sangat penting sekali. Para sahabat Rasulullah saw telah mendahulukan pemilihan khalifah ketimbang mengubur jenazah Rasulullah saw. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw bersabda:

Tidak boleh bagi tiga orang berada di manapun di bumi ini, kecuali memilih salah satu seorang di antara mereka itu sebagai pemimpin. (Musnad Imam Ahmad, jilid II, hal.177)

Mu’min dengan mu’min lainnya itu ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang sakit, maka anggota tubuh lainnya ikut merasa sakit. Demikian Rasulullah pernah mengingatkan ummatnya.

Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa imamah, tidak ada imamah tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan tanpa bai’at. Barangsiapa yang keluar dari jama’ah maka ia telah keluar dari Islam.”

Prinsip Kedelapan

Dalam kondisi kekuasaan politik Islam dan kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia sedang mengalami kehancuran dan kelumpuhan seperti sekarang, maka merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk cepat-cepat melantik seorang imam yang akan memimpin perjuangan, atau untuk mempersiapkan diri menghadapi peperangan, atau melakukan persiapan yang matang untuk memilih seorang yang akan memimpin mereka. Hal ini merupakan salah satu masalah yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh-musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. (Qs.al-Anfaal:60)

Dalam memperjuangkan kebenaran (al-Islam) diperlukan kesungguhan, sumber
daya manusia dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, sarana dan prasarana serta pengorganisasian yang rapi. Sayyidina Ali ra pernah mengatakan, “Kejahatan yang terorganisir dapat megalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” Agar perjuangan dapat terorganisir maka diperlukan kepemimpinan, yang manhaj kepemimpinannya berpegang kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh. (Qs.ash-Shaff:4)

Prinsip Kesembilan

Menyertai dan bergabung dengan jama’ah Islam dan imamnya adalah suatu kewajiban besar di dalam Islam. Kewajiban ini secara langsung tidak memberikan peluang untuk mengelakkan diri dari keterlibatannya dengan jama’ah dan imamnya, kecuali dalam kondisi dimana orang-orang Islam tidak mempunyai jama’ah dan imamnya. Maka dalam keadaan seperti itu, seorang Muslim harus memisahkan diri dari perkumpulan sesat dan tetap berpegang kepada yang haq.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta Abu Daud, dari Hudzaifah al-Yamani, diriwayatkan sebagai berikut:

Orang-orang yang bertanya pada Rasulullah saw tentang kebaikan, tetapi saya bertanya tentang kejahatan, sebab saya takut akan terlibat dengannya. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalam masa Jahiliyah dan diliputi oleh suasana kejahatan, lalu Allah mendatangkan pada kita kebaikan ini, maka apakah sesudah kebaikan itu akan ada kejahatan?”
“Ada,” jawab Rasulullah.
“Apakah sesudah kejahatan itu akan ada kebaikan?” Saya bertanya lagi.
Rasulullah menjawab, “Yaitu segolongan ummat yang mengikuti sunnah bukan
sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu,
dan cegahlah.”
Saya bertanya lagi, “Kemudian setelah kebaikan tersebut masih adakah
kejahatan lagi?”
Rasulullah menjawab, “Masih, yaitu para penda’wah yang menyeru manusia ke
pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, niscaya mereka akan
dilemparkan ke dalam neraka.”
Lalu saya bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang harus saya lakukan jika saya
menghadapi keadaan yang demikian itu?”
Jawab Rasulullah, “Hendaklah kamu teguh pendirian dengan jama’ah Islamiah
dan imamahnya.”
“Bagaimana kalau sudah tidak ada lagi jama’ah Islamiah dan imamahnya?” Saya
terus bertanya.
Rasulullah menjawab, “Tinggalkan golongan-golongan itu semua, walaupun kamu
akan menggigit sebatang pohon kayu, sampai kamu mati dalam keadaan demikian.”

Persoalannya sekarang, apakah bumi yang kita diami ini telah kehilangan jama’ah dan imamnya, sedang Rasulullah saw bersabda:

Akan selalu ada di kalangan ummatku, satu golongan yang mendukung kebenaran,
golongan yang selalu menentang dan membelakangi mereka tidak akan memberikan kemudharatan apa-apa kepada mereka sehingga Hari Kiamat.

Imam Ali ra mengatakan, “Tidak akan sunyi bumi ini dari seorang pemimpin yang berdiri untuk Allah dengan hujjah-hujjahnya.”

Prinsip Kesepuluh

Ummat Islam, sebenarnya merupakan satu jama’ah atau satu partai, dan maju mundurnya jama’ah ini tergantung pada pencapaian ilmu, karakteristik, dan komitmen ummat terhadap Islam. Oleh karena itu segenap kaum Muslimin harus
terikat pada rencana atau program yang telah disusun. Dan rencana atau program yang disusun secara spontanitas pun harus tunduk kepada kaidah-kaidah yang ketat, dan tidak boleh membelakangi ke arah tercapainya tujuan.

Karakteristik ummat Islam dan jama’ahnya adalah sesuai dengan ayat 36-43 surat asy-Syura. Karakteristik ummat Islam ialah beriman, bertawakkal, menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil maupun besar dan perbuatan keji, mengontrol diri dari marah, menyambut seruan Allah dalam semua hal, mendirikan shalat, berinfaq di jalan Allah dan berlaku adil sesama manusia.

Sedangkan ciri-ciri khusus dari jama’ah Islamiah ialah adanya syura dan selalu menentang kezaliman.

Penutup

Kekalahan, keterbelakangan, penindasan dan yang dialami ummat Islam sekarang ini disebabkan adanya perselisihan dan perpecahan yang menimpa ummat Islam dewasa ini. Perpecahan dan perselisihan ummat Islam sekarang ini persoalannya bukanlah terletak pada perlunya pembersihan jiwa dan hati, luwes dan sikap berhati-hati di dalam gerakan, tentang perlunya sikap berlindung, atau perlunya semangat jihad. Ia juga bukan karena perbedaan tentang perlunya penguasaan terhadap seluruh medan perjuangan, juga bukan karena perbedaan perlunya suasana terbuka yang menjamin keamanan da’wah Islamiah. Dan bukan pula karena perbedaan tentang persoalan-persoalan yang dapat memberikan pelayanan kepada orang Islam. Tetapi sumber segala perselisihan dan perpecahan di antara kita ialah karena adanya perbedaan pandangan terhadap persoalan-persoalan dalam Islam yang bersifat prinsipil (badihi). Sehingga banyak dari kalangan ummat Islam sendiri yang melupakan dan mengabaikan prinsip (pokok) dalam Islam.

*) Diringkas oleh Samsu Nugraha

(TSG | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yg banyak sekali, cthnya dlm kehidupan orang yg mukhlis; dlm tindak-tanduknya, dlm pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:

Pertama: Takut Kemasyhuran

Takut kemasyhuran dan menyebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yg mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bhw penerimaan amal di sisi Allah hanya dgn cara sembunyi-sembunyi, tdk secara terang-terangan dan didedahkan. Sbb andaikata kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tdk baik yg masuk ke dlm dirinya, maka sedikit pun manusia tdk memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.

Maka dr itu zuhud dlm masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yg serba gemerlap lbh besar drp zuhud dlm masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tdk melihat zuhud dlm hal tertentu yg lbh sedikit drp zuhud dlm kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dlm masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lbh banyak lagi.”

Inilah yg membuat para ulama salaf dan orang-orang shaleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dr ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh krn itu mereka memperingatkan hal ini kpd murid-muridnya. Para pengarang buku tlh meriwayatkan dlm pelbagai gambaran ttg tingkah laku ini, spt Abu Qasim a-Qusyairi dlm ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dlm Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dlm al-Ihya’.

Begitu pula yg dikatakan seorang zuhud yg terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tdk membenarkan orang yg suka kemasyhuran.”

Beliau juga berkata, “Tdk sehari pun aku berasa gembira di dunia kecuali hanya sekali. Pd suatu mlm aku berada di dlm masjid salah satu desa di Syam, dan ketika itu aku sdg sakit perut. Lalu muazzin dtg dan menyeret kakiku hingga keluar dr masjid.”

Beliau berasa senang krn muazzin tersebut tdk mengenalinya. Maka dr itu beliau diperlakukan secara kasar, kakinya diseret spt seorang pesakit. Beliau meninggalkan kedudukan dan kekayaannya krn Allah. Sebenarnya ketika itu beliau tdk ingin keluar jika tdk sakit.

Seorang zuhud yg terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tdk mengenal orang yg suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”

Beliau juga berkata, “Tdk akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yg suka terkenal di tgh manusia.”

Seseorang prnh menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”

Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tdk dikenal, berjalanlah sendiri dan jgn mahu diikuti, bertanyalah dan jgn ditanya. Lakukanlah hal ini.”

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tdk berniat secara benar krn Allah kecuali jika dia suka tdk merasakan kedudukannya.”

Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yg dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yg berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi krg takut dirinya menjadi terkenal.

Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di blkg Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”

Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yg tlh engkau lakukan?”

Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bg yg mengikuti dan ujian bg yg diikuti.”

Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yg pd permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yg jauh terhadap kejiwaan orang-orang yg mengikuti dan sekaligus orang yg diikuti.

Diriwayatkan dr al-Hasan, beliau berkata, “Pd suatu hari Ibn Mas’ud keluar dr rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.”

Pd suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kpdku? Jika tdk, mengapa kejadian spt ini masih tersemat dlm hati orang Mu’min?”

Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yg mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tdk krn aku tahu bhw Allah mengetahi isi hatiku ttg ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dr Allah.”

Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sbg sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pd waktu mlm dan pembaharu hati yg diketahui penduduk langit, namun tdk dikenal penduduk bumi.”

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup utk tdk dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tdk dikenal? Apa sukarnya engkau tdk disanjung-sanjung? Tdk mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”

Athar-athar ini tdk mengajak kpd pengasingan atau uzlah. Orang-orang yg menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’ie. Mereka memiliki pengaruh yg amat baik dlm menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yg dpt difahami dr sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dr naluri jiwa yg tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yg disusupkan syaitan ke dlm hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yg serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yg mengikutinya.

Kemasyhuran itu sendiri bknlah suatu yg tercela. Tiada yg lbh masyhur drp para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yg tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sgt bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tdklah menjadi masalah, sekali pun ia ttp menjadi ujian bg orang-orang yg lemah, spt yg dikatakan oleh Imam al-Ghazali.

Sejajar dgn pengertian ini yg tlh disebutkan dlm hadith Abu Dzar drp Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bhw Baginda prnh ditanya ttg seorang lelaki yg melakukan suatu amal kebajikan krn Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.

Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yg didahulukan, sekaligus khabar gembira bg orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)

Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal krn Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”

Pengertian spt inilah yg ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan alin-lainnya.

Begitu pula hadith yg ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dr hadith Abu Hurairah, bhw ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kali dia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kpdnya.”

Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala krn merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”

Kedua: Menuduh Diri Sendiri

Orang yg mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sbg orang yg berlebih-lebihan di sisi Allah dan krg dlm melaksanakan pelbagai kewajipan, tdk mampu menguasai hatinya krn terpedaya oleh suatu amal dan takjub pd dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tdk diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tdk diterima.

Krn sikap spt ini, ada sebahagian di antara para salaf yg menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yg menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”

Beliau menjawab, “Apa yg membuatkanku tahu bhw hanya sedikit dr amal-amalku yg masuk dlm timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah tlh berfirman, Allah hanya menerima (amal) dr orang-orang yg bertaqwa,”

Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dr itu al-Quran menambahinya dgn firman Allah yg bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dr ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)

Sayyidah Aishah prnh bertanya kpd Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ttg orang-orang yg dinyatakan dlm firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yg memberikan apa yg tlh mereka berikan dgn hati yg takut, (krn mereka tahu bhw) sesungguhnya mereka akan kembali kpd Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)

“Apakah mereka orang-orang yg mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kpd Allah?”

Baginda menjawab, “Bkn wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yg mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tdk diterima. Mereka itu bersegera utk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yg segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)

Orang yg mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yg menyusup ke dlm dirinya, sdg dia tdk menyedarinya. Inilah yg disebut syahwah khafiyyah yg menyusup ke dlm diri orang yg meniti jalan kpd Allah tanpa disedarinya.

Dlm hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dlm kederhakaan amat jelas dan terang. Sdgkan kepentingan peribadi di dlm ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yg tdk nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yg masuk ke dlm dirimu dan orang lain juga tdk melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dlm beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tdk perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”

Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dr Liputan

Amal yg dilakukan secara diam-diam harus lbh disukai drp amal yg disertai liputan dan didedahkan. Dia lbh suka memilih menjadi perajurit bayangan yg rela berkorban, namun tdk diketahui dan tdk dikenali. Dia lbh suka memilih menjadi bahagian dr suatu jamaah, ibarat akar pohon yg menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tdk terlihat oleh mata, tersembunyi di dlm tanah; atau spt asas bangunan. Tanpa asas, dinding tdk akan berdiri, atap tdk akan dpt dijadikan berteduh dan bangunan tdk dpt ditegakkan. Tetapi ia tdk terlihat, spt dinding yg terlihat jelas. Syauqy berkata di dlm syairnya:

Landasan yg tersembunyi
Tdk terlihat mata krn merendah
Bangunan yg menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah

Di bahagian sblm ini tlh dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yg berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, iaitu jika tdk hadir mereka tdk diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dr setiap tempat yg gelap.”

Keempat: Tdk Memerlukan Pujian Dan Tdk Tenggelam Oleh Pujian

Tdk meminta pujian orang-orang yg suka memuji dan tdk bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tdk terkecoh ttg hakikat dirinya di hdpn orang yg memujinya, krn mmg dia lbh mengetahui ttg rahsia hati dan dirinya drp orang lain yg boleh tertipu penampilan dan tdk mengetahui batinnya.

Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dr persangkaan mereka ttg dirimu. Maka adalah engkau orang yg mencela dirimu sendiri krn apa yg engkau ketahui pd dirimu. Orang yg paling bodoh adalah yg meninggalkan keyakinannya ttg dirinya krn ada persangkaan orang-orang ttg dirinya.”

Diriwayatkan dr Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh, bhw jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, jgnlah Engkau hukum aku krn apa yg mereka katakan. Berikanlah kebaikan kpdku dr apa yg tdk mereka ketahui.”

Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anh berkata kpd orang-orang yg mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tdk akan dpt mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yg menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.

Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kpd Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tdk mengenalku dan hanya Engkaulah yg mengetahui siapa diriku.”

Salah seorang yg shaleh bermunajat kpd Allah, krn sebahagian orang ada yg memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:

Mereka berbaik sangka kpdku
Padahal hakikatnya tdklah begitu
Tetapi aku adalah orang yg zalim
Sbgmana yg Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yg ada
Dr pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sbg tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tdk layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Jgnlah Engkau hinakan aku
Pd Hari Qiamat di tgh mereka
Jadikanlah aku yg mulia
Termasuk yg hina dina

Penyair yg shaleh ini mengisyaratkan makna yg lembut dan sgt penting, iaitu keindahan tabir yg diberikan Allah kpd hamba-hambaNya. Brp banyak cela yg tersembunyi, dan Allah menutupinya dr pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dr pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan utk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sbg kurnia dan kemuliaan bgnya.

Seerti dgn ini tlh dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “Sesiapa yg memuliakanmu, sbnrnya dia tlh memuliakan keindahan tabir pd dirimu. Keutamaan ada pd diri orang yg memuliakanmu dan menutupi aibmu, bkn pd diri orang yg menyanjungmu dan berterima kasih kpdmu.”

Abu al-Atahiyah berkata dlm syairnya:

Allah tlh berbuat baik kpd kita
Krn kesalahan tdk menyebar ke mana-mana
Apa yg tersembunyi pd diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya

Kelima: Tdk Kedekut Pujian Terhadap Orang Yg Mmg Layak Dipuji

Tdk kedekut memberikan pujian kpd orang lain yg mmg layak dipuji dan menyanjung orang yg mmg layak disanjung. Di sana ada dua bencana yg bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kpd orang yg tdk berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kpd orang yg layak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, spt sabda Baginda ttg Abu Bakar yg bermaksud: “Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sbg kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”

Sabda Baginda kpd Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yg lain.”

Sabda Baginda kpd Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yg para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”

Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau spt kedudukan Harun di mata Musa.”

Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu drp pedang-pedang Allah.”

Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”

Masih ramai sahabat yg dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, krn kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dr kalangan pemuda, spt Usamah bin Zaid yg diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dlm pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sbg pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh thn. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lbh diutamakan drp orang-orang yg lbh terdahulu memeluk Islam, krn kelebihan dirinya, spt Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.

Boleh jadi seseorang tdk mahu memberikan pujian kpd orang yg layak dipuji, krn ada maksud tertentu dlm dirinya, atau krn rasa iri hati yg disembunyikan, spt takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Krn dia juga tdk mampu utk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tdk perlu menyanjungnya.

Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yg meminta pendapat Ibn Abbas dlm pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sgt muda. Maka para pemuka sahabat berkata kpdnya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Krn usia yg muda tdk menghalangimu utk berbicara.”

Keenam: Berbuat Selayaknya Dlm Memimpin

Orang yg mukhlis krn Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan ttp patriotik ketika berada paling blkg, selagi dlm dua keadaan ini dia mencari keredhaan Allah. Hatinya tdk dikuasai kesenangan utk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dlm kepimpinan. Tetapi dia lbh mementingkan kemashlahatan bersama krn takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yg dia lewatkan.

Apa pun keadaannya dia tdk bercita-cita dan tdk menuntut kedudukan utk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sbg pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kpd Allah agar dia mampu melaksanakannya dgn baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tlh mensifatkan kelompok orang spt ini dlm sabda Baginda yg bermaksud:

“Keuntungan bg hamba yg mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yg kusut kepalanya dan yg kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan blkg, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)

Allah meredhai Khalid bin al-Walid yg diberhentikan sbg komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yg sentiasa mendapat kemenangan. Stlh itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dlm kedudukan spt itu pun beliau ttp ikhlas memberikan pertolongan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan seandainya ada seseorang yg meminta jawatan dan sengaja utk mendapatkannya. Tlh disebutkan di dlm as-Shahih, bhw Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam prnh bersabda kpd Abdurrahman bin Samurah:

“Jgnlah engkau memimta jawatan pemimpin. Krn jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kpdmu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketujuh: Mencari Keredhaan Allah, Bkn Keredhaan Manusia

Tdk memperdulikan keredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sbb setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dlm sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yg ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yg tdk bertepi, tujuan yg sulit diketahui dan tuntutan yg tdk terkabul. Dlm hal ini seorang penyair berkata:

Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yg membentang
Di tgh tuntutan-tuntutan hawa nafsu

Penyair lain berkata:

Jika aku meredhai orang-orang yg mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yg hina

Orang yg mukhlis tdk terlalu peduli dgn semua ini, krn syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dlm satu syair:

Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup ttp terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yg ada di atas tanah
Ttp menjadi tanah

Kelapan: Menjadikan Keredhaan Dan Kemarahan Krn Allah, Bkn Krn Kepentingan Peribadi

Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan krn Allah dan agamaNya, bkn krn pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tdk spt orang-orang munafik opportunis yg dicela Allah dlm KitabNya:

“Dan di antara mereka ada yg mencela mu ttg (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian drpnya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tdk diberi sebahagian drpnya, dgn serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)

Boleh jadi engkau prnh melihat orang-orang yg aktif dlm lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yg mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yg menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkan medan jihad dan dakwah.

Ikhlas utk mencapai tujuan menuntutnya utk cekal dlm berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sbb dia berbuat krn Allah, bkn krn kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bkn krn kepentingan orang tertentu.

Dakwah kpd Allah bkn spt harta yg ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tdk boleh menarik diri dr medan dakwah ini hanya krn sikap atau tindakan tertentu yg mempengaruhi dirinya.

Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan

Perjalanan yg panjang, lambatnya hasil yg diperoleh, kejayaan yg tertunda, kesulitan dlm bergaul dgn pelbagai lapisan manusia dgn perbezaan perasaan dan kecenderungan mereka, tdk boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tgh jalan. Sbb dia berbuat bkn sekadar utk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yg plagi pokok tujuannya adalah utk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.

Nabi Nuh ‘alaihissalam, pemuka para anbia’, hidup di tgh kaumnya selama 950 thn. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yg mahu beriman kpd beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yg difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku tlh menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dr kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kpd iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dlm telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)

Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 thn, beliau ttp menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yg berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yg lain berpaling dr beliau, sekali pun beliau sgt berharap mereka mahu beriman.

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita individu-individu Mu’min di dlm surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tdk mengatakan, “Kematian ini dpt memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?”

Mereka tdk berkata spt itu, krn mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tgn Allah. Siapa yg tahu kalau pun darah mereka itu merupakan santapan lazat bg pohon iman generasi berikutnya?

Perkara yg prinsip, alam orang yg mukhlis hanya bg Allah semata. Dia cekal dlm hal ini dan terus spt itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kpd Allah, krn Allah-lah yg menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bg Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.

Sesungguhnya di akhirat Allah tdk akan bertanya kpd manusia, “Mengapa engkau tdk memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tdk berusaha?”

Allah tdk bertanya, “Mengapa engkau tdk berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tdk melakukannya?”

Kesepuluh: Berasa Senang Jika Ada Yg Bergabung

Berasa senang jika ada seseorang yg mempunyai kemampuan, bergabung dlm barisan mereka yg mahu beramal, utk menegakkan bendera atau ikut taat dlm amal. Hal ini harus disertai dgn usaha memberikan kesempatan kpdnya, sehingga dia dpt mengambil tempat yg sesuai dgn kedudukannya. Dia tdk harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah krn kehadirannya. Malahan jika orang yg mukhlis melihat ada orang lain yg lbh baik drp dirinya yg mahu memikul tanggungjawabnya, maka dgn senang hati dia akn mundur, memberikan tanggungjawabnya kpd orang itu dan dia berasa senang menyerahkan jawatan kpdnya.

Sebahagian orang yg memegang jawatan, lbh-lbh lagi jika berada di barisan hadapan, tdk mahu menyerah dlm mempertahankan kedudukannya, tdk mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain. Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yg tlh diberikan Allah kpdku, maka aku tdk mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yg tlh dikenakan kpdku, maka aku tdk mahu membukanya. Kedudukan ini dtg dr langit.”

Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bg mereka yg sesuai dgnnya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bg orang yg mmg sesuai dgn tenoat itu. Banyak cemuhan ditujukan kpd penguasa yg bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dgn anggapan bahawa merekalah yg paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dr terpaan angin taufan.

Ketika mendapat kritik dr orang lain, para da’ie Muslim tdk boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tdk boleh lpd tgn demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yg tdk boleh lps tgn demi kemaslahatan negara dan ummah. Krn andai lpd tgn, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yg dibisikkan ke dlm hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yg lbh banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kpd kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.

Brp ramai jemaah atau harakah yg disusupi kezaliman dr luar, pengaruh dr dlm atau kepincangan dlm berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sbg akibat dr kerakusan satu atau dua orang yg terlibat di dlmnya. Dia tdk mahu melepaskan kedudukannya kpd orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tdk mahu berputar seiring dgn putaran bumi, tdk berubah seiring dgn perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.

Malahan di antara mereka ada yg memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah utk menghalang jalan bg orang lain yg lbh mampu dan lbh bertenaga, bkn sahaja orang lain itu dpt dikerahkan utk mengurangkan beban amanat yg dipikulnya malah sekaligus sbg melatih diri utk memikul tanggungjawab.

Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yg Bermanfaat

Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yg paling diredhai Allah, dan bkn yg paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yg mukhlis lbh mementingkan amal yg lbh banyak manfaatnya dan lbh mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.

Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan utk mendamaikan mereka yg sdg bertikai, justeru itulah yg lbh dipentingkannya. Dlm sebuah hadith disebutkan:

“Ketahuilah, akan ku khabarkan kpdmu ttg sesuatu yg lbh utama drp darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sbb kerosakan di antara sesama amnusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)

Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dlm jiwa jika boleh melaksanakan umrah pd setiap bulan Ramadhan dan haji pd musimnya. Tetapi dikatakan kpdnya, “Sumbangkan saja wang itu utk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yg sdg mengalami kehancuran.” Jika hatinya tdk lapang dan menolak, maka dia spt apa yg dikatakan al-Ghazali sbg orang yg tertipu.

Ada seorang penderma dr salah satu negara kaya yg berkunjung ke Afrika utk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yg mengusulkan akar dia membaiki bbrp masjid lama yg hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tgh permukiman penduduk dan kewujudannya sgt diperlukan. Tabung yg mestinya utk membangun satu masjid yg direncanakan, cukup utk membaiki sepuluh masjid lama yg sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan utk nama-nama masjid tersebut.

Kedua Belas: Menghindari Ujub

Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tdk merosak amal dgn ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yg tlh dilakukannya. Sikap spt ini dpt membutakan matanya utk melihat celah-celah yg sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yg perlu dilakukan oleh orang Mu’min stlh melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia tlh melakukan kelalaian, disedari mahupun tdk disedari. Maka dr itu dia takut jikalau amalnya tdk diterima. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dr mereka yg bertaqwa.” (al-Maidah: 27)

Di antara ungkapan yg sgt berkesan dlm masalah ini, yg dinisbatkan kpd Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yg menyesakkanmu lbh baik di sisi Allah drp kebaikan yg membuatmu ujub.”

Pengertian spt ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dlm Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tdk membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sbb yg menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yg membuahkan ketundukan dan kepasrahan lbh baik drp ketaatan yg membuahkan ujub dan kesombongan.”

Dr sini al-Quran memperingatkan agar tdk menyertai sedekah dgn menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yg menyakitkan, krn dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yg dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yg bermaksud:

“Perkataan yg baik dan pemberian maaf lbh baik drp sedekah yg diiringi dgnsuatu yg menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yg beriman, jgnlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dgn menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), spt orang yg menafkahkan hartanya krn riya’ kpd manusia dan dia tdk beriman kpd Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bg orang itu adalah spt batu licin yg di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tdk bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yg merosak. Ibn Umar meriwayatkan dr Baginda yg bermaksud:

“Tiga perkara yg merosak dan tiga perkara yg menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yg merosak adalah kedekut yg ditaati, hawa nafsu yg diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dlm Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)

Al-Quran tlh mengisahkan kpd kita kejadian yg dialami kaum Muslimin pd waktu Perang Hunain. Allah tlh memberikan kemenangan kpd mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tdk diunggulkan menang. Allah juga memberikan kemenangan kpd mereka pd Perang Khandaq, yg sblm itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yg bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dgn hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kpd mereka pd waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pd waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub krn jumlah mereka yg banyak. Ternyata jumlah yg banyak ini tdk memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kpd Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dr sisi Allah. Dia berfirman yg bermaksud:

“Sesungguhnya Allah tlh menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yg banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pd waktu kamu menjadi sombong krn banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yg banyak itu tdk memberi manfaat kpd kamu sedikit pun, dan bumi yg luas itu tlh terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke blkg dgn bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kpd RasulNya dan kpd mereka yg beriman.” (at-Taubah: 25-26)

Orang Mu’min yg sedar adalah mereka yg menyerahkan segala urusannya hanya kpd Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya dtg dr sisiNya. Firman Allah:

“Dan kemenangan itu hanyalah dr Allah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 126)

Kemuliaan juga datang hanya dr sisiNya:

“Barangsiapa yg menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)

Taufiq kpd hal-hal yg baik juga berasal dr pertolongan Allah. FirmanNya:

“Dan tdk ada taufiq bagiku melainkan dgn (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)

Hidayah hanya dtg dr sisiNya:

“Barangsiapa yg disesatkanNya, maka kamu tdk boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yg dtg yg mampu memberikan petunjuk kpdnya.” (al-Kahfi: 17)

Dikatakan dlm sebuah syair:

Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tdk akan ada pilihan bg semua manusia
Andaikan Dia tdk memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana

Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri

Al-Quran tlh memperingatkan utk membersihkan diri dr pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:

“Dia lbh mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dr tanah dan ketika kamu masih dlm janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertaqwa.” (an-Najm: 32)

Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yg menganggap dirinya suci. Firman-Nya yg bermaksud:

“Apakah kamu tdk memerhatikan orang yg menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yg dikehendaki-Nya dan mereka tdk dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)

Hal ini terjadi krn mereka berkata, spt yg dijelaskan Allah yg bermaksud:

“Kami ini adalah anak-anak Allah dan keksih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)

Perkataan mereka ini disanggah dgn firman-Nya yg bermaksud:

“Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yg diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yg dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yg dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaanl Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kpd Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)

Orang yg tlh melakukan sesuatu amal shaleh, tdk boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika utk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:

“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dgn bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)

Selain itu ia bertujuan utk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yg bermaksud:

“Barangsiapa membuat sunnah yg baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yg mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)

Dibolehkan juga jika bertujuan utk membela diri krn ada tuduhan yg dilemparkan kpdnya, padahal dia tdk bersangkut-paut dgn tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bg orang yg batinnya sudah kuat krn Allah semata dan bukan krn tujuan yg bukan-bukan serta tdk tergolong pd ujub, tdk bertujuan mencari sanjungan dr orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jrg orang yg bebas dr tujuan ini.

Orang Islam harus waspada, jgn sampai ujub terhadap diri sendiri, krn kebaikan dan keshalihan yg dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yg beruntung sdg yg lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yg layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yg selamat) sdgkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yg layak disebut thaifah manshurah (kelompok yg mendapat pertolongan) sdgkan yg lain dibiarkan.

Pandangan terhadap diri sendiri spt ini adalah ujub yg merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam spt itu adalah pelecehan yg menghinakan.

Dlm sebuah hadith shahih disebutkan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia tlh rosak’, maka dialah yg lbh rosak drp mereka.” (HR Imam Muslim)

Hadith ini diriwayatkan dgn bacaan ‘ahlakuhum’, dgn pengertian bahawa justeru dialah yg lbh byk dan lbh cepat menimbulkan kerosakan, krn dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orh lain. Dgn bacaan dan makna spt ini, bererti dialah yg menyebabkan kerosakan mereka, krn dia berasa lbh unggul dr mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan ini ditujukan kpd orang-orang yg berkata spt itu, krn ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan org lain dan berasa dirinya lbh unggul dr mereka. Ini adalah perbuatan yg diharamkan. Tetapi jika perkataan spt itu disampaikan krn memang ada kekurangan dlm pengamalan agama mereka atau krn rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa. Inilah yg ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, spt yg dikatakan olek Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.

Dlm hadith lain disebutkan, yg bermaksud:

“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)

Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tdk mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sdgkan mereka ibarat dua cabang yg melekat di satu pohon yg sama.

Risalah tentang “SIHIR & PERDUKUNAN”
Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Hukum Sihir Dan Perdukunan.
Segala puji hanya kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.
Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.
Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.
Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran. Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :

“Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab ‘Shahih Muslim’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”

“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun)) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud).

“Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh: ‘Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).

Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang melakukannya.
Oleh karena itu, kepada para penguasa dan mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan melarang orang-orang mendatangi mereka.
Kepada yang berwenang supaya melarang mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut, bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.
Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.
Hadits-hadits Rasulullah tersebut di atas membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat, dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.
Seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong yang mereka lakukan.
Semua ini adalah praktek-praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan, perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta’ala.
Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 102 tentang kisah dua Malaikat:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”(Al-Baqarah:102)
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :
“Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui.”
Kita memohon kepada Allah kesejahteraan dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.
Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.
TATA CARA MENANGKAL DAN MENANGGULANGI SIHIR
Allah telah mensyari’atkan kepada hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’:
Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:
A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :

“Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”

Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
“Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.

C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :

“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”

Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”

D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”

E. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :

“Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’.
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah r untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :

Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).

2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.

3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.

Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
“Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”

Surat Yunus ayat 79-82:
“Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): ‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).”

Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
“Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”
Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.
4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.

Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.

Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,’arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.

Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.

Harap Cantumkan, Dicopy dari :

Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta – Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
http://www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id

Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!


 

Hukum Sihir Dan Perdukunan.

Segala puji hanya kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.

Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.

Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.

Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran. Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.

Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu  hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :

“Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab ‘Shahih Muslim’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”

“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun))dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud).

“Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh: ‘Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).

Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang melakukannya.

Oleh karena itu, kepada para penguasa dan mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan melarang orang-orang mendatangi mereka.

Kepada yang berwenang supaya melarang mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut, bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.

Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.

Hadits-hadits Rasulullah  tersebut di atas membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat, dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.

Seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong yang mereka lakukan.

Semua ini adalah praktek-praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.

Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan, perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta’ala.

Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 102 tentang kisah dua Malaikat:

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir  kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”(Al-Baqarah:102)

Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :

“Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui.”

Kita memohon kepada Allah kesejahteraan dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.
Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.

TATA CARA MENANGKAL DAN MENANGGULANGI SIHIR

Allah telah mensyari’atkan kepada hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada mereka.

Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’:

Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:

  1. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :

    “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”

    Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat  255 yang bunyinya :
    “Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
     

  2. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
     
  3. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :

    “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”

    Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
    “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

    “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
     

  4. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
    Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah  padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

    “Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”
     

  5. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :

    “Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
    Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’.

 Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah r untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:

  1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :

    Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).
     

  2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    “Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan  setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
     

  3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.

    Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
    “Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”

    Surat Yunus ayat 79-82:
    “Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): ‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).”

    Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
    “Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”

Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.

  1. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.

     Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

    Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.

    Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,‘arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal  ghaib, dan kemudian menipu manusia.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.

    Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.
     

Harap Cantumkan, Dicopy dari :

 

Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta – Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
 www.alsofwah.or.id  ; E-mail: info@alsofwah.or.id

 

Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!

 

Sastra Dalam Pengertian Umum

Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Sastra dibagi menjadi 2 yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya Sastra Puisi yaitu Puisi, Pantun,  dan Syair sedangkan contoh karya sastra Prosa yaitu Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama.

Pengertian Sastra Menurut Para Ahli

Mursal Esten (1978 : 9)

Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

Semi (1988 : 8 )

Sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Panuti Sudjiman (1986 : 68)

Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.

Ahmad Badrun (1983 : 16)

Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.

Engleton (1988 : 4)

Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.

Plato

Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.

Aristoteles

Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.

Robert Scholes (1992: 1)

Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda

Sapardi (1979: 1)

Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan social.

Taum (1997: 13)

Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sastra Dalam Pengertian Umum
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sastra dibagi menjadi 2 yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya Sastra Puisi yaitu Puisi, Pantun, dan Syair sedangkan contoh karya sastra Prosa yaitu Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama.
Pengertian Sastra Menurut Para Ahli
Mursal Esten (1978 : 9)
Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Semi (1988 : 8 )
Sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Panuti Sudjiman (1986 : 68)
Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.
Ahmad Badrun (1983 : 16)
Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
Engleton (1988 : 4)
Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.
Plato
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
Aristoteles
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Robert Scholes (1992: 1)
Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda
Sapardi (1979: 1)
Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan social.
Taum (1997: 13)
Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TINJAUAN MATA KULIAH

Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian, jika seseorang ditanya tentang apakah ia pernah membaca karya sastra. Jawabannya, “ya, pernah atau belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah ia menyukai sastra, dengan segera pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya tidak dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.
Dalam kehidupan keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang ke arah bersastra.
Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami pula teori sastra.
Modul Teori Sastra ini merupakan pengantar bagi Anda dalam mempelajari sastra lebih lanjut, seperti mata kuliah apresiasi dan kajian sastra dengan segala ruang lingkupnya yang akan mengantarkan Anda ke arah pemahaman, penikmatan, dan penghayatan terhadap karya sastra. Melalui modul ini, secara umum diharapkan Anda dapat memahami hakikat sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan urutan materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.

Semoga materi-materi yang di sajikan di dalam modul Teori Sastra ini akan menambah pengetahuan dan wawasan Anda tentang sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan memperkaya batin Anda dalam memahami fenomena kehidupan manusia yang dituangkan di dalamnya. Pelajarilah isi modul ini dengan saksama sehingga berguna bagi Anda dalam melaksanakan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Selamat Belajar, Semoga Sukses!

MODUL 1: LINGKUP ILMU SASTRA: TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA, SERTA HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA

Kegiatan Belajar 1

Ruang Lingkup Ilmu Sastra

Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.

Kegiatan Belajar 2

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra

Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra.
Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.

Kegiatan Belajar 3
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya,struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu.  
 Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.

Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.

Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.

Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tjahjono Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.

Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan Melami Budianta).

MODUL 2: HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS

Kegiatan Belajar 1

Hakikat Sastra

Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang mesti dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak ‘terkesan’ dibuat-buat. Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.

Kegiatan Belajar 2

Teks dan Konteks

Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi yang diacu oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa hadir secara bersama dan tidak dapat dipisahkan.
Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks. Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam tindak komunikasi. Keenam faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran. Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni: (1) teks acuan, (2) teks ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4) teks-teks mengenai teks. Teks acuan dibedakan lagi menjadi tiga, yakni: (1) teks informatif, (2) teks diakursif, dan (3) teks instruktif.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai teks harus bermuara pada bagaimana cara menilai teks-teks sastra. Memang, ilmu sastra tidak memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi baik-buruknya teks, tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang diungkapkan dalam sebuah penilaian.

DAFTAR PUSTAKA
Alha Pangeran. (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika.

Depdiknas.(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.

Semi, M. Atar. (1988). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. (1991). Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.

Tarigan, Henry Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tohari, Ahmad. (1991). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.

 —————–(1994). Bekibar Merah. Jakarta: Gramedia.

——————(1992). Senyum Karyamin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta.

MODUL 3: JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA

Kegiatan Belajar 1

Sastra Imajinatif

Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif.
Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.

Kegiatan Belajar 2

Sastra Non-imajinatif

Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur). Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif. Dalam prakteknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.

Rosidi, Ajip. (1977). Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka.

Sumarjo, Jakob dan Saini, K. M. (1991). Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.

Tarigan, Henri Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.  
 
MODUL 4: STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA

Kegiatan Belajar 1

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi  

Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antarunsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra.
Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra.
Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan.
Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.

Kegiatan Belajar 2

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa

Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya.
Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis, dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari (a) sudut pandang akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.

Kegiatan Belajar 3

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama

Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh.
Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.

DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.

Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Damono, Sapardi Djoko. (1994). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Herfanda, Ahmadun Yosi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Jabbar, Hamid. (1998) . Super Hilang. Jakarta: Balai Pustaka.

Laurence, Perrine. (1973). Sound and Sense: An Introduction to Poetry. New York: Harcout Brace Javanovich.

Nurgiyantoro, Burhan. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rampan, Korrie Layun. (1985). Puisi Indonesia Hari Ini: Sebuah Kritik. Jakarta: Yayasan Arus.

Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Yayasan Arus.

———–. (2001). Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Wellek, Rene dan Austrin Warren. (1990). Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.) Jakarta: Gramedia.

 
MODUL 5: PUISI

Kegiatan Belajar 1

Pengertian dan Ciri-ciri Puisi

Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.

Kegiatan Belajar 2

Jenis-jenis Puisi

Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta.
Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.

Kegiatan Belajar 3

Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi

Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup (1) Gaya bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni. (2) Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi. (3) Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika. (4) Larik, dan (5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.

Kegiatan Belajar 4

Penafsiran Puisi

Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi.
Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema.
Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. (2000). Derai-derai Cemara. Jakarta: Yayasan Indonesia.

Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.

Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Hamzah, Amir. (1977). Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.

Ismail, Taufik. (1993). Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

Pradopo, Rachmat Djoko. (1990). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Situmorang, B. P. (1983). Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur. Ende-Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

MODUL 6: PROSA

Kegiatan Belajar 1

Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi

Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi.
Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang. Adapun ciri-ciri prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.

Kegiatan Belajar 2

Jenis-jenis Prosa

Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern.
Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.
Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner.
Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah.
Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer.
Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.  

Kegiatan Belajar 3

Unsur Intrinsik Prosa

Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas
1. alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;2. alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;3. Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; dan4. alur tutup

Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan penyelesaian. Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan amanat.

Kegiatan Belajar 4

Unsur Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian karya Sastra

Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat.  
Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.

DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu.(1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Luxemburg, et.al. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Mido, Frans. (1984).Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende-Flores: Nusa Indah .

Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
 
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suyitno. Sastra. (1992). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.

Tarigan Guntur H. (1985). Prinsip -prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tjahjono Libertus, T. (1988). Sastra Indonesia, Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman . (1984). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.

Wellek & Warren A.(1993). Teori Kesusasteraan (Diindonesiakan Melami Budianta) Jakarta: Gramedia.

MODUL 7: SELUK-BELUK DRAMA

Kegiatan Belajar 1

Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas  

Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.

Kegiatan Belajar 2

Struktur Drama

Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan. Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.

Kegiatan Belajar 3

Jenis Drama

Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedi tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.

Kegiatan Belajar 4

Pementasan Drama

Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.

DAFTAR PUSTAKA
Awuy, Tommy. (1992). Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problema. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Corrigan, Robert W. (1979). The World of Theatre. Glenview: Scott, Foresman and Co.

Dahana, Radhar Panca. (2000). Homo Theatricus. Magelang: Yayasan Indonesia Tera.

Esslin, Martin. (1979). An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.

Soemanto, Bakdi. (2001). Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.

Sugiyati, dkk. (1993). Teater untuk Dilakoni. Bandung: Studiklub Teater Bandung.

Sumardjo, Jakob. (1992). Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

MODUL 8: TEORI-TEORI SASTRA

Kegiatan Belajar 1

Teori Psikoanalisis Sastra

Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Kegiatan Belajar 2

Teori Sastra Struktural

Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Kegiatan Belajar 3

Teori Sastra Feminis

Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

Kegiatan Belajar 4

Teori Sastra Struktural

Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
  Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.

Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya.

Brill, A. A. (1955). Lectures on Psychoanalytic Psychiatry. New York: Vintage Books.

Brill, A. A. (1960). Basic Principles of Psychoanalysis. New York: Washington Square Press.

Budianta, Melani dalam Kris Budiman. (2002). Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanal.

Culler, Jonathan. (1975). Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.

Djajanegara, Soenarjati. (2000). Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.

Eneste, Pamusuk. (1983). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia.

Freud, Sigmund. (1938). Interpretation of Dreams dalam The Basic Writing of Sigmund Freud. New York: Modern Library.

_____________. (2001). Tafsir Mimpi. Yogyakarta: Jendela.

Jabrohim. (2001). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Jefferson, Ann dan Robey, David. (1993). Modern Literary Theory: A Comparative Introduction. London: B. T. Batsford Ltd.

Junus, Umar. (1985). Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Milner, Max. (1992). Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.

Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Propp, Vladimir. (1987). Morfologi Cerita Rakyat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

Scholes, Robert. (1974). Structuralism in Literature. New Haven: Yale University Press.

Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sugihastuti. (2000). Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

Suhandjati, Sri dan Sofwan, Ridin. (2001). Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________. (1983). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Todorov, Zvetan. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.

MODUL 9: ALIRAN SASTRA

Kegiatan Belajar 1

Supernaturalisme dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme

Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang
menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut.
Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan.  
Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata.
Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini.
Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.


Kegiatan Belajar 2

Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra

Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis.
Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme.
Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurna-sempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar.
Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.
Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar.
Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali.
Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.

Kegiatan Belajar 3

Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra

Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.
Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung.
Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra.
Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya.  
Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis.
Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Kegiatan Belajar 4

Eksistensialisme dalam Karya Sastra

Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193).
Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya.
Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.
Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan.
Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.

DAFTAR PUSTAKA
Fananie, Zainuddin. (2000). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press

Faulkner, Peter. (1991). Modernisme Seri Konsep Sastra. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hasan, Fuad. (1992). Perkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pringgodigdo, A.G. (1977). Ensiklopedi Umum. Jakarta: Kanisius.

Rampan, Corrie Layun. (1966). Aliran dan Jenis Cerita Pendek. Flores: Nusa Indah.

  .(2000). Angkatan 2000 dalam Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.

Utami, Ayu. (1998). Saman. Jakarta: Gramedia.

Simaatupang, Iwan. (1976). Ziarah. Jakarta: Jambatan.

Sugiarto, Bambang. (1999). Post Modernisme, Tantangan bagi Filsafat. Jakarta: Kanisius.

Suriasumantri, Yuyun. (1993). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad. (1994). Filsafat Ilmu: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James: Pengantar kepada Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tuloli, Nani. (1999). Penyair dan Sajaknya 1920-1990. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.

W.M., Abdulah Hadi (1992). Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka.

 

BANGSA ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB

 

  1. A.    Bahasa dan Bangsa Arab

Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria, dan jazirah Arabia (Timur Tengah). Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria, Babilonia, Ibrania, dan Arabia. Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan sampai sekarang hanya bahasa Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab adalah cabang bahasa Semit yang paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa Arab tidak banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di bawah kekuasaan bangsa asing.

Sebenarnya, bahasa Arab itu timbul sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya saja pencatatan dari bahasa tersebut baru dimulai dua abad sebelum lahirnya Islam. Karena bukti peninggalan kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya dimulai sejak dua abad sebelum Islam. Sedangkan, hasil karya yang ada di masa sebelumnya dapat dikatakan hilang dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.

Demikian pula dengan berita-berita yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno, tidak dapat kita ketahui dari pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai mereka dapat kita ketahui dari Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita mengenai kaum Aad, kaum Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka hanya terdapat dalam kitab suci Al-Quran.

Menurut perkiraan yang kuat, keadaan bangsa Arab kuno, lebih maju dari pada bangsa Arab yang lahir di masa timbulnya Islam. Karena dalam penggalian sejarah, ditemukan bekas peninggalan monumental dan kota besar yang dibangun oleh bangsa Arab kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran. Sedangkan, bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya Islam, mereka lebih dikenal sebagai bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka hidup berpindah-pindah mengikuti sumber kehidupan. Cara kehidupan seperti itu dapat membentuk karakter dan tabiat bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang hidup ditempat lain.

Perlu diketahui bahwa sebelum bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap daerah telah mempunyai bahasa daerah sendiri yang berlainan satu dengan yang lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki bahasa yang dipakai di Nejed saja, dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab mempunyai bahasa yang saling berbeda, namun berkat adanya Ka’bah di Mekkah, dimana mereka sering berkumpul di tempat itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat oleh setiap suku Arab.

Bahasa persatuan mereka adalah bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh penduduk Hijaz, khususnya bahasa orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga berasal dari percampuran bahasa daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah dengan beberapa kata asing yang berasala dari bahasa Yunani, Persia, Sansekerta, dan Ibrani.

Sehingga, bahasa Mudlor inilah yang kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan As-Sunnah. Di mana berkat Al-Quran, maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan dikenal di seluruh dunia Islam. Bangsa Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:

1.      Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam, Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.

2.      Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak keturunan Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai Euphrat, dan memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur dengan bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai pelosok Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan Himyar.

3.      Bangsa Arab al-Musta’ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab, yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Rabi’ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.

Selain ketiga generasi bangsa Arab yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut bangsa Arab Baru, yaitu bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari kabilah-kabilah tersebut di atas yang berbaur dengan anak-anak dari kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik sampai seberang Laut Persi dan Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai Euphrat dan Sungai Tigris sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara dengan dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang berbeda-beda yang dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka ketahui melalui pembelajaran.

  1. B.     Sastra Bahasa (Adabul Lughah)

Bahasa adalaألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh setiap kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati maupun pemikiran mereka).

Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.

Terkadang kata “Adab” digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata “Adab” dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan.

Kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy)  merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu samudera, yaitu bahasa Arab.

 

  1. C.    Pengertian Adab dari Masa ke Masa

Sebagai sebuah istilah, kata “Adab” mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata “Adab” sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata “Adab” terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata “Adab” tersebut.

Pada zaman Jahiliyyah kata “Adab” berarti “الدعوة إلى الطعام(mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata “Ma’dubah” dari akar kata yang sama yaitu “Adab”. Kata “Ma’dubah” berarti jamuan atau hidangan, dengan kata kerja “Adaba-ya’dibu” yang berarti menjamu atau menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa’illi:

نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤    لا ترى الآدب فينا ينتفر

 

“Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang”

Kata “Adab” juga digunakan dalam arti “prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat-sifat yang mulia” seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang datang melamarnya:

“… .بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه…”

 

“…. Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak menghormatinya….”.

Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:

“إنى لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة تلفتى…” 

 

 “Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh dibelakangnya”.  

Seperti yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata “Adab” berarti “الدعوة إلى المحامد ومكارم الأخلاق(ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:

“أدبنى ربّى فأحسن تأديبى…”

 

“Tuhanku telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak”

Beliau Saw juga bersabda:

 

“إن هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته”

 

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya”

Umar bin Khattab berkata kepada puteranya:

“يا بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك…”

 

“Wahai anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan menjadi lembut budi pekertimu”

Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta’lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata turunan al-Mu’addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.

Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta’liimu ma’an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti “Adab” pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn al-Muqaffa’ yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa’ yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata “Adab” telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.

Pada Abad ke-4 H, kata “Adab” semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan intelektul sekaligus kehidupan material.  Kata “Adiib” yang berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata “mutsaqqif” yang berarti budayawan atau orang yang memiliki intelektual tinggi.

Dengan berakhirnya abad ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata “Adab” mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat didalamnya. Makna “Adab” yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata “Adab” memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata “Adab” dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata “Adab” dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.

Puisi indah, essai yang memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang mengesankan, semua ini termasuk “Adab” dalam pengertian khusus, karena ketika kita membaca atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti yang kita dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik, serta ketika  kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan demikian, maka “Adab” atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Adab” dalam pengertian literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu, seperti adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa’at (tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat, termasuk kata “Adab” dalam pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak (Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).

Kemudian pertanyaan yan timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna umum dengan kata Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata cara tentang prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat tertentu, seperti para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk karya sastra, seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan sebagainya. Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang lebih spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).

Teeuw (1988, 21-24) mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam arti yang sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su- berarti indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul kemudian. Kata Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa Arab disebut Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB

 

Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr) dan puisi (syi’r). Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa (amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats ‘ilmiyyah).

Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri dari 4 macam yaitu:

1.      Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.

2.      Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).

3.      Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.

4.      Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.

Kisah berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt, dan sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan al-Qur’an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.

Adapun pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat. Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung. Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu’ asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji) oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).

Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa’idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.

Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat religius serta berdasarkan pada al-Qur’an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).

Sejarah (tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal dibidang ini, antara lain: Mu’jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah, Zakha’ir al-‘Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin Ali al-Mas’udi (w. 956), dan Muluk al-‘Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876-1940).

Karya Ilmiah (abhats ‘ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M), ‘Aja’ib al-Makhluqat wa Gara’ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-‘Ibad (Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan), dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-‘Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya’qub Sarruf (1852-1928).

Adapun puisi (Syi’r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi’r al-Ginai dan asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi. Asy-Syi’r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1.      Asy-Syi’r al-Wijdani, adalah  puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.

2.      Asy-Syi’r al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Ratsa’uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).

3.      Asy-Syi’r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan ‘Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).

Adapun asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi’ah (560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-‘Ala al-Ma’arri (973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji (1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi’r Nasif. (Risalah Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal

Pada masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi (1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim (Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).

  1. A.    PROSA

 

  1. 1.      Pengertian Natsr (Prosa)

Terdapat banyak perbedaan definisi yang dikemukan oleh para ahli sastra Arab. Akan tetapi, perbedaan ini hanyak terletak bahasa penyampaiannya saja. Namun, mengenai hakikat sebuah prosa mereka memiliki pendapat yang sama, seperti yang dikemukakan di bawah ini :

والنثر : فهو ما ليس بشعر من الكلام المصقول المنمق, فهو لايتقيد بوزن ولا قافية

 

“Prosa adalah ungkapan atau tulisan yang tidak sama dengan Syi’r, ia tidak terkait dengan wazan atau qafiyah”

Sebagian para ahli sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu daripada timbulnya syi’r, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syi’r sangat erat hubungannya dengan kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka berpendapat bahwa manusia baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi’r setelah mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu natsr ghair fanni dan natsr fanni. natsr ghair fanni adalah ungkapan prosa yang keluar dari lisan mereka baik ketika terjadinya percakapan maupun ketika melakukan orasi (khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas ke dalam jiwa dan perasan.

Secara umum natsr Jahiliyyah terbagi ke dalam beberapa jenis diantaranya : al-Khutbah, al-Wasiyat, al-Hikmah, al-Matsal (Amtsal), dan ada juga ahli sastra Arab memasukan Saj’u Khuhan (mantera dukun) ke dalam pembagian jenis prosa Arab Jahiliyyyah.

Adapun karakteristik yang dimiliki Natsr Jahiliyyah antara lain kalimat yang digunakan ringkas, lafaznya jelas, memiliki kedalaman makna, bersajak (mengakhiri setiap kalimat dengan huruf yang sama), terkadang sering dipadukan dengan syi’r, amtsal dan yang lainnya.

  1. 2.      Al-Amtsal (Pribahasa)

Pengertian Amtsal,

والأمثال هي جمل رصينة موجزة تشير إلى قصة أو حادثة يشبه بها حال الذى حكيت فيه بحال الذى قيلت لأجله

Amtsal adalah kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan.

Kata amtsal adalah bentuk jamak dari masalun dan mislun, yang mengandung arti bidal atau bandingan. Terdapat banyak arti kata masalun dan mislun yang dapat kita jumpai, misalnya persamaan, padanan, sederajat, sepangkat, sejalan (dengan), menurut kias, sama (dengan). Atau dalam terjemahan bahasa asing lainnya kita jumpai seperti simelar, equal dan analogous. Dalam sastra Indonesia amtsal ini sama dengan pribahasa atau pepatah.

Dalam sejarah Mesir Kuno banyak dikenal buku-buku bidal yang berisi pengajaran dan nasehat-nasehat dengan menggunakan kata-kata amtsal, misalnya: Al-Fallah al-Fasyih, Sibawaih dan Aibur. Koleksi buku-buku ini disebut Sifru al-Amtsal (Kitab Bidal/The Book of Proverbs). Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari amtsal, di antaranya :

قبل الرمى تملأ الكنائن

 

“Sebelum memanah penuhi dahulu busur-busur”

Pribahasa di atas memiliki kesamaan dengan pribahasa “Sedia payung sebelum hujan” yang merupakan sebuah pesan agar sebelum bertindak kita haruslah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan.

ضعف الطالب والمطلوب

 

“Si  peminta dan yang meminta lemah”

Pribahasa di atas merupakan sebuah ungkapan di waktu kita diminta seseorang agar membantunya berupa uang atau bantuan yang lain, pada kita sendiri tidak mempunyai uang atau bantuan yang dapat diberikan.

Diriwayatkan bahwa ada seorang Arab mengutus anaknya untuk mencari untanya yang hilang, namun anaknya tak kunjung pulang, maka pergilah sang ayah untuk mencari anaknya tersebut pada bulan haram, ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pemuda dan menemaninya, sang pemuda tersebut kemudian berkata: beberapa waktu lalu aku bertemu dengan seorang pemuda dengan ciri-ciri begini dan begini dan aku rampas pedang ini darinya, sang ayah pun berfikir dan melihat pedang tersebut, barulah ia sadar bahwa pemuda inilah yang membunuh anaknya, sang ayah pun menebas pemuda tadi hingga mati, ketika masyarakat mengetahui hal tersebut mereka mengatakan ” mengapa kau membunuh di bulan haram, sang ayah berkata :

سبق السيف العذل

 

“pedangku telah mendahului celaan kalian.”

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu musim panas seorang lelaki tua menikahi gadis muda yang cantik jelita, lelaki tadi memiliki begitu banyak unta dan kambing yang senantiasa memproduksi susu. Akan tetapi wanita ini tidak mencantai lelaki tua itu dan meminta untuk diceraikan, maka merekapun bercerai. Wanita tadi akhirnya menikah dengan seorang pemuda yang tampan namun miskin, tidak punya kambing apalagi unta, pada musim dingin wanita tadi melihat sekawanan kambing milik lelaki tua mantan suaminya dan memohon agar diberikan susu dari kambing-kambing tersebut, namun lelaki tua itu menolak dan berkata :

الصيف ضيعت اللبن

 

“Musim panas yang lalu kau telah menyia-nyiakan susu yang aku beri”

Matsal di atas diucapkan kepada seorang yang telah menyia-nyiakan kesempatan dimasa lalu namun kini mengharapnya kembali.

 

  1. 3.      Al-Hikam (Kata-Kata Mutiara)

Pengertian Hikam,

والحكم : قول موجز يشتمل على حكم صائب ورأى سديد.

 

“Hikam atau kata-kata mutiara adalah ucapan kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, di dalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat.”

 

Terkadang kata-kata mutiara juga terdapat di dalam sebuah syi’r sebagaimana banyak ditemukan di dalam Syi’r Zuhair bin Abi Sulma. Adapun di antara para penghikmah yang terkenal, antara lain : Qus bin Sa’idah dan Dzul Isba’ Al-‘Adwani. Di bawah terdapat beberapa contoh dari hikam atau kata-kata mutiara :

 

آفة الرأي الهوى

“Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya.”

 

مصارع الرجال تحت برو ق الطمع

“Kehancuran seorang lelaki terletak dibawah kilaunya ketamakan”

 

  1. 4.      Al-Wasiat

Pengertian al-wasiat,

وهي كالخطابة, الكلام الذى يصدر من المرأة, لإبنـتها ومن الرجل لولده ومن الأمير لقواد جيشه ومن الحكيم لقومه, ويغلب ذلك عند الإحساس بالأجل أو العزم على الرحلة.

 

“Wasiat itu sama seperti khutbah yaitu ucapan atau pesan yang disampaikan oleh seseorang, baik dari orang tua kepada anaknya, dari pemimpin kepada anak buahnya, dari hakim kepada masyrakatnya. Biasanya wasiyat disampaikan oleh seseorang yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat atau seseorang yang hendak melakukan perjalanan”.

 

Wasiat memiliki banyak persamaan dengan khutbah hanya saja umumnya wasiat itu lebih ringkas. Di bawah ini adalah contoh wasiat yang disampaikan oleh Dzul Isba’ Al-‘Adwani kepada anaknya yang bernama Usaid. Diriwayatkan bahwa disaat Dzul Isba’ Al-‘adwani merasakan ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya. Ia berkata :

 

ألن جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر عليهم بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح بمالك, و أعزز جارك وأعن من استعان بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا, فبذلك يتم سؤددك

 

“Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu, sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan mentaatimu, dan janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan, hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah tamu dan selalulah berseri ketika menghadapi orang yang meminta-minta, maka dengan itu semua sempurnalah kharismamu.”

 

  1. 5.      Khithobah (Orasi)

Senin, 13 April 2009 20:53:29 – oleh : admin

Pengertian khutbah atau orasi,

والخطابة هي كل كلام مؤثر يلقى على ملأ من الناس لإقناعهم بما فيه الخير لعامتهم فى حاضرهم ومستقبلهم.

 

Khithobah atau orasi adalah serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.

Adapun penyebab munculnya khithobah pada periode Jahiliyah antara lain : banyaknya perang yang terjadi antar kabilah, pola hubungan yang ada pada masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan selamat, belasungkawa dan saling memohon bantuan perang, kekacauan politik yang ada kala itu, menyebarnya buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak digunakan daripada tulisan, dan saling membanggakan nasab dan adat istiadat.

Ciri khas yang dimiliki oleh khithobah pada masa ini antara lain: penggunaan kalimat yang ringkas, lafaz yang jelas dan ringkas, makna yang mendalam, bersajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama) dan terkadang sering terjadi perpaduan antara syi’r, hikmah dan matsal.

Khithobah memiliki peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Jahiliyyah pada waktu itu. Bagi mereka khutbah merupakan alat komunikasi untuk menunjukkan kehebatan suatu kabilah atau menjadi semangat dalam sebuah peperangan antar kabilah. Adapun tempat-tempat yang biasa dipakai untuk berorasi antara lain:

1.      Sebelum peperangan antar kabilah terjadi, dimana sang orator berdiri diatas kuda atau unta untuk memberikan semangat pada pasukannya agar dapat memenangkan peperangan.

2.      Ketika munafarah, yaitu dimana seseorang membanggakan diri di depan orang lain, atau membanggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dalam keadaan ini sang orator akan berorasi didepan khayalak ramai untuk membanggakan kabilahnya.

3.      Ketika berada di hadapan utusan raja atau amir, sang orator maju dihadapan para utusan tersebut dan berorasi untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka.

4.      Ketika acara pernikahan, khutbah pada acara pernikahan ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak dahulu yang hingga saat ini masih dipertahankan, sebagaimana yang dilakukan paman Nabi SAW, Abu Thalin ketika menikahkan Beliau SAW dengan Siti Khadijah.

Di antara para orator yang terkenal pada masa Jahiliyyah, antara lain : Aktsam bin Shaifi, Qus bin Sa’idah al-Iyady (sang orator Ukadz), Amr bin Ma’dayakiribah Al-Zabidy.

Di bawah ini terdapat contoh khutbah yang disampaikan oleh Hani’ Bin Qobishoh ketika terjadi peperangan Dzi-Qorin. Diriwayatkan bahwa Kisra ( Raja Persia ) memaksa Hani bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan kepadanya oleh Nu’man ibnul Mundzir-salah seorang penguasa Irak-. Hani menolak permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani’ membakar semangat para pasukannya dengan perkataannya :

يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا أبا بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد

“Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara terhormat lebih baik dari orang yang selamat kar’na lari dari medan juang, sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia, jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya, tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung kalian, wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu kepastian.. “

 

  1. B.     PUISI

 

  1. 1.      Pengertian Syi’r

 

والشعر هو الكلام الموزن المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصّور المؤثرة البليغة.

Syi’r adalah ungkapan atau ungkapan yang berwazan dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan lagi mendalam (Zayyat, 1996: 25).

Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa itu. Menurut Ahmad Amin (1933: 55) secara etimologi kata sya’ara sendiri berarti ‘alima (mengetahui). Seperti kalimat sya’artu bihi artinya alimtu. Dari sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:

وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ.

“Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman”(QS. 6: 109).

Dalam kamus lisan al-Arab, kata sya’ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifah. Karena itu kata asy-sya’ir (الشاعر) artinya (العالم) wa asy-syua’ara’ artinya ulama. Kemudian kata syi’r berkembang menjadi sebuah istilah yang khusus, dalam al-lisan disebutkan:

و الشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن و القافية، .

“Puisi itu merupakan rangkaian kata-kata, yang biasanya tersusun dalam bentuk wazan dan qafiyah”

Pada zaman jahiliyah para penyair adalah golongan masyarakat jahiliyah yang paling berilmu. Di samping golongan lain yang disebut dengan hukkam. Golongan ini memberi keputusan atas berbagai perselisihan antar anggota masyarakat dalam hal derajat dan nasab. Setiap kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara hakim yang terkenal Aqsam ibn Saifi, Hajib ibn Zurarah, al-Aqra’ ibn habis dan Amir ibn Gharb. Secara intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair akan tetapi secara imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas. Sehingga bangsa Arab menyatakan bahwa :

إن الشعر ديوان العرب

 

“Sesungguh puisi itu merupakan diwan bangsa Arab”

Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa Syi’r mencatat berbagai hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri mereka sendiri dalam Syi’r. Dahulu para sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah untuk memahami berbagai perang dan memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk menciptakan Syi’r madah dan hija’ (Amin, 1933: 57).

Beberapa kumpulan diwan Arab jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu’allaqat as-Sab’u yang dikumpulkan oleh Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh al-mufadhdhal adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan al-hammasah yang disusun oleh Abi Tamam yang berisi potongan-potongan syi’ir jahiliyah yang sangat banyak, al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi’ru wa asy-Syu’ara’ karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy’aru al-Arab karangan Abu Zaid al-Kurasyi, Syi’r jahiliyah yang sampai kepada kita tidak lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada Syi’r Arab menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, Syi’r-Syi’r jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti’arahnya sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi (Amin, 1933: 58).

Syi’r menjadi panglima kehidupan pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam seluruh bidang kehidupan. Berbagai momen kehidupan baik ritual keagamaan, sosial politik, perang dan perdagangan menggunakan Syi’r sebagai alat motivasi handal. Syukri Faishol menggambarkan dominasi Syi’r pada masa jahiliyah sebagai berikut :

كَانَ الشِعْرُ مِن الْاَثرةِ واَلطُغْيَان بِحَيْثُ كَانَ يَسْتبد بِكُلَّ مَجَالاَت الْقَوْل ، فَى الْحَرْب وَالْسِلْم وَفِيْ الفَخْر وَالْهِجَاء، وَفِي التَأَمّل الدِّيْنِي وَالتّفْكِيْر الْفَلْسَفِي، فِي هذِهِ جَمْيعًا كَانَت الْحَيَاة الْجَاهِلِيّة تَتَنَفَّس هذَا التَنَفُّس الْشِعْرِي…وَحَتَّى حِيْنَ يَكُوْن الْنَثْر أَحْيَانًا عَلَى أَلْسِنَة الْكُهَّان، كَانَ نَثْرًا مَسْجُوْعًا.

“Syi’r begitu dominan menguasai berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam perdamaian seperti fakhr dan hija’ dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran filosofis. Semua bidang tersebut pada masa jahiliyah tumbuh dalam suasana puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan para dukun-dukun jahiliyah pun bersajak sehingga dikenal dengan saja’ul-kuhhan. Hubungan antara keduanya begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara historis prosa liris tidak memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah tidak seperti jahiliyah, memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis yang panjang. Yang menopang kekokohan keberadaannya dari segi produksi, sastrawan dan periwayatannya.” (Syukri Faishol, 1973: 351).

 

  1. 2.      Awal Mula timbulnya Syi’r Arab

Sejarah mengenai awal mula Syi’r Arab merupakan sejarah yang sulit untuk menentukan batasannya. Akan tetapi para ahli sejarah sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya Syi’r Arab telah lebih dahulu daripada prosa. Syi’r Arab Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini hanya sebagian Syi’r yang pengumpulannya pada perang Busus sekitar 150 tahun sebelum Islam. Itupun tidak merupakan keseluruhan Syi’r yang dihasilkan bangsa Arab di masa tersebut. Sehingga Syi’r Jahiliyyah yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja dari Syi’r Jahiliyyah yang dapat diselamatkan dari kepunahan.

Syi’r Jahiliyyah yang sempat dihapal oleh generasi yang datang di masa Islam akhirnya dicatat dan dibukukan dalam catatan-catatan pribadi, kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya. Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut lalu dikumpulkan oleh para pengumpul Syi’r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy, Khallaf bin Amru dan Abu Bakar Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi’r yang masih ada pada suku Badui Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam kekuatan hapalannya untuk menjaga adat istiadat dan hasil karya nenek moyang mereka. Selanjutnya, hasil karya sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan dijadikan sandaran bahasa Arab oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah, dan juga para penyair Islam yang datang di masa sesudahnya.

Mengenai sejarah awal mula timbulnya Syi’r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan Syi’r Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak Syi’r Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak Syi’r Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.

Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan Syi’r Arab, bukan berarti bahwa permulaan timbulnya Syi’r Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, Syi’r Arab telah ada, hanya saja Syi’r Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini dikuatkan oleh Umru’ Al-Qais yang menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil, bangsa Arab telah mengenal Syi’r.

عوجا على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام

 

Mari kita kembali (mengenang) kepada puing-puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.

Bait syi’r di atas memberikan penerangan kepada kita bahwa segala apa yang dilakukan penyair yang ada pada masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau pengulangan dari yang telah dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat Umru’ Al-Qais ini dikuatkan oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait syi’rnya di bawah ini

ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا

 

Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa lampu.

 

Dari kutipan-kutipan syi’r di atas dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum Masehi, bangsa Arab telah mengenal syi’r, hanya saja karya mereka telah lenyap dimakan waktu. Adapun Muhalhil hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis syi’r Arab Jahiliyyah.

 

 

  1. 3.      Pembagian Jenis-jenis Syi’r dan Tujuannya

Bahasa Arab pada zaman Jahiliyah ada dua bentuk prosa dan syair. Prosa berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi kedudukannya tidak lebih tinggi dari syair, sehingga prosa ini kurang mendapat tempat dihati orang-orang Arab, anggapan mereka bahwa prosa tidak mengandung unsur keindahan dan seni dalam mengungkapkan apa yang hendak mereka ungkapkan. Lain lagi halnya dengan syair, bangsa Arab mempunyai ketajaman dalam menilai bahasa, keindahan dalan berucap  yang senantiasa disatukan dengan perasaan yang sangat halus yang merela miliki, sehingga mereka mampu berimajinasi dengan sangat tinggi. Faktor inilah yang menjadi modal dasar bangsa Arab untuk menggugah syair yang indah dengan berbagai tujuannya sesuai dengan apa yang sedang bergejolak dalam jiwanya. Karna menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan puncak keindahan dalam sastra mereka dibanding dengan hasil sastra lainnya.

Syair -syair yang mereka lantunkan dapat memukau dan mempengaruhi jiwa sipendengarnya, sehingga sudah menjadi tradisi dan kebiasaan orang Arab untuk selalu menghafalkan apa yang telah mereka dengar sampai benar-benar hafal.  Kemudian syair-syair itu diajarkan kepada anak cucunya atau kerabat dalam kabilah itu  sehingga sampai kepada beberapa generasi berikutnya. Peran dan fungsi bahasa pada zaman Jahiliyah sangatlah sederhana seirama dengan kesederhanaan letak geografisnya, ketandusan wilayahnya yang menyebabkan mereka tidak dapat bertani, dan jalannya perdagangan sangat sulit dan rumit  akibat daerah yang satu dengan yang lainnya sangat berjauhan,  dan juga peperangan antar suku kerap terjadi. Hal seperti inilan membuat bahasa mereka sangat sederhana.

Adapun puisi (Syi’r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi’r al-Ginai dan asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi. Asy-Syi’r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Adapun asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran.

Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196) yang pertama kali melakukan tipologi tema Syi’r Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H). Abu Tamam membagi tema Syi’r Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib, Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu’as, Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk dalam kategori madih, kadang masuk ke hammasah dan kadang masuk ke fakhr. Sedang tema siar dan nu’as masuk kepada tema sifat sebagaimana Madzammatun Nisa’ masuk ke Hija’ dan al-Milh sering tidak jelas maksudnya. Qudamah dalam bukunya Naqdu asy-Syi’ri membagi tema Syi’r Arab menjadi enam, yaitu madih, hija’, nasif, maratsi wa al-wasfu wa at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk meringkasnya saja menjadi dua bab saja yaitu bab madah dan hija’. Ibnu Rasyiq membagi menjadi sepuluh dalam bukunya al-‘Umdah yaitu an-nasib, al-madih, al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho’, al-istinjas, al-‘itab, al-wa’id, al-indzar, al-hija’ dan al-i’tidzar. Sedangkan Abu Hilal al-‘Askary mengatakan sebetulnya Syi’r Arab jahiliyah itu dibagi menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija’, al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan satu tema yaitu al-i’tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy’ari melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab jahiliyah.

Dalam hal ini, jenis Syi’r Arab jahiliyah menurut tujuannya terbagi menjadi beberapa macam, sesuai bentuk dan warnanya yang berlainan antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.

a.      Tasybih/ghazal ialah suatu bentuk puisi yang di dalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya, Syi’r ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti Syi’r A`sa ketika tidak tega ditinggal kekasihnya Harirah:

غَرَّاءٌ فَرْعَاءْ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا # تَمْشِى اْلهُوَيْنىَ كَمَا يَمْشِى اْلجى الوحل

كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِنْ بَيتِ # جَارَتِها مَرّ السَحَابَةِ لا رَيْثٌ و لا عَجَل

 

Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya

Seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat

 

Atau Syi’r Imru al-Qais menggambar keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait Syi’rnya seperti di bawah ini:

فَلَمَّا أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى بِنَا بَطْنُ خَبْْتٍ ذِى حِقَافٍ عَقَنْقَلِ

هَصَرْتُ بِفَوْدَىْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ عَلَىَّ هَضِيْمَ الكَشْحِ رَياَّّ المُخَلْخَلِ

مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ تَرَائِبـُهَا مَصْقُوْلَةٌ كاَلسَّجَنْجَـلِ

وَجِيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ إِذَا هِـيَ نَصَّتـْهُ وَلاَ بِمُعـَطَّلٍ

وَ فَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمٍ أَثِيـْثٍ كَقَنْـوِ النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ

 

Ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung

Maka kutarik kepalanya sehingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak

Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca

Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata

Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma. (Al-Zauziny, 16-17 dan Al Muhdar, 1983: 48).

 

b.      Hammasah/Fakher, jenis Syi’r ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya Syi’r ini digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh. Seperti Syi’r Rasyid ibn Shihab al- Yaskary yang menantang Qais ibn Mas`ud al-Syaibany di Pasar Ukaz;

 

وَلاَ تُوعِدنِّى إنـنى إن تـلاَقنى معى مَشْـرِفِىُّ في مضاربـه قَضَمْ

و ذمٌّ يُغَشِّى المرءَ خِزْياً و رهطه لدى السَّرْحة العَشَّاء في ظلها الأَدَمْ

 

Jangan mengancamku, sungguh bila kau menemui aku

Bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya

Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina

Disaksikan berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam  (Dhaif, 2001: 200).

 

c.       Madah, Bentuk Syi’r ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segala macam sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun ketinggian budi pekerti seseorang. Seperti Syi’r Nabighah ketika memuji raja Nu`man:

فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ

 

Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang

Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri (Mursyidi, 97).

 

Atau seperti Syi’r A`sya ketika memuji kedermawanan Muhallik:

تَرَى الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِهِ # كَمَا زَانَ مَتْنَ الْهِنْدُوَانِى رَوْنَقُ

يَدَاهُ يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌّ مُبِيْدَةٌ # وَ كَفٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ يُنْفَقُ

 

Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan.

Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma (Al-Iskandary, 1978: 82-83).

 

Syi’r ini ditulis oleh an-Nabighah untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya kepada raja Amru ibn al-Harits al-Ghassany.

 

لَهُمْ شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ مِنَ اْلجُوْدِ، وَاْلأَحْلاَمِ غَيْرَ عَوَازِبِ

رِقَافَ النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجُزَاتُهُمْ يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ السَّبَاسِبِ

وَلاَ يَحْسَبُوْنَ اْلخَيْرَ لاَ شَرَّ بَعْدَهُ وَلاَ يَحْسَبُوْنَ الشَّرَّ ضَرْبَةَ لاَزِبِ

 

Mereka (kabilah Ghassan) memiliki sifat kedermawanan, dan cara berfikir cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah kepada yang lain

Sandalnya halus, selalu mengendalikan diri, semua manusia menghormati mereka dengan wangi-wangian pada hari raya sabasib

Mereka sangat berpengalaman, kebaikan tidak melupakan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraannya, demikian juga musibah dan penderitaan tidak membuat mereka berputus asa. (Mursyidi, t.t.:90).

 

Ini adalah Syi’r Khansa` yang sangat bangga pada saudaranya Shakhr

يُـؤَرِّقُنِى التَّذَكُّـرُ حِيْنَ أُمْسِى فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ نَكْسٍ

عَلَى صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسِ ؟

فَلَـمْ أَرَ مِثْـلَهُ رُزْءًا لـِجِنٍ وَ لمَ أَرَ مِثـْلَهُ رُزْءًا لإِنْـسِ

أَشَدُّ عَلَى صُرُوْفِ الدَّهْرِ أَيْدًا وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ لِبْسِ

وَ ضَيْـفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ يُـرَوِّعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَـرْسِ

فَأَكْرَمَـهُ، وَ أَمَّنـَهُ، فَأَمْسَى خَلِيًـا بَـالُهُ مِنْ كُلِّ بُـؤْسِ

Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku

Dan di pagi hari kudapati diriku yang kemarin sembuh sakit kembali

Karena ingatanku kepada Sakhr, adakah pemuda yang seperti Sakhr Pada saat terjadi peperangan dan tebasan pedang bagai kilatan cahaya

Dan tak pernah kulihat musibah mengerikan itu yang menimpa jin

Juga tak pernah kulihat musibah sepertinya yang menimpa manusia

Lebih dahsyat dari bala’ yang menimpa dunia sepanjang masa

Peristiwa yang luar biasa dan tidak orang yang bisa memungkirinya.

Setiap datang pengetuk pintu atau datang orang yang meminta perlindungan selalu menggetarkan hatinya, maka dia akan memuliakannya dan akan melindunginya.

Dan ketika datang malam hari hatinya menjadi tenteram dari segala kesialan.

d.     Rotsa’, jenis Syi’r ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal dunia. Seperti Syi’r Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian Syi’r ratsa`nya;

 

يُذَكِّرُنِى طُلُوْعُ الشََّمْسِ صَخْرًا وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوْبِ شَمْسَ

فَلَوْلاَ كَثْـرَةُ البَـاكِيْنَ حَوْلِى عَلَى إِخْوَانِـهِمْ لَقَتَلْتُ نَفْسِى

Aku selalu teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.

Dan aku teringat padanya ketika matahari terbenam.

Aku teringat padanya antara keduanya.

Ingatanku padanya tidak bisa hilang.

Kalau bukan karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang mati, mungkin aku sudah bunuh diri.

 

Juga Syi’rnya yang menggambar kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan suaminya;

 

ألم وزهد في الحياة

فَلاَ وَ اللهِ لاَ أَنْسَاكَ، حَتَى أُفَارِقَ مُهْجَتِى وَ يُشَقَّ رَمْسِي

فَقَدْ وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ أَبِى حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي

فَيَالَهْفِي عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ يُمْسِى

Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan melupakanmu sampai maut memisahkan diriku

Aku tinggalkan sejak aku berpisah dengan Shakhr,

Abi Hasan untuk diriku dan aku melupakannya

Aku merindukannya dan juga ibuku merindukannya

Apa dia telah menjadi tanah dan didalamnya dia berada.(Al-Maliji, 1989: 38-39).

 

 

e.      Hijaa’, jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan keburukan orang itu. Seperti Syi’r Zuhair yang mengancam al-Harits ibn Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa mengembalikan untanya yang dirampasnya.

لَيَأْتِـيـَنَّكَ مِنِّى مَنْطِقٌ قَذِعٌ بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ اْلقُبْطِـيَّةَ الوَدَكُ

Kamu akan mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku

Tidak akan bisa hilang seperti baju putih yang terkena lemak

(Dhaif, 2001: 197).

 

Atau seperti Syi’r Juhannam yang mengejek A`sya dengan menghina bapak dan pamannya.

أَبُوْكَ قَتِيْلُ الْجُوْعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَلٍ وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ خُمَاعَةَ رَاضِعُ.

 

Bapakmu mati karena kelaparan (korban kelaparan) Qais ibn Jandal

Dan pamanmu hamba dari kabilah Khuma’ah yang rendahan (Dhaif, 2001:335).

f.        I’tidzar, Jenis puisi ini digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Syi’r ini dibuat oleh A’sya untuk meminta maaf kepada Aus ibn Lam (dari kabilah Thayyi’) yang sebelumnya dia ejek dengan Syi’r hija’nya

 

وَإِنِّى عَلىَ مَا كَانَ مِنّىِ لَنَادِمٌ وَإِنّىِ إِلَى أَوْسْ بِنْ لاَمٍ لَتَائِبُ

وَإِنِّى إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِى وَيُصَفِّحُ عَنىِّ- مَا حَيِيْتُ- لَرَاغِبُ

فَهَبْ لِى حَيَاتِى فَاْلحَيَاةُ لَقَائِمٌ بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا أَنْتَ وَاهِبُ

سَأَمْحُو بِمَدْحٍ فِيْكَ إِذْ أَناَ صَادِقٌ كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا كَاذِبُ

 

Sesungguhnya aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus ibn Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan menghapus segala kesalahanku adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku akan menghapus kesalahanku dengan pujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenarnya adalah bohong (Al-Iskandary, 1978: 55).

 

Atau seperti Syi’r Nabighah yang terkenal dengan Syi’r i`tidzariyatnya, memohon maaf kepada raja Nu`man.

وَ لَكِنَّنِى كُنْتُ امْرَأً لِىَ جَانِبٌ مِنَ الأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ مَذْهَبُ

مَلُوْكٌ وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ أُحَكَّمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ أَقْرَبُ

كَفِعْلِكَ فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ أَذْنَبُوْا

فَلاَ تَتْرُكَنِّى بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِى إِلَى النَّاسِ مَطْلِىٌ بِهِ القَارُ أَجْرَبُ

أَلمَْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُوْنَهَا يَتَذَبْذَبُ

فَإِنَّكَ شَمْسٌ، وَ المَلُوْكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ

وَ لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَخًا لاَ تَلمُّهُ عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ المُهَذِّبُ؟

 

Tetapi sesungguhnya aku adalah orang yang punya tempat alternatif lain

Di bumi di mana aku mengais rizki dan tempat melarikan diri

Yaitu para raja dan teman-teman, yang jika aku datang pada mereka

Aku bisa menggunakan harta mereka semauku, dan mendekatkan diri

persis seperti apa yang kamu lakukan pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan dan ternyata ketika mereka tidak bisa bersyukur, maka hal itu bagimu mereka telah berdosa

Jangan kau biarkan aku dalam ancamanmu, sehingga karena ancamanmu

aku seolah-olah dilumuri ramuan kudis, semua orang menjauh dariku karena takut ancamanmu

Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menganugerahkan kepadamu kedudukan yang tinggi, yang raja-raja selain kamu tidak mampu menyandangnya.

Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang

Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri.

Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil.

Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela (Mursyidi, t.t.: 95-97).

g.      Wasfun, Jenis Syi’r ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah adalah orang Badui yang begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga begitu terpengaruh dengan lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam Syi’rnya tentang padang pasir, langit, bintang, angin, hujan, tenda-tenda perkemahan, puing-puing perkampungan, tempat-tempat bermain anak-anak dan unta, tentang kuda dan ciri-cirinya, perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan peralatannya, hal ini terlihat jelas pada Syi’r-puisnya Imru’ul Qais. Imru al-Qais menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;

وَقَدْ أَغْتَدِى وَالطَّيْرِ فِى وُكُنَاتِهَا بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ, الأَوَابِدِ, هَيْكَلِ

مُكِرٍّ مُفِرٍّ, مُقْبِلٍ, مُدْبِرٍ مَعًا كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ الِسيْلِ مِنْ عَلِ

يَزِلُّ الغُلاَمُ الجِفُّ عَنْ صَهَوَاتِهِ وبلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ المُثَقَّلِ

لَهْ أيْطَلاَ ظَبْى, وَسَاقَا نَعَامَةٍ وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيْبُ تَنْفَلِ

 

Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya

Mengendarai kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang

Maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan

Seperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi

Pemuda yang kurus akan kesulitan duduk di pelananya

Sebagaimana orang yang kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya

Pinggangnya seperti pinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki burung Unta

Kalau berlari ringan seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya bagai larinya serigala liar (Mursyidy, t.t.: 75-77).

h.      Hikmah: puisi ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman jahiliyah Seperti Syi’rnya Labid,

اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ مَا خَلاَ اللهِ بَاطِلُ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لاَ مَحَالَةَ زَائِلُ

وَ كُلُّ أُناَسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا الأَنَامِلُ

وَ كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الالَهِ الْحَصَائِلُ

Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap

dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.

Setiap orang pada suatu saat pasti akan didatangi oleh

maut yang memutihkan jari-jari.

Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya

jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan (Al-Iskandary, 1978: 88-89).

 

Juga Syi’rnya Zuhair yang luar biasa:

رَأَيْتُ الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ تُمِتهُ وَ مَنْ تُخْطِئْ يُعَمَّرْ فَيَهْرَمِ

وَ مَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوْفَ مِنْ دُوْنِ عِرْضِهِ يَفْرْهُ وَ مَنْ لاَ يَتَّقِ الشَّتْمَ يُشْتَمِ

وَ مَنْ يُوْفِ لاَ يُذْمَمْ وَ مَنْ يُهْد قَلْبُهُ إِلَى مُطْمَئِنِّ البِرِّ لاَ يَتَجَمْجَمِ

وَ مَنْ هَابَ اَسْبَـابَ المَنَايَا يَنَلْنَـهُ وَ إِنْ يَرْقَ اَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلَّمِ

 

Aku lihat maut itu datang tanpa permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati dan siapa yang luput dia akan lanjut usia.

Siapa yang selalu menjaga kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang tidak menghindari cercaan orang, maka dia akan tercela.

Siapa yang menepati janji tidak akan tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka dia akan selalu berbuat baik.

Siapa yang takut mati pasti dia akan bertemu juga dengan maut walaupun dia naik ke langit dengan tangga (melarikan diri) (Az-Zauzini, tt.: 73-76 dan Al Muhdar, 1983: 55-56).

 

BAB III

SEJARAH SASTRA ARAB

 

  1. A.    Sejarah Sastra (Tarikhul Adab) dan Fungsinya

Tarikhul Adab atau Sejarah sastra adalah suatu ilmu yang membahas mengenai keadaan bahasa serta sastra seperti puisi dan prosa yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa itu dalam berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan kemudurannya, serta kehancuran yang mengancam kedua produk sastra tersebut, serta mengalihkan perhatiannya terhadap para tokoh terkemuka dari kalangan penulis dan ahli bahasa, serta melakukan kritik terhadap karya-karya mereka, dan menjelaskan pengaruh mereka dalam ide, penciptaan, dan gaya bahasa (uslub).

Tarikhul Adab atau sejarah sastra dalam pengertian seperti di atas merupakan ilmu yang baru tumbuh, dan dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di kawasan timur, sejarah sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan Timur dan Kawasan Barat semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer ilmu mengenai sejarah sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah al-Ustadz Hasan Taufiq al-‘Adl, setelah kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau mengajar di Universitas Daarul ‘Ulum (Bunyamin, 2003:6).

Pengertian sejarah sastra di atas adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra secara dalam arti khusus. Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra dalam pengertian umum adalah ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis sesuai perjalanan zaman yang terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam lembaran-lembaran, dan yang terpahat dalam batu-batu prasasti, yang mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran tentang suatu ilmu atau seni, pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk di dalamnya penyebutan orang-orang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari kalangan para ilmuan, para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan referensi yang mereka gunakan, aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi mereka dalam bidang seni yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan kemajuan atau kemunduran dari semua ilmu pengetahuan.

Pada umumnya, bangsa-bangsa yang maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya kesusastraan dari bahasa nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan itu akan dikenal oleh generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah kesusastraan. Demikian pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal dari sejarah kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah kesusastraan Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang ditinjau dari segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya, dari sejak timbulnya dengan segala perkembangan menurut periodesasinya.

Ahmad al-Iskandari dan Musthafa ‘Anani dalam al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi (1934:5) mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra khususnya sejarah kesusastraan Arab, antara lain:

a.       Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari segi agama, sosial, maupun politik.

b.      Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya, pemikiran-pemikiran penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, perbedaan cipta rasa mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat memberikan wawasan baru kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan antara bentuk-bentuk bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada masa yang lain.

c.       Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan ahli bahasa dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan buruk yang terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga kita dapat meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari contoh-contoh yang tidak baik.

  1. B.     Periodesasi Sejarah Sastra Arab

Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya.

Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka  itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami’at, 1993:18). Di bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli kesusastraan Arab, antara lain:

Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:

1.      Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).

2.      Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M).

3.      Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.

4.      Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).

5.      Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.

Adapun Muhammad Sa’id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:

1.      Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.

2.      Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.

3.      Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada tahun 334 H.

4.      Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.

5.      Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.

6.      Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.

Sedangkan Ahmad Al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah Wa Tarikhihi (1916:10) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:

1.      Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun.

2.      Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.

3.      Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.

4.      Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.

5.      Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini.

Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti dua contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama, yaitu:

1.      Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.

2.      Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.

3.      Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.

4.      Mengacu pada asal-usul karya sastra.

BAB IV

SASTRA ARAB JAHILIYYAH

 

  1. A.    Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah

Bangsa Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai  banyak fungsi, diantaranya :

1.      Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan berperang, sehingga  diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi  jiwa dan semangat pasukan yang  berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang gemilang.

2.      Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau  diangkat sebagai ketua adat, atau  kepala kabilah. Bila seorang penyair  telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi  jiwa  sipemilih  sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.

3.      Seringkali  terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan waktu  yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian lainnya yang telah  mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa syairnya, seorang penyair  dalam melantunkan syairnya,, ia mampu mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan  dalam konflik dapat dilumpuhkan dengan cara  memberikan gambaran -gambaran kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.

Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.

Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:

“Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan”

Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A’sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A’sya ke rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini:

ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق

لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق

تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق

رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق

ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق

يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق

“Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”

“Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”

“Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”

“Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”

“Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”

“Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma”

Dalam riwayat lain diceritakan. ketika al-A’sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:

 

والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع…

“Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad”.

Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:

 

فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا

متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا

نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا

له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا

“Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”

“Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”

“Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”

“Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok”

 

 

Kisah-kisah seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata (peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka’ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;

روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان

“Balaslah ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu dengan lisanmu (kepandaian syairmu)”.

Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar terhadap puisi.

Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah  juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu’ara (para penyair).

Puisi tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.

 

  1. B.     Perhatian Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa

Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan “kemah”, alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.

Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.

Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa’ (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.

Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi’r/syair di samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.

Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi’r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi’r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi’r/puisi yang telah “dicatat” dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi’r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi’r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.

Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi’r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi’r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.

Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi’rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.

Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.

Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.

Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja.

Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.

Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.

Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu’lu’ (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.

Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi’r daripada prosa, karena Syi’r lebih mudah dihafal.

Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.

Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.

Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.

Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.

Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:

1.      Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka menangkan.

2.      Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.

3.      Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang mereka.

Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka’bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.

Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.

Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab.

Bahasa dan kandungan Syi’r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi’r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi’r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi’r imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, Syi’r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.

  1. C.    Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah

Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi’r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.

Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.

1.      Pasar (al-Aswaq)

Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.

Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa’dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa’dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa’dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza’ah, dan ‘Adhal”. Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.

Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.

Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).

Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan’a’, dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.

Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.

Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. “Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku”. Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).

Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi’r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi’r mu’allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi’r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba’ juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa’adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa’adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.

Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba’ berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi’r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi’rnya, diantaranya; Khansa’ binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).

2.      Ayyam al-‘Arab

Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan “hari-hari orang Arab” (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang – orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.

Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).

Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi’r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi’r-Syi’r hija’nya yang pedas. Syi’r-Syi’r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi’r-Syi’rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.

 

  1. D.    Tingkatan Penyair Jahiliyah

Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:

1.      Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru’ul Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.

2.      Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa’, Hassan ibn Tsabit.

3.      Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.

4.      Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.

Bila ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam tiga tingkatan:

1.      Tingkat pertama: Imru’ul Qais, Zuhair, Nabighah

2.      Tingkat kedua: al-A’sya, Labid, Tharfah.

3.      Tingkat ketiga: ‘Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.

Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:

1.      Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;

  • Penyair Sha’alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
  • Ghair Sha’alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.

2.      Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru’ul Qais

3.      Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn ‘Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A’sya al-Akbar, al-Huthai’ah.

4.      Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi’ah.

5.      Penyair al-Madzahib: As-Samau’ell, ‘Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.

6.      Penyair-penyair perempuan: al-Khansa’.

 

  1. E.     Karakteristik Syi’r Jahiliyyah

Pada umumnya karakteristik syi’r Jahiliyyah adalah terletak pada corak pemikirannya yang terbatas, sesuai dengan corak kehidupan mereka yang sangat sederhana. Hanya saja kebanyakan penyair masa ini lebih banyak menyandarkan pada daya khayal yang ada ditambah dengan pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita hendak menilai keadaan suatu syi’r Jahiliyyah, maka kita tidak dapat terlepas dari keadaan penyair itu sendiri.

Corak pemikiran yang sederhana ini dikarenakan mereka belum banyak mengenal kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari bangsa lain. Kehidupan mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh dengan dunia pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan ikatan undang-undang.

Karakteristik yang paling menonjol pada syi’r Arab Jahiliyyah adalah karakter yang mengedepankan sifat kejantanan dan kepahlawanan, menceritakan segala macam pengalaman yang baik maupun yang buruk, menggunakan bahasa yang indah, pemilihan kata-kata yang ringkas tetapi mengandung makna yang dalam.

 

  1. F.     Al-Mu’allaqat

Masyarakat Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha’if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.

Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka’bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Ka’bah).

Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka’bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka’bah.

Puisi al-Mu’allaqat berbentuk qasidah  (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:

1.      As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.

2.      Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.

3.      Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.

4.      As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut ada tujuh buah.

5.      Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.

6.      Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.

Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu’allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A’sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi’ah al-Amiri, Amr bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.

Penyair Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi’ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).

 

 

 


BAB V

SASTRA ARAB MODERN

 

  1. A.    Perkembangan Kesusastraan Arab Modern

Penulisan prosa berupa cerita-cerita pendek modern dalam bahasa Arab, demikian juga novel dan drama, baru dimulai pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk puisi juga mengalami perubahan yang cukup besar.

Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama yang dikenal dengan ‘Ilm al-‘Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti penyair MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi sangat religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang sebagai penyair-penyair besar.

Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.

Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD IQBAL (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.

Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang menjadi pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat sebagai akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan sampai puncaknya sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive) Ismail (1830-1895). Pada waktu itulah banyak karya sastra Barat, terutama karya sastra Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et Virginie, dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu, sastra Arab baru ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.

MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari al-Azhar yang sudah amat dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai pengarang cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik semi-modern. Ia, yang juga banyak menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya pengarang Perancis abad yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya terbatas pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa lainnya, terutama Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan terjemahan langsung dari bahasa asal.

Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).

MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab mutakhir, juga mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah serangkaian bukunya tentang studi-studi Islam terbit, terutama sekali bukunya yang berjudul Hayāh Muhammad (1936). Haekal dianggap perintis karya sastra modern setelah novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak menulis kritik sastra dan cerita pendek.

Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh mula-mula sebagai penyair pembaharuan yang melepaskan diri dari ikatan tradisi. Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga terkenal karena novel semi-autobiorafinya, Sarah. Pada tahun-tahun belakangan ia banyak mencurahkan perhatian pada penulisan buku-buku ke-Islaman.

Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD TAIMUR (1894-1973), pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir. Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah cerita lama sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah baru. Buku-buku seperti Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah oleh pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi karya baru untuk kemudian diisi dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA HUSEIN, TAUFIK AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB MAHFUDZ.

Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra di Irak mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut Penulis Angkatan 60, dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis cerpen Irak yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI (1923), FU’AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK, guru besar di Universitas Baghdad. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah penyair JAMIL SIDQI AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan di samping MA’RUF AR-RUSAFI (1877-1945).

Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap penyair Arab terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB (1926-1964). Dalam hidup dan pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL WAHHAB AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia menanamkan bibit neo-klasik untuk menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang tak dapat bertahan lebih lama di Irak.

Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB yang beberapa antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan terbitnya buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok Apollo dan Mahjar yang lebih romantik – barangkali termasuk juga pengaruh Shelley dan Keats – tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot. Puisi-puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah, tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar tahun 50-an menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur dan memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke depan dengan membawa puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur’an ke dalamnya, atau kadang rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata al-Qur’an yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam al-Qur’an dan dalam tradisi Islam sering ditimbulkannya kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain. Sungguhpun ia bertahan dengan nilai lama yang lalu diperbaruinya, ia juga terbuka menyerap puisi-puisi Eropa modern.

Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang dokter medis, aktif dalam penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga WALID IKHLASI (lahir. 1935), seorang dosen ekonomi pertanian.

Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita pendek, TAYYIB SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang dapat dikenal. ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk pengarang Maroko yang cerpen-cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti al-Adab atau al-Majallah. TAHAR BEN JALOUN lebih dikenal sebagai pengarang yang menulis ke dalam bahasa Perancis.

Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan. Yang dikenal dengan sebutan as-Sā’ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah penyair-penyair yang berimigrasi umumnya ke Amerika Selatan.

Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada pembelanya, tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan sebagian kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat juga dibaca dalam huruf Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf Latin.

BAB VI

SASTRAWAN ARAB

 

  1. 1.      UMAYAH BIN ABI ASH-SHALT

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt Abdullah ibn Abi Rabi’ah ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan termasuk salah seorang pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia dibesarkan di Thaif. Ayahnya adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar kepada sang ayah dalam berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia mencarinya kepada Ahlul Kitab.

Umayyah bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang banyak meriwayatkan berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sisa-sisa agama Ibrahim serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit, bumi, malaikat, jin, syari’at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam ingatan para sesepuh Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan pakaian pengembara. Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr (minuman keras/arak) dan meragukan kepercayaan terhadap berhala.

Di dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita gembira tentang akan diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita mengenai hal itu, ia pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan tersebut. Hingga suatu ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi ash-Shalt ragu dan memendam rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan mengingkari agama yang dibawa oleh beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong orang-orang Quraisy untuk mengingkari Nabi Saw, dan meratapi orang-orang Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.

Nabi Muhammad Saw. melarang periwayatan puisinya yang berkenaan dengan hal itu. Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut, turunkanlah ayat al-Qur’an yang berbunyi:

“واتل عليهم نبأ الذى آتيناه آياتنا فانسلخ منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين”

 

“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan orang-orang yang sesat” (Al-A’raf, 7: 175).

Dan apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan dengan tauhid, keimanan, dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw. bersabda:

آمن لسانه وكفر قلبه

“Dia beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir”

Kebanyakan puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi ash-Shalt pada masa Jahiliyyah dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud’an, salah seorang bangsawan dan hartawan Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan seperti kedudukan Zuhair bin Abi Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di Thaif sampai meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9 Hijrah.

Puisi-Puisinya

Umayyah bin Abi ash-Shalt temasuk salah seorang pembesar penyair pedesaan, meskipun dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar. Hanya saja yang membuat puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana bahasa Arab, sehingga mereka mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya adalah karena dalam puisinya banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa Ibrani dan Suryani. Seakan-akan mereka mengingkari kebenaran adanya ta’rib (serapan ke dalam bahasa Arab) karena seringnya berbaur dengan orang-orang asing, meski bahasa Arabnya jelas. Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid karena dia banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya karena dia lama bergaul dengan mereka.

Umayyah bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء ) dengan shooquuroh (صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki kulit penutup yang jika terjadi gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia menamakan dengan as-saahuur (الساهور), serta ia menamakan Allah dalam puisinya dengan as-Sulthith (السلطيط), At-Taghruur (التغرور), dan sebagainya.

Puisi yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair lainnya, dengan kemudahan dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan keajaiban-keajaiban dari kisah-kisah fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam dan kehancurannya, keadaan akhirat, sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan pada-Nya. Dalam menyebutkan hal tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang belum pernah digunakan oleh seorang penyair pun sebelumnya. Puisinya juga diselingi oleh kata-kata hikmah dan pribahasa. Diantara puisi-puisinya adalah:

الحمد لله ممسان ومصبحنا  ¤  بالخير صبحنا ربى ومسانا

رب الحنيفة لم تنفد خزائنه  ¤  مملوءة طبق الآفاق سلطانا

ألا نبى لنا منا فيخبرنا  ¤  ما بعد غايتنا من رأس محيانا

وقد علمنا لوان العلم ينفعنا  ¤  أن سوف تلحق أخرانا بأولانا 

 

“Segala puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga Tuhanku memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang”

“Tuhan Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis simpanan-Nya, memenuhi cakrawala dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas”

“Ingatlah, ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat dari kalangan kita, lalu memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang menjadi tujuan kita”

“Kami telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kami, bahwa orang-orang yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang terdahulu dari kami”

Dia mencela anaknya dengan mengatakan:

 

عذوتك مولودا ومنتك يافعا  ¤  تلعل بما أجنى إليك وتنهل

إذا ليلة نابتك بالشجو لم أبت  ¤  لشكواك إلا ساهرا أتململ

كأنى أنا المطروق دونك بالذى  ¤  طرقت به دونى فعنى تهمل

تخاف الردى نفس عليك وإننى  ¤  لأعلم أن الموت حتم مؤجل

فلما بلغت السن والغاية التى  ¤  إليها مدى ما كنت فيك أؤمل

جعلت جزائى غلظة وفظاظة  ¤  كأنك أنت المنعم المتفضل

 

“Pagi hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang aku petik darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu”

“Ketika di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak bias tidur, buka karena mendengar keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa bosan”

“Seakan-akan aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan pukulan-pukulan yang dipukulkan padaku sehingga merasa kelelahan”

“Kau takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal sesungguhnya aku tahu bahwa sang maut pasti datang menjemput”

“Ketika kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai tujuan, yang kau gapai sejauh kau dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi mengharapkan apa-apa darimu”

“Kau jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian, seakan engkau sendiri yang memberikan kesenangan yang berlebihan”

Di antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :

 

عطاؤك زين لامرئ قد جبو ته  ¤  بخير وما كل العطاء يزين

وليس يشين لامرئ بذل وجهه  ¤  إليك كما بعض السؤال يشين

 

“Pemberianmu adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan, padahal tidak setiap pemberian dapat menjadi perhiasan”

“Bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang adalah akan mengarahkan wajahnya padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah yang dikendaki”

Di antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian ketika datang menjemputnya adalah:

إن نغفر اللهم نغفر جما  ¤  و أى عبد لك لا ألما

 

“Jika Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya, sebab hamba mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu”

  1. 2.       LUBAID BIN RABI’AH

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi’ah bin Malik. Ia sering juga dijuluki Abu ‘Uqail al-‘Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani ‘Amir Ibnu Sho’sho’ah, yaitu salah satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar[1]. Ibunya berasal dari kabilah ‘Abas. Lubai dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang dijuluki dengan “Rabi’ al-Muqtarin”. Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi dari kabilahnya.

Lubaid bin Rabi’ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Namun, penyair ini tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, ia tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait saja.

Dahulu, di antara kabilah Bani ‘Amir dengan kabilah Bani ‘Abas terjadi permusuhan yang sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua kabilah tersebut dipertemukan dihadapan al-Nu’man bin al Mundzir. Dari Bani ‘Abas diantaranya ada al-Rabi’ bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada para pendekar. Pada saat itu al Rabi’ dan al Nu’mân duduk-duduk bersama menikmati hidangan makan dan minum. Ia merasa iri dengan orang-orang dari Bani Amir, maka iapun menyebut-nyebut aib dan kekejian mereka. Maka ketika utusan dari mereka masuk menemui al-Nu’man, ia tak memperdulikannya dan memalingkan mukanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka jengkel, dan kemudian keluar dengan wajah memerah karena kemarahan. Pada saat kejadian itu, Lubaid masih kecil, sehingga ketika ia bertanya tentang siapa saja para ahli pidato dari mereka, ia pun diejeknya karena dianggap belum cukup umur. Ia begitu sangat berharap bisa bergabung dengan mereka. Iapun bersumpah akan memberi pelajaran kepada al-Rabi’ kelak nanti di hadapan al-Nu’man. Sumpahnya akhirnya terwujud, al-Nu’man akhirnya membenci al-Rabi’ dan ia tak lagi mau menemuinya serta melaknatnya. Setelah itulah, Bani ‘Amir mulai terangkat. Raja menghormati mereka dan memenuhi segala kebutuhannya. Inilah awal dari popularitas Lubaid. Ia melantunkan puisi-puisi singkat dan puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya dilantunkan, an-Nabighah pun mengakui bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang paling ulung dari kalangan Kabilah Hawazin dengan usia yang masih relatif muda. Puisi yang membuat al Nâbighah terbius adalah puisi pada mu’allaqahnya yang bait pertamanya berbunyi :

عفت الديار محلها فمقامها  ¤  بمنى بأبد غولها فرجامها

 

“Bekas-bekas reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina, tanahnya rendah dan tingginya menyeramkan”

Mendengarkan puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:

“Pergilah hai anak, sesungguhnya kamu akan menjadi penyair suku Qais yang terkenal[2].

Para ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas tinggi, yang dilihat dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Dalam puisinya banyak menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam mencapai martabat yang tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia tidak pernah mengejek atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah merendahkan diri kepada orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini tidak menjadikan puisinya sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta kekayaan seperti yang banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya. Sebaliknya ia selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan kemuliaan dalam menolong orang yang lemah.

Ketenaran penyair ini juga tidak menghalanginya untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada suatu hari ketika rombongan yang diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan Islam di Madinah, dan Lubaid mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Akan tetapi, pada saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya. Setelah beberapa tahun kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada Rasulullah Saw untuk menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke kabilahnya dan menerangkan mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan mengajarkan al-Quran kepada kaumnya.

Puisi-Puisinya

Diwan Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para sastrawan terkenal. Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari Ali bin Abdullah al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-‘Araby yang meninggal pada tahun 231 H/844 M.

Pada masa Umar bin al Khathab – Setelah terjadi pembukaan beberapa kota – Lubaid pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup lama, sampai ajal menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu’awiyyah pada tahun 41 H / 661 M.[3] Ada yang mengatakan bahwa usianya mencapai 130 tahun. Ia termasuk salah satu pemilik mu’allaqat. Ia memiliki sebanyak kurang lebih 122 qasidah dan 1322 bait puisi.

Sebagian para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid sebagai penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi mengucapkan puisi, kecuali hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya ketika menyatakan diri ke dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini[4]:

الحمد لله أن لم يأتنى أجلى  ¤  حتّى لبست من الإسلام سربالا

 

“Al-Hamdulillah, ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang muslim”

Akan tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain menggolongkan Lubaid ke dalam penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan puisi-puisi yang bernafaskan Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh ayat-ayat suci al-Quran.

Pada zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan seputar pujian (madah), mencaci atau mengejek (hija’), bahkan banyak dari puisinya yang berisikan kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan puisi di bawah ini[5]:

إنا إذا التقت المجامع لم يزل  ¤  منا لزاز عظيمة جشامها

ومقسّم يعطى العشيرة حقها  ¤ ومغذمر لحقوقها هضامها

فضلا وذو كريم يعين على الندى  ¤  سمح كسوب رغائب غنامها

من معشر سنّت لهم آباؤهم  ¤  ولكل قوم سنة وإمامها

لايطبعون ولايبور فعالهم  ¤  إذ لا يميل مع الهوى احلامها

وهم السّعاة إذا العشيرة افظعت  ¤  وهم فوارسها وهم حكّامها

وهم ربيع للمجاور فيهم  ¤  والمرملات إذا تطاول عامها

 “Bila beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam berdebat ataupun bertanding”

“Kaumku adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku adalah sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya”

“Kaumku menolong dengan suka rela, karena mereka suka menolong, suka memaafkan, dan suka pada suatu kemuliaan”

“Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin sendiri”

“Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak suka mengotori budi pekertinya, karena mereka tidak senang mengikuti hawa nafsu”

“Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah pahlawan bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang akan menundukkan musuh”

“Kaumku adalah penolong bagi siapa pun yang meminta pertolongan, dan pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan”

Kemudian, pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah banyak terpengaruh oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Lubaid lebih tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya terhadap hari kebangkitan, di bawah ini[6]:

 

الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل  ¤  وكلّ نعيم لا محالة زائل

وكلّ أناس سوف تدخل بينهم  ¤  دويهية تصفرّ منها الأنامل

وكلّ امرئ يوما سيعلم غيبه  ¤  إذا كشفت عند الاله الحصائل

 “Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan sirna”

“Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan jari-jari”

“Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan”.

Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi Muhammad Saw berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[7]:

 

اصدق كلمة قالها شاعر كلمة لبيد (الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل)

 

“Sebaik-baik puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Lubaid yang berbunyi: “Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap”

  1. 3.      AL-HARITS BIN HILLIZIAH AL-BAKRI

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama aslinya adalah Al-Harits bin Hillizah al-Yasykuri al-Bakri, ia merupakan salah seorang pemilik puisi mu’allaqat yang terkenal dengan satuan bait-bait puisinya, pemikirannya bagus dan spontanitas, menjadi pribahasa dalam puisi hammasah (patriotik) dan fakhr-nya (berbangga). Silsilah keturunannya sampai kepada Bakr bin Wail.

Posisinya dalam kabilah itu seperti posisi Amru bin Kultsum dalam kabilah Taghlib. Peninggalan karya puisinya hanyalah puisi-puisi pendek yang sederhana dan puisi mu’allaqat-nya, yang permulaannya adalah:

آذنتـنا يبينها أسـماء  ¤  رب ثاو يمل منـه الثــواء

“Perpisahannya dengan kami memberitahukan nama-nama dewa yang bersemayam di sana dibuat bosan bersemayam di sana”

Adalah dikarenakan oleh mu’allaqqat-nya inilah Amru bin Hindun, salah seorang raja Hirah mendamaikan antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib menyusul peperangan antara kedua kabilah tersebut yang terkenal dengan perang al-Basus, serta mengambil dari masing-masing kedua belah pihak jaminan tanggungan dari anggota kabilah untuk menghentikan pertikaian satu sama lainnya dan untuk mengikat bagi pihak yang menyerang dan diserang. Kemudian terjadi peristiwa bahwa raja meminta ganti serombangan ternak dari kabilah Taghlib dalam suatu keperluan. Kabilah Taghlib mengatakan bahwa hewan-hewan ternak itu menjarah air milik kabilah Bakr, lalu mereka menghalaunya dan menggiringnya ke daerah padang pasir yang gersang hingga ternak-ternak itu mati kehausan. Sementara kabilah Bakr mengatakan bahwa mereka memberi minum dan menggiring mereka ke arah jalan pulang, tetapi mereka lalu tersesat dan mati. Kedua pihak saling membela diri dihadapan Amru bin Hindun. Amru bin Hindun kemudian memihak kepada kabilah Taghlib, maka dengan spontanitas al-Harist bin Hillizah mencercanya dengan puisinya. Hal itu terjadi di majelis pertemuan dalam keadaan dia menutupi dirinya dengan tirai agar tidak kelihatan oleh raja, itu dikarenakan al-Harits menderita penyakit campak. Puisinya itu diungkapkan dengan spontanitas, di dalam puisi itu ia membanggakan kaumnya, menyanjung perbuatan mereka, serta kebaikan mereka dalam mendampingi dan menyertai raja dalam sebagian besar peperangan-peperangannya. Begitu al-Harits selesai berpuisi, raja berpindah ke samping kabilah Bakr, dan mendekati al-Harits serta membuka tirai yang menutupinya, lalu mereka berdua duduk bersama dalam tempat duduknya. Al-Harits berusia panjang, sehingga sebagian ulama sastra menyatakan bahwa sesungguhnya dia mendendangkan puisinya ini dalam usia seratus tiga puluh lima tahun”.

Puisi-Puisinya

Kebanyakan para perawi dan kritikus puisi terkagum-kagum dengan spontanitas al-Harits bin Hillizah dalam menciptakan puisi yang demikian panjangnya, dengan tepatnya susunan, banyaknya kata-kata unik (asing), teknik dan temanya variatif serta mengandung banyak informasi tentang peperangan bangsa Arab dan peristiwa-peristiwa pentingnya.

Di antara kata-katanya yang di dalamnya mengandung sesuatu yang demikian ringkas padat adalah kata-katanya yang melukiskan kepandaiannya dalam menciptakan puisi dengan spontan, kebenaran, dan kejelasannya dalam menggambarkan kenyataan:

أجمعوا أمرهم عشاء فلـما  ¤  أصبحوا أصبحت لهم ضوضاء

من مناد ومن مجيب ومن تصـ  ¤  ـهال خيل, خلال ذاك رغـاة

“Mereka menyepakati urusan mereka waktu Isya, tapi manakala pagi hari tiba mereka ribut, hiruk pikuk”

“Ada yang memanggil-manggil, ada yang menjawab bergalau dengan suara-suara ringkikan kuda diselingi dengan suara-suara unta”

Di antara perkataannya:

 

لايقيم العزيز بالبلد السهـ  ¤  ـل ولا ينفع الذليل النجـاء

ليس ينجى موائلا من خذار  ¤  رأس طود وحــرة رجـلاء

“Orang mulia tidak akan tinggal di negeri yang datar, orang lemah dan hina tidak berguna, bagi orang cerdas akan berjalan cepat”

“Tidak akan selamat orang yang melarikan diri menjauhi puncak gunung dan jalan berbatuan hitam walau dengan telapak kaki kuda yang tebal”

Di antara perkataannnya di luar mu’allaqat-nya adalah:

 

من حاكم بينـى وبيـ  ¤  ـن الدهر مـال علـىّ عـمدا

أودى بسـادتن اوقـد  ¤  تركوا لنا حلق اوجــردا

خيلى وفارسـها ورب  ¤ م أبيك كـان أعز فقدا

فلو أن مـا يأوى إلــىّ  ¤  م أصـاب من ثهـلان هدّا

فضـعى قـناعك إن ريـ  ¤  ـب الدهر قد أفنــى معدّا

فلكم رأيت معـاشــرا  ¤ قد جمّعوا مــالا وولـدا

وهم ربــاب حــائر  ¤  لا يسمع الآذان رعــدا

فعشن بجـد لا يضـر  ¤  ك النوك مــا لا قيـت جدا

والعـيش خير فى ظــلا  ¤  ل النوك ممـن عاش كــدّا

“Barang siapa menghakimi  di antara aku dengan sang masa, maka ia akan memihakku secara sengaja”

“Tebusan telah tampak pada para pemimpinkami, dan mereka telah meninggalkan pada kami senjata dan kuda”

“Kudaku dan penunggangnya dan ayahmu lebih banyak bersedih karena kehilangan”

“Andaikan ada yang berlindung kepadaku, niscaya tak akan tertimpa gunung Tsahlan yang runtuh”

“Maka tanggalkanlah kerudung penutup kepalamu, sesungguhnya bencana sang waktu telah melenyapkan kaum Ma’ad”

“Pada kalian aku melihat sekelompok orang, mereka telah mengumpulkan harta dan anak-anak”

“Mereka adalah gumpalan awan yang diam terpekur, yang tidak lagi mendengarkan gelegar halilintar”

“Hiduplah kamu dengan terus bekerja keras, kebodohan itu tidak akan membahayakan sepanjang kau mau terus bekerja keras”

“Lebih baik hidup di bawah naungan kebodohan, daripada hidup di bawah himpitan kesengsaraan”

Di antara perkataannya yang lain adalah:

إن السعيد له فى غيره عظة  ¤  وفى التجارب تحكيم ومعتبر

 

“Sesungguhnya orang yang bahagia, adalah orang yang memiliki pengajaran bagi orang lain, dan di dalam berbagai pengalaman hidup terdapat kemampuan mengadili dan memberi pelajaran

  1. 4.      AL-A’SYA BIN AL-QAISI

 

 Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama lengkap dari penyair ini adalah Maimun al-A’sya bin al-Qaisi bin Jundul al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah Bakar bin Wail yang menurut riwayat kabilah ini merupakan bagian dan kelompok di Jazirah Timur yaitu lembah sungai Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan (bani) yang lebih dan banyak dikenal dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani Yasykur, bani Jusyam, bani I’jul yang berada di lembah sungai Eufrat, bani Hanifah, dan bani Qais bin Tsa’labah yang berada dikawasan Yamamah. Dari bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih utama, yang secara turun-temurun berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah satunya adalah bani Malik bin Dubai’ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan bani Sa’ad bin Dubai’ah, dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal usul (satu keturunan) dari penyair al-A’sya bin al-Qais.

Nama al-A’sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai julukan “Orang yang mati kelaparan”, karena pada suatu ketika ayahnya  memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija’ (sindiran) untuk ayahnya yaitu:

“Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari Khuma’ah”.

Khuma’ah adalah tempat kelahiran ibu dari al-A’sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi al-A’sya.

Para ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.

Puisi-puisi al-A’sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam diwan-nya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya yaitu Nu’man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di antara ketiganya.

al-A’sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.

Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia berpendapat dengan kesukaan al-A’sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi madah-nya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A’sya. Hal ini dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang puisi al-A’sya dapat dilihat dalam kitab Sy’ir was Syuara’ karya Ibnu al-Qutaibah, kitab al-Jamhara, dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.

 

Puisi-Puisinya

Kumpulan puisi al-A’sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa’labah pada tahun 291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa’labah. Selanjutnya Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A’sya yang diambil dari salinan di kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun diwan-nya.

Puisi-puisi al-A’sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.

Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, al-A’sya hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain sutera yang bermotif lukisan.

Dalam puisi madah-nya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di medan peperangan. Puisi madah-nya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, al-A’sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan enjadi terkenal.

Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A’sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A’sya ke rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini[1]:

ارقت وما هذا السّهاد والمؤرّق  ¤  وما بى من سقم وما بى تعشّق

لعمرى قد لاحت عيون كثيرة  ¤  الى ضوء نار فى اليفاع تحرق

تشبّ لمقرورين يصطليانها  ¤  وبات على النار الندى والمحلّق

رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما  ¤  باسحم داج : عوض لا نتفرّق

ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه  ¤  كما زان متن الهند وإنى رونق

يداه يدا صدق : فكفّ مبيدة  ¤  وكفّ إذا ما ضنّ بالمال ينفق

“Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”

“Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”

“Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”

“Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”

“Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”

“Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma”

Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika al-A’sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.

Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy: “Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad”. Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini[2]:

فآليت لا ارثى لها من كلالة  ¤  ولا من حفى حتّى تلاقى محمدا

متى ما تناخى عند باب ابن هاشم  ¤  تراخى وتلقى من فواضله ندى

نبىّ يرى ما لا يرون وذكره  ¤  اغار (لعمرى) فى البلاد وانجدا

له صدقات ما تغب ونائل  ¤  وليس عطاء اليوم يمنعه غدا

 “Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”

“Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”

“Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”

“Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok” 

THARAFAH BIN ABDUL BAKRI AL-WA’ILLI

 

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Amru bin al-`Abd al-Bakri adalah salah seorang tokoh terkemuka pada zaman Jahiliyyah, dan berumur pendek. Ia juga seorang penyair yang memiliki puisi-puisi panjang dan indah, dan yang paling bagus dalam melukiskan unta dalam puisinya. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, kemudian ia diasuh oleh para pamannya. Ia cenderung melakukan hal-hal yang buruk, hidup berfoya-foya, dan suka mengambil hak milik orang lain, sehingga keluarga dan kaumnya mencercanya, bahkan Amru bin Hindun salah seorang raja Arab yang memimpin kerajaan Hirah pun ikut mencercanya, meskipun ia mencari kebajikan dan pemberian raja tersebut.

Sampailah berita kepada Amru bin Hindun tentang cercaan Tharafah kepadanya, maka Amru bin Hindun pun membencinya. Ketika Tharafah datang kepadanya bersama pamannya, al-Multamis, untuk meminta hadiah, sementara Amru bin Hindun telah mendapat kabar tentang al-Multamis seperti kabar tentang Tharafah.

Akan tetapi, agar kebencian Amru bin Hindun tetap memperlihatkan sikap ceria dan kesukaan mereka keduanya. untuk menenangkan mereka berdua dan memerintahkan kepada masing-masing mereka diberi hadiah. Sang raja menulis surat untuk masing-masing mereka yang ditujukan kepada Gubenur Bahrain untuk melaksanakan isi surat itu. Ketika keduanya dalam perjalanan menuju Bahrain, al-Multamis merasa curiga dengan surat itu, lalu ia menghentikan perjalanannya dan meminta salah seorang budak untuk membacakan isi surat itu. Namun, Tharafah tidak mau berhenti, ia terus melanjutkan perjalanannya. Setelah dibuka ternyata isi surat itu adalah perintah kepada Gubenur Bahrain untuk membunuh mereka berdua. Al-Multamis melemparkan surat itu dan bermaksud menyusul Tharafah, tetapi tidak dapat tersusul, lalu ia melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja Ghassan. Sementara itu, Tharafah terus melanjutkan perjalanannya untuk menjumpai Gubenur Bahrain. Di sanalah ia terbunuh dalam usia sekitar dua puluh lima tahun.

Puisi-Puisinya

Tharafah menciptakan puisi sejak ia masih kanak-kanak dan dia muncul dalam bidang itu sehingga dalam usia belum mencapai dua puluh tahun ia sudah terhitung sebagai tokoh penyair terkemuka. Puisi panjangnya yang melukiskan unta uang terdiri dari 35 bait, merupakan puisi yang belum pernah ada seorang penyair pun yang menciptakan puisi seperti itu sebelumnya. Mu’allaqat-nya termasuk mu’allaqat yang paling indah, paling banyak memuat kata-kata unik, sarat dengan makna, dan tepat dalam penempatan kata (diksi). Diriwayatkan pula selain mu’allaqat, puisinya ada berbentuk lain, tetapi sangat sedikit bila dibandingkan dengan populeritasnya. Kiranya hal ini menunjukkan kepada kenyataan bahwa perawi itu tidak mengetahui lebih banyak mengenai puisinya atau dengan kata lain mereka (para perawi) kehilangan jejak dari kebanyakan puisi Tharafah.

Tharafah bagus sekali ketika memaparkan washf dalam puisinya, dengan singkat dan menjelaskan hakekat dengan tujuan yang melampaui batas, terikat dalam sebagian susunan kata dan lepas bebas dalam penjelasan kata dan makna yang tersembunyi. Demikian pula puisi hija’-nya (cercaan) nadanya keras sekali. Bait puisi mu’allaqat-nya adalah:

لخولة أطلال ببرقة ثهمد  ¤  تلوح كباقى الوشم فى ظاهر اليد

 “Untuk mengenang Khaulah ada reruntuhan di tanah berbatuan Tsahmada yang menyembul bagai kulit mengeras di permukaan telapak tangan”

Di antara bait-bait puisinya yang paling indah adalah:

أرى الموت يعتام الكرام ويصطفى  ¤  عقيلة مال الفاحش المتشدد

ألاى العيش كنـزا ناقصا كل ليلة  ¤  وما تنقص الأيام والدهر ينفد

لعمرك إن الموت (ما أخطأ الفتى)  ¤  لكالطول المرخى وثنياه باليد

متى ما يشأ يوما يقده لحتفه  ¤  ومن يك فى حبل المنية ينقد

“Aku melihat sang maut memilih orang mulia sejati, juga memilih orang mulia karena harta yang dia dapatkan melalui perbuatan jahat dan kejam”

“Aku lihat kehidupan adalah harta simpanan yang terus berkurang setiap malam”

“Demi Tuhan pemberi usiamu, sungguh sang maut itu (tidak akan menerkam pemuda) sungguh, dia bagaikan tali pengikat binatang yang salah satu ujungnya di genggaman tangan”

“Di suatu hari, kapan saja dia mau, dia akan menyeretmu, barang siapa dalam ikatan kematian, dia pasti akan mati”

Di antara bait-bait puisinya yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat adalah:

وظلم ذوى القربى أشد مضاضة  ¤  على المرء من وقع الحسام المهند

أرى الموت أعداد النفوس ولا أرى  ¤  بعيدا غدا ما أقرب اليوم من غد

ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  ¤  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

“Orang yang mendzalimi kerabat dekat lebih jahat daripada tusukan panah beracun”

“Kulihat sang maut merenggut jiwa-jiwa dan esok hari tidak kulihat sebagai saat yang jauh, betapa dekatnya hari ini dari hari esok”

“Hari-hari akan memperlihatkan kepadamu apa yang dulu kau tidak ketahuim, akan datang kepadamu dengan membawa berbagai berita

قد يبعث الأمر الصغير كبيره  ¤  حتى تظل له الدماء تصبب

 “Kadang kala persoalan kecil tumbuh menjadi besar, hingga karenanya darah pun terus mengucur”

Di antara puisi-puisi fakhr-nya adalah:

نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤  لا ترى الآدب فينا ينتقر

حين قال الناس فى مجلسهم  ¤  أقتار ذاك أم ريح قطر

بجفان تعترى نادينا  ¤  من سديف حين هاج الصنبر

كالجوانى لاتنى مترعة  ¤  لقرى الأضياف أو للمتحضر

ثم لا لا يخزن فينا لحمها  ¤  إنما يخزن لحم المدخر

ولقد تعلم بكر أننا  ¤  آفة الجزر مساميح يسر

ولقد تعلم بكر أننا  ¤  فاضلو الرأى وفى الروع وقر

يكشفون الضر عن ذى ضرهم  ¤  ويبرون على الآبى المبر

فضل أحلامهم عن جارهم  ¤  رحب الأذرع بالخير أمر

ذلق فى غارة مسفوحة  ¤  ولدى البأس حماة ما نفر

نمسك الخيل على مكروهها  ¤  حين لا يمسكها إلا الصير

“Di musim paceklik, kami mengundang semua orang ke perjamuan, dan kamu tidak akan melihat para pejamu dari kami memilih-milih orang yang diundang”

“Di kala orang-orang berkata di tempat duduk mereka, apakah ini aroma daging bakar atau harum kayu cendana?”

“Kami tahu dan anggota perkumpulan kami pada datang mengerumuni perapian berminyak lemak kala dingin kian menusuk”

“Bagaikan telaga besar yang airnya terus mengalir untuk memuliakan para tamu atau untuk orang-orang yang hadir bersama kami”

“Lalu daging-daging itu tidaklah kami simpan yang disimpan hanyalah daging yang dikeringkan”

“Kabilah Bakr sungguh telah tahu bahwa kami mudah menyembelih kambing dan mudah berderma”

“Kabilah Bakr sungguh telah bahwa kami mengutamakan akal, sehingga dalam menghadapi bencana tidak terguncang”

“Kami dapat menyingkap bencana dari mereka yang dihimpit oleh kesulitan dan kami mampu mengalahkan orang-orang yang sebelumnya tidak terkalahkan”

“Mimpi-mimpi mereka lebih unggul daripada tetangga mereka tangannya luas dengan berbagai kebajikan”

“Bersegera menghunus pedang maju ke medan perang untuk menumpahkan darah, menghadapi keganasan medan perang tetap tegar tidak melakukan desersi”

“Memegang teguh kendali kuda, walaupun kuda itu menjadi semakin liar, yang mampu mengendalikannya saat itu hanyalah orang-orang yang tangguh”

‘AMR BIN KULTSUM

 

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad ‘Amr bin Kultsum bin Malik at-Taghlibi dari kabilah Taghlib. Lahir dari kalangan keluarga bangsawan dan juga sangat ahli dalam menunggang kuda. Penyair ini merupakan seorang tokoh Arab dan penyair yang terkenal dengan puisinya yang tersendiri dan yang bagus sekali dalam puisi fakhr-nya. Ibunya bernama Laila binti Muhalhil, saudara Kulaib.

Di dalam lingkungan kabilah Taghlib di Jazirah Euphrat, Amru tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang pemberani dan penuh semangat serta sebagai orator yang memiliki sifat-sifat mulia. Dia telah menjadi pemimpin kaumnya dalam usia lima belas tahun, dan memimpin pasukan perangnya yang selalu mendapatkan kemenangan dalam berbagai peperangan mereka.

Kebanyakan kekacauan dan peperangan yang dihadapi kabilah Taghlib adalah peperangan dalam menghadapi saudaranya sendiri, yaitu kabilah Bakr bin Wail yang menyebabkan terjadinya peperangan sengit yang terkenal dengan al-Basus. Perdamaian terakhir mereka adalah di tangan Amru bin Kultsum. Raja Hirah terakhir dari keluarga al-Mundzir. Tidak selang beberapa lama setelah perjanjian perdamaian terwujud, terjadilah perhelatan dan pesta besar di tempat Amru bin Kultsum, yang dalam acara itu para penyair kabilah Bakr, yaitu Al-Harist bin Hiliziah mendendangkan puisi terkenalnya.

Begitu selesai acara tersebut, tampaklah bagi Amru bin Kultsum bahwa Ibnu Hindun mengincar kerajaan bersama kabilah Bakr. Amru bin Kultsum pun pulang dengan hati penuh kecurigaan. Kemudian terbetiklah dalam hati Ibnu Hindun untuk memecah belah kekuatan kabilah Taghlib dengan menghinakan pemimpinnya, yaitu Amru bin Kultsum. Kemudian Ibnu Hindun mengundang Amru bin Kultsum dan ibunya, Laila binti Muhalhil, dan mengelabui ibunya untuk membantunya dalam menyelesaikan salah satu urusannya. Laila berteriak: “Oh, alangkah hinanya!”. Teriakan ibunya itu membuat Amru bin Kultsum marah dan seketika itu juga ia membunuh Ibnu Hindun di Majelis pertemuannya. Selanjutnya Amru bin Kultsum segera pergi, kembali ke negerinya di al-Jazirah, dan menyusun mu’allaqat-nya, yang bait awalnya berbunyi:

ألا هبى بصحتك فاصبحينا  ¤  ولا تبقى خمور الأندرينا

“Ingatlah, hidangkan gelas anggurmu, kita minum di pagi hari ini dan tidak menyisakan sedikit pun khamr (arak) buatan Andarina”

Dalam mu’allaqat-nya ia melukiskan peristiwa mengenai dirinya dengan Ibnu Hindun, ia membanggakan pertempuran-pertempuran kaumnya dan peperangan-peperangan mereka yang terkenal. Ia juga berorasi di pasar Ukadz dan pasar-pasar lainnya. Anak keturunan Taghlib banyak yang menghafal puisinya dan banyak orang yang meriwayatkannya. Amru bin Kultsum meninggal dunia sekitar setengah abad sebelum lahirnya Islam.

Puisi-Puisinya

Amru bin Kultsum termasuk orang besar, bangsawan, dan pahlawan bangsa Arab Jahiliyyah yang lebih disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan terjun di medan peperangan daripada berkonsentrasi untuk berpuisi dan membuka pintu-pintunya seperti kebiasaan para penyair yang menjadikan puisi-puisi mereka sebagai profesi dan bisnis dalam mencari kekayaan. Oleh karena itu, Amru bin Kultsum tidak terkenal kecuali dengan satu mu’allaqat-nya, yang menduduki posisi sebagai puisi yang memenuhi persyaratan, karena kata-katanya indah, komposisi ungkapannya begitu rapi, maknanya jelas, stil bahasanya mempesona, dan kebanggannya tinggi dan tujunnya agung. Andaikan di dalam puisinya ia tidak membanggakan dan tidak menyebut-nyebut warisan peninggalan kaumnya, puisinya tidak akan diingat orang.

Di riwayatkan juga puisi-puisi muqaththa’at (puisi-puisi pendek)-nya yang tujuannya tidak jauh berbeda dengan tujuan-tujuan mu’allaqat-nya. Kiranya populeritasnya dengan orasi tidaklah kurang dari populeritasnya dengan puisi. Di antara puisi fakhr-nya yang tinggi dalam mu’allaqat-nya adalah:

 

وقد علم القبائل من معد  ¤  إذا قبب بأبطحها بنينا

بأن المطعمون إذا قدرنا  ¤  وأنا المهلكون إذا ابتلينا

وأنا المانعون لما أردنا  ¤  وأنا النازلون بحيث شينا

وأنا التاركون إذا سخطنا  ¤  وأنا الآخذون إذا رضينا

ونشرب إن وردنا الماء صفوا  ¤  ويشرب غيرنا كدرا وطينا

إذا ما الملك سام الناس خسفا  ¤  أبينا أن نقر الذل فينا

لنا الدنيا ومن أمسى عليها  ¤  ونبطش حين نبطش قادرينا

بغاة ظالمين وما ظلمنا  ¤  ولكنا سنبدأ ظالمينا

ملأنا البرّ حتى ضاق عنا  ¤  ونحن البحر نملؤه سفينا

إذا بلغ الرضيع لنا فطاما  ¤  تخر له الجبابر ساجدينا

 “Kabilah-kabilah telah mengetahui siapa yang berbahagia, jika berkemah di dataran luas kami pun membangun perkemahan”

“Bahwa kami adalah orang-orang yang bisa makan, bila kami mampu mendapatkan makanan”

“Dan kami adalah orang-orang yang porak-poranda, bila kami tak henti dihantam bencana”

“Kami adalah orang-orang yang mampu menahan diri, tidak sembarangan menggapai apa yang kami kehendaki, dan kami adalah orang-orang yang tinggal dimana kami suka,

“Dan kami adalah orang-orang yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak suka, dan kami adalah orang-orang yang mengambil bila kami memang suka”

“Kami minum bila menemukan sumber air yang jernih, sedangkan selain kami mau minum dari air yang keruh bercampur tanah”

“Jika seorang raja mengungguli manusia dengan perbuatan rendah, maka kami akan menolak dan tidak membiarkan diri kami berbuat rendah”

“Kami memiliki dunia dengan semua orang yang berada di atasnya, kami berkuasa ketika kami mampu menguasai”

“Orang-orang dzalim berbuat kejam dan kami tidak mau mendzalimi, tetapi kami akan mulai melawan orang-orang yang mendzalimi kami”

“Kami telah memenuhi daratan sehingga kami merasa sesak terjepit, dan kami memenuhi lautan dengan perahu-perahu kami”

“Bila bayi di kalangan kami mencapi usia dipisah dari menyusuinya, orang-orang perkasa pilihan pada tersungkur bersujud padanya”

Amru bin Kultsum berkata mengancam Amru bin Hujr al-Ghassani:

ألا فاعلم (أبيت اللعن) أنا  ¤  على عمد سنأتى ما نريد

تعلم أن محملنا ثقيل  ¤  وأن ذياد كبتنا شديد

وأنا ليس حتى من معد  ¤  يوازننا إذا لبس الحديد

 “Ingatlah dan ketahuilah (kau tak akan mau melakukan sesuatu perbuatan yang membuat kau dikutuk orang) dan sesungguhnya kami, kapan pun kami mau akan sengaja datang”

“Kau tahu bahwa pelana kami sangatlah berat, dan serangan pasukan kami sangatlah kuat”

“Dan bahwasanya kami tidak hidup dari persiapan yang kami pertimbangkan bila baju besi dikenakan”

Amr bin Kultsum berkata dalam puisinya di bawah ini[1]:

بأيّ مشيئة عمرو بن هند  ¤  نكون لقيل لقيلكم فيها قطينا

بأيّ مشيئة عمرو بن هند  ¤  تطيع بنا الوشاة وتزدرينا

 

 “Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau menjadi pelayan para pembantumu”

“Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau taat kepada orang-orang hina, dan engkau sendiri telah mengetahui siapa kami”

Puisi di atas diucapkan oleh Amr bin Kultsum kepada Amr bin Hindin, seorang raja yang zalim dan sombong. Ia menghina ibu amr bin Kultsum dengan menjadikan ibunya sebagai pelayan ibu Amr bin Hindin, sehingga Amr bin Kultsum marah dan membunuhnya dengan sebilah pedang. Dalam puisinya di bawah ini[2]:

إذا بلغ الفطام لنا صبيّ  ¤  تخرّ له الجبابر ساجدينا

 “Apabila anak kita sudah sampai waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka orang-orang besar dan sombong akan tunduk sujud kepadanya”

ANTARAH BIN SYADDAD AL-ABSI

 

 

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Penyair ini dilahirkan dari ayah seorang bangsawan Absi dan ibu dari kalangan budak Habsyi. Ia mewarisi kulit hitam dari ibunya, sehingga orang mengira ia bukan berdarah Arab, bibirnya terbelah (memble) seperti ibunya, sehingga orang sering memanggilnya dengan julukan Antarah al-Falha’u yaitu “Antarah si bibir memble”. Dalam adat-istiadat Jahiliyyah, anak yang terlahir dari ibu seorang budak, tidak akan mendapatkan pengakuan dari sang ayah, kecuali dia dapat memiliki sifat mulia berupa kedermawanan dan keberanian. Oleh karena itu, ayah penyair ini tidak mau mengakuinya sebagai anak kandung, bahkan menganggapnya sebagai seorang budak yang dapat disuruh untuk mengembala ternak. Perlakuan ayahnya itu, telah membuat hati penyair ini sangat tertekan. Bahkan pamannya sendiri telah ikut menghalangi puteri yang bernama Ablah untuk bercinta dengannya, sebab pamannya menganggap bahwa tidaklah pantas mengawinkan puterinya dengan seorang anak budak.

Tekanan-tekanan psikologis itu telah membuatnya keras terhadap semua orang, bahkan terhadap ayahnya sendiri. Kebenciaannya terhadap sang ayah, terlihat ketika ayahnya memerintahkannya untuk berperang melawan musuh yang datang menyerbu, mendengar ajakan ayahnya itu, ia berkata[1]:

“Sesungguhnya seorang budak tidaklah layak untuk berperang, tetapi hanya layak untuk menjaga ternah dan memerah susu saja”.

 

Ucapan Antarah tersebut dirasakan oleh ayahnya sebagai penderitaan batin seorang anak, maka setelah mendengar ucapannya itu, akhirnya sang ayah mengakuinya sebagai anak, dengan berkata: “Berperanglah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah seorang yang merdeka (bukan lagi seorang budak)”. Dan sejak saat itu nama nasab orang tuanya selalu diikutkan dengan nama asli penyair ini. Dan sejak itu pula nama penyair ini selalu disebut orang dalam segala macam pertempuran.

Keberanian Antarah mengilhami keberanian orang Arab dalam berperang di dalam maupun di luar jazirah Arab, seperti ketika melawan Romawi, Ethopia, Iran, Perancis, Afrika Utara, dan Andalus melawan tentara Salib. Bahkan dengan namanya yang agak terdengar angker, penyair ini lebih dikenal sebagai seorang pahlawan yang amat ditakuti oleh lawan-lawannya. Sehingga pribadi penyair ini, kelak pada masa Daulat Fatimiyyah, sering diagungkan dengan penulisan kisah kepahlawanan yang dinisbatkan kepada pribadi penyair ini.

Puisi-Puisinya

Pada mulanya penyair ini tidak terkenal sebagai penayir ulung, tetapi untungnya sejak muda penyair ini telah menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah yang mendorong untuk meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya dikumpulkan dalam mu’allaqadnya yang sangat panjang.

Adapun penyebab yang mendorongnya untuk mencipatakan mu’allaqadnya adalah bahwa pada suatu hari penyair ini diejek orang di majelis ayahnya setelah diakuinya sebagai anak oleh ayahnya, di mana ia diejek dari keturunan ibunya yang merupakan seorang budak, sehingga membuatnya marah dan berkata:

“إنى لاحضر البأس واوفى المغنم واعفّ عند المسئلة واجود بما ملكت يدى وأفصّل الخطة والصّماء, قال له الرجل : “أنا أشعر منك” قال: “ستعلم ذلك” 

“Aku adalah seorang yang gemar menghadiri pertempuran, aku adalah orang yang paling adil, dan aku tidak pernah meminta dan aku selalu dermawan dengan yang kumiliki dan aku adalah pembuka jalan buntu. Orang yang menejeknya berkata: “Aku lebih fasih dalam berpuisi daripada kamu”. Lalu Antarah berkata: “Akan kamu lihat kelak kefasihanku!”

Sejak saat itu, Antarah mulai merangkum kasidah mu’allaqadnya yang mengisahkan percintaan dengan kekasihnya yang bernama Ablah. Selain itu, ia juga mengisahkan tentang keberanian dan keagungan dirinya dalam medan pertempuran.

Para ahli sastra Arab menggolongkan puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi dalam menggambarkan dan mensifati segala kejadian yang dialaminya. Dalam salah sati bait puisinya, penyair ini menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah seorang yang baik bila ia tidak diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi, jika ia diganggu, maka ia akan membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan yang dapat dijadikan pelajaran selama hidup orang yang menggangunya. Seperti contoh di bawah ini[2]:

 

اثنى عليّ بما علمت فإننى  ¤  سمح مخالفتى اذا لم اظلم

واذا أظلمت فإنى ظلمى باسل  ¤  مرّ مذاقته كطعم العلقم

“Pujilah aku (wahai kekasihku) dari apa yang kamu ketahui dari kelakuan baikku. Sesungguhnya aku adalah seorang yang lemah lembut bila tidak dizalimi oleh siapa pun”

“Namun, jika aku dizalimi oleh seseorang, maka aku akan membalasnya dengan balasan yang lebih keras dari kezalimannya”

Selain itu penyair ini mempunyai sifat dermawan kepada siapa pun, karena sifat inilah yang paling disukai oleh bangsa Arab dan selalu dibanggakan. Dalam hal ini penyair ini menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat dermawan dan suka menolong orang lain walaupun itu dalam keadaan yang tidak sadar, seperti dalam keadaan mabuk, yang mana biasanya dalam keadaan seperti itu tidak mungkin seorang akan berlaku baik ataupun berderma. Namun, penyair ini masih tetap bisa melakukan kebaikan dan berderma walaupun dalam keadaan mabuk, hal itu dapat dilihat dari bait puisinya di bawah ini[3]:

فإذا شربت فإننى مستهلك  ¤  مالى وعرضى وافر لم يكلم

وإذا صحوت فما أقصّر عن ندى  ¤  وكما علمت شمائلى وتكرّمى

“Jika aku sedang minum arak, maka aku akan menghabiskan seluruh hartaku untuk menjamu kawan-kawanku, dan hal itu tidak akan merusak kehormatanku”

“Dan jika aku telah sadar dari mabukku, maka aku akan menghamburkan hartaku untuk berderma, sebagaimana telah kamu ketahui akan budi perkerti baikku ini (berbanggalah wahai kekasihku dengan segala budi pekertiku seperti ini)”

 

Antarah selain terkenal sebagai penyair ulung, juga terkenal sebagai seorang pahlawan yang gagah berani di medan peperangan. Gambaran akan kegagahannya dalam berperang dapat dilihat dalam bait puisi di bawah ini[4]:

 

هلاّ سألت الخيل ياابنة ملك  ¤  إن كنت جاهلة بما لم تعلمى

إذ لا أزال على رحالة سابح  ¤  نهد تعاوره الكماة مكلّم

طورا يجرّد للطّعان وتارة  ¤  يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم

يخبرك من شهد الوقيعة أنّنى  ¤  اغشى الوغى واعفّ عند المغنم

ومدجّج كره الكماة نزاله  ¤  لا ممعن هربا ولا مستسلم

جادت له كفّى بعاجل طعنة  ¤  بمثقّف صدق الكعوب مقوّم

فشككت بالرّمح الأصمّ ثيابه  ¤  ليس الكريم على القنا بمحرّم

فتركته جزر السّباع ينشنه  ¤  يقضمن حسن بنائه والمعصم

“Wahai puteri Malik, tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku di medan peperangan, jika engkau  tidak tahu?”

“Tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku sedang berada di atas kuda yang dilukai oleh musuh?”

“Ada kalanya aku bawa kuda itu untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku membawa kudaku untuk bergabung dengan pasukan yang banyak”

“Jika kamu bertanya tentang diriku pada orang yang hadir dalam peperangan itu, maka mereka akan memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu maju (berada di depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak dalam pembagian rampasan perang”

“Adakalanya ada ksatria yang berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan tidak mau menyerah”

“Namun tanganku buru-buru menerkamnya dengan tusukan tombak yang kuat”

“Dan ketika ksatria itu aku tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat menembus baju jirahnya. Dan orang bangsawan pun tidak mustahil untuk terbunuh”

“Setelah ksatria itu terbunuh, maka aku tinggalkan begitu saja agar menjadi santapan binatang buas yang akan menghancurkan jari tangan dan lengannya yang bagus itu”

 

Sebenarnya kita masih dapat mengikuti puisinya yang menerangkan keagungan pribadi penyair ini, untuk itu dapat kita lihat dalam kasidah al-Mu’allaqat-nya yang panjang.

 

ZUHAIR BIN ABI SULMA

 

Nasab Keluarga Dan Kabilah

Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi’ah bin Rayyah al-Muzani. Ayahnya bernama Rabi’ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah Ghatafaniyyah yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah. Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin Zubyan. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.

Rabi’ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin Hujr, seorang penyair terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.

Dibesarkan Dalam Lingkungan Penyair  

Zuhair dibesarkan dalam keluarga penyair dan sejak kecil ia belajar puisi dari pamannya sendiri yang bernama Basyamah bin al-Ghadir dan Aus bin Hujur. Basyamah termasuk tokoh Arab Jahiliyyah yang terhormat, kaya-raya, dan sangat dihormati oleh kaumnya. Di samping sebagai penyair, Basyamah juga seorang yang cerdas dan memiliki pendirian yang lurus, dia menjadi tempat bertanya kaumnya dalam menghadapi berbagai persoalan. Ketika ia meninggal dunia, seluruh hartanya diwariskan kepada keluarganya termasuk kepada Zuhair. Disamping mendapatkan harta warisan, Zuhair juga mendapatkan warisan kemampuan berpuisi dan kemuliaan akhlak yang diajarkan Basyamah.

Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga penyair. Rabi’ah ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah pamannya, mereka ada para penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa`, mereka berdua juga penyair. Oleh karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak kecil. Selain terkenal akan bakat puisi yang dimilikinya sejak kecil, ia juga disenangi oleh seluruh kaumnya akan budi pekertinya yang luhur, sehingga setiap pendapat yang dikeluarkannya selalu diterima baik oleh kaumnya.

Zuhair menikah dengan dua orang wanita, pertama dengan Ummu Aufa, yang banyak disebut-sebut dalam puisinya, termasuk dalam mu’allaqat-nya. Kehidupan rumah tangganya bersama Ummu Aufa kurang bahagia, dan itu terjadi setelah Ummu Aufa melahirkan anak-anaknya yang kesemuanya meninggal dunia, lalu ia pun menceraikannya. Setelah itu ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr al-Ghatafaniyyah, dan dari isteri keduanya ini lahirlah putera-puteranya, yaitu Ka’ab, Bujair, dan Salim. Salim meninggal dunia ketika Zuhair masih hidup, sehingga banyak dari puisinya yang menggambarkan ratapannya terhadap kematian anaknya itu. Sedangkan Ka’ab dan Bujair, keduanya hidup sampai datangnya masa Islam, dan mereka berdua masuk Islam dan juga menjadi penyair yang terkenal.

Hidup Dalam Situasi Peperangan

Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40 tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan Dahis dan Gabra’. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. adapun yang sanggup menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi muallaqat-nya, seperti di bawah ini[1]:

فاقسمت بالبيت الذى طاف حوله  ¤ رجال بنوه من قريش وجرهم

يمينا لنعم السيّـــدان وجـدتما  ¤  على كل حال من سحيل ومبرم

تداركتما عبسا وذبيان بعدمــا  ¤  تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم

وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا  ¤  بمال ومعروف من القول نسلم

فاصبحتما منها على خير موطن  ¤  بعيدين فيها من عقوق ومأثـم

عظيمين فى عليا معدّ هديتمـا  ¤ ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم

“Aku bersumpah dengan Ka’bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum”.

Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang lemah, maupun bagi orang yang perkasa”.

“Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang diantara mereka”.

“Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: “Jika mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun juga bersedia untuk berdamai”.

“Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan kemusnahan”.

“Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia”

Kemunculan Zuhair Sebagai Penyair

Kemunculan Zuhair sebagai penyair tidak lepas dari pengaruh guru-guru utamanya, yaitu Rabi’ah ayahnya, Aus ibn Hujr ayah tirinya, dan Bisyamah pamannya. Dari ketiga penyair itulah Zuhair  didikkan dalam menciptakan puisi. Dia juga meriwayatkan puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga penyair, Zuhair pun kemudian mendedikasikan hidupnya untuk puisi. Dia menciptakan puisi dan mengajarkan penciptaan puisi kepada orang lain, terutama kepada kedua putranya Ka’ab dan Bujair. Di antara penyair yang kemudian muncul dari hasil didikkannya, selain kedua putranya adalah al-Khutaiyyah (Syauqi Dlaif, 1960:303).

Kalangan para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat dalam menciptakan puisi. Hal itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia menempuh langkah-langkah: penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian (penyuntingan), sebelum kemudia puisi tersebut dipublikasikan (dibacakan dihadapan khalayak ramai). Oleh karena itulah kepadanya disandarkan kisah proses penciptaan puisi hauliyaat[2]. Hal itu dapat dilihat pula Ka’ab dan Al-khutaiyyah yang mengikuti alirannya (Taha Husein, 1936: 284).

Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya, banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).

Kepercayaan Hanief

Pada umumnya, masyarakat Arab masa Jahiliyyah adalah penganut kepercayaan berhala. Meskipun demikian, Zuhair bin Abi Sulma termasuk penyair Arab Jahiliyyah yang percaya akan adanya hari Kiamat, adanya Hisab (perhitungan amal perbuatan), dan adanya siksaan serta balasan. Penyair ini memang tidak sempat merasakan masa ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, penyair ini sudah percaya akan datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan. Seperti terlihat pada bait puisinya dibawah ini[3]:

فلا تكتمنّ الله ما فى نفوسكم  ¤  ليخفى ومهما يكتم الله يعلم

يؤخر فيوضع فى كتاب فيدخر  ¤ ليوم الحساب أو يعجل فينقم

“Janganlah sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan dan pelanggaran atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk menyembunyikannya, tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha mengetahui”.

“Ditangguhkan, lalu dicatat dalam buku amal dan disimpan untuk kemudian diungkapkan di hari perhitungan, atau disegerakan pembalasannya dalam kehidupan  dunia ini”.

Jika benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair bin Abi Sulma, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah seoorang penyair masa Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief (lurus), dan kepercayaan keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dia termasuk golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau minuman keras), mabuk, dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif, 1960:303). Zuhair berumur panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul.

Puisi-Puisinya

Kumpulan puisi Zuhair telah diterbitkan bersama kumpulan-kumpulan puisi dari lima penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais, an-Nabighah, Tharafah, Antarah, dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan pada tahun 1889 dalam bentuk serial yang berjudul “Tharafa Arabiyyah”, kemudian dicetak ulang di Mesir dan di kota-kota lain yang diusahakan oleh Musthafa Saqa.

Ada dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama, berasal dari ulama Basrah yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada komentar yang berbunyi: “Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada kita atas dasar riwayat yang ada”. Adapun sumber kedua, berasal dari ulama Kufah yang mengatakan bahwa ada tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan itu adalah ulah tangan orang lain.

Para ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi Sulma termasuk ke dalam katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan puisi Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan bahwa Zuhair memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:

1.      Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna, seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

فما يك من خير أتوه فإنما  ¤  توارثه آباء آبائهم قبل

“Tak ada kebaikan yang mereka persembahkan. Sesungguhnya kebaikan yang mereka miliki hanyalah warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya”

2.      Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya, seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

على مكثريهم رزق من يعتريهم  ¤  وعند المقلين السماحة والبذل

 

“Terhadap mereka yang banyak hartanya ia sediakan pemberian untuk orang-orang yang meminjam dari mereka. Pada orang yang berkurangan, ia sangat bertoleran dan memberi bantuan”

3.      Kata-katanya jauh dari ta’qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari pembicaraan yang tidak perlu dan asing (sulit dicari maknanya), seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

ولو أن حمدا يخلد الناس أخلدوا  ¤  ولكن حمد الناس ليس بمخلد

 

“Jika pujian dapat membuat seseorang menjadi abadi, mereka pun pasti akan abadi. Tetapi, pujian orang-orang tidak akan bisa membuatnya abadi”

4.      Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu, puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah suatu kali, ia mencerca suatu kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah diperbuatnya.

5.      Banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah dalam puisi Arab, yang kelak akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti Shalih bin Abdul Kudus, Abu al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu al-Ala’ al-Ma’ary dari kalangan Arab peranakan (al-Muwalidin). Di antara kata-katanya yang berisikan amtsal dan kata hikmah seperti terdapat di bawah ini:

وأعلم ما فى اليوم والأمس قبله  ¤  ولكنى عن علم ما فى غد عم

ومن يجعل المعروف من دون عرضه  ¤   يفره ومن لا يتق الشتم يشتم

ومن يك ذا فضل فيـبخل بفضله  ¤  على قومه يستغن عنه ويذمم

ومن يوف لايذمم ومن يهد قلبه  ¤  إلى مطمئن البر لا يتجمجم

رأيت المنايا خبط عشواء من تصب  ¤  تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم

ومن هاب اسباب المنايا ينلنه  ¤  وإن يرق اسباب السماء بسلّم

ومن يجعل المعروف فى غير أهله  ¤  يكن حمده ذماّ عليه ويندم

“Aku dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin, tetapi aku tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari”

“Barang siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga dirinya, ia akan terpelihara, dan barang siapa yang tidak melindungi diri dari cercaan, ia akan dicerca”              

 “Barang siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia bakhil (pelit) dengan hartanya itu terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna dan akan dicerca”

“Barang siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan dicerca, barang siapa hatinya mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam berbuat kebaikan, maka ia tidak akan terguncang oleh ketegangan”

“Aku lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih dahulu, barang siapa yang didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang luput dia akan mengalami lanjut usia”.

“Barang siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu juga dengan kematian itu, walaupun ia naik ke langit dengan tangga”

“Barang siapa yang menolong orang yang tidak berhak untuk ditolong, maka ia akan menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan baginya”.

AN-NABIGHAH ADZ-DZIBYANI

Nasab Keluarga Dan Kabilahnya

Penyair ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah. Namun, ia lebih terkenal dengan panggilan an-Nabighah, yang berarti seorang yang pandai berpuisi, karena memang sejak muda ia pandai berpuisi. An-Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab Jahiliyyah dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar Ukadz.

Penyair ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itulah ia kerapkali dihasut oleh lawannya.

An-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan, hanya saja karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi, mengurangi kemuliaannya. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu’man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu’man, sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu’man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.

Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu’man bin Mundzir, An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu’man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya semula di sisi raja Nu’man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi i’tidzariyat (permohonan maaf)-nya di bawah ini:

 

فإنك شمس والملوك كواكب  ¤  إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب

 

“Sesungguhnya engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera kehampaan, tapi tempat berharap maaf darimu sungguh luas membentang”

An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.

Kedudukan Puisinya

Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah pada deretan ketiga sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai penilaian masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz.

Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah an-Nabighah sendiri, karena dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka’bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.

Keistimewaan puisi an-Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi an-Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya an-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.

Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu’man bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu’man diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari. Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini[1]:

فإنك شمس والملوك كواكب  ¤  إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب

“Sesungguhnya kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah bintang-bintangnya, yang mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun akan hilang dari penglihatan”.

Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.

Puisi-Puisinya

An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius (Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling indah adalah yang terdapat di dalam mu’allaqat-nya yang bait-bait pertamanya berbunyi:

 

عوجوا فحيوا لنعم دمنة الدار  ¤  ماذا تحيون لوى وأحجار

أقوى وأقفز من نعم وغيره  ¤ هوج الرياح بهلبى الترب موار

وقفت فيها سراة اليوم أسألها  ¤ عن آل نعم أمونا عبر أسفار

فاستعجمت دار نعم ما تكلمنا  ¤  والدار لو كلمنا ذات أخبار

“Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan”

“Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan badai serta hujan yang datang dan pergi”

“Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana”

“Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia punya banyak cerita”

Di antara kata-katanya yang paling bagus dalam puisi i’tidzar-nya seperti yang terdapat di bawah ini:

أتانى (أبيت اللعن) أنك لمتنى  ¤  وتلك التى أهتم منها وأنصب

فبت كأن العائدات فرشن لى  ¤  هواسا به فراشى ويقشب

حلفت فلم أترك لنفسك ريبة  ¤  وليس وراء الله للمرء مذهب

لئن كنت قد بلغت عنى جناية  ¤  لمبلغك الواشى أغشى وأكذب

ولكننى كنت امرءا لى جانب  ¤ من الأرض فيه مستراد ومهرب

“Telah sampai berita padaku tentang abaital la’ni bahwa engkau mencercaku, itulah yang membuat penting dan aku menjadi sangat lelah” “semalaman, seakan para pembesuk menjengukku, menebar duri-duri tajam di atas tempat tidur dan menusuk-nusukku”

“Aku bersumpah tidak akan meninggalkan keraguan pada dirimu. Setelah Allah, bagi seseorang tidak ada lagi tempat kembali”

“Jika berita mengenai dosa yang aku lakukan telah sampai padamu, yang menyampaikan berita padamu itu, sungguh penjilat yang paling jahat dan paling dusta”

“Tetapi aku adalah orang yang memiliki tempat yang lain di bumi, di mana aku mengais rizqi dan tempat melarikan diri”

Di antara puisi-puisinya yang lain,

 

وأنت كالدهر مبثوثا حبائله  ¤  والدهر لا ملجأ منه ولا هرب

أضحت خلاء وأضحى أهلها احتملوا  ¤  أخنى عليها الذى أخنى على لبد

نبئت أن أبا قابوس أوعدنى  ¤  ولا قرار على زأر من الأسد

فلو كفى اليمين بغتك خونا  ¤  لأفردت اليمين عن الشمال

“Engkau bagaikan sang masa, terbentang luas tali-tali kasihnya. Sang masa, tak ada tempat berlindung dan tempat melarikan diri selainnya”

“Sahara menjadi lengang, penduduknya memikul beban, yang menghancurkan Lubad telah dihancurkannya”

“Aku mendapat berita bahwa Abu Qabus mengancamku, tapi dalam auman singa tak ada yang pasti”

“Jika golongan kanan cukup menimbulkan kebencianmu, karena berkhianat. Sungguh aku sendiri dari golongan kanan yang berasala dari golongan kiri”

UMRU’ AL-QAIS BIN HUJRIN

 

Kabilah Dan Keluarga Umru’ Al-Qais

Penyair ini memiliki nama lengkap Umru’ al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, dan berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman (Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan abad ke-5 Masehi.

Suku Kindah merupakan salah satu kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi dua saingan kerajaan yang cukup kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah. Keduanya saling berusaha untuk menghalang-halangi pengaruh suku Kindah terhadap suku-suku lain, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan terus-menerus dan turun-menurun.

Nasab penyair ini termasuk ke dalam kalangan terhormat, ia anak seorang raja Yaman yang bernama Hujur al-Kindi, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Rabiah saudara Kulaib Taghlibiyyah, yaitu seorang pewira Arab yang amat terkenal dalam peperangan al-Basus dan saudara dari Muhalhil, yang juga seorang penyair.

Hujur al-Kindi adalah ayah Umru’ al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah Bani Asad. Namun, para sastrawan dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat tentang sebab terbunuhnya ayah Umru’ al-Qais. Salah satunya adalah pendapat pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur, tt:248). Ia berpendapat bahwa penyebab kematiannya terdapat empat riwayat, yaitu:

1.      Diriwayatkan dari Hisam ak-Kalabi (w.204 H), menyatakan sebab terbunuhnya Hujur al-Kindi adalah sebagai tindakan balas dendam bani Asad terhadapnya. Karena pemimpin mereka Amr bin Mas’ud al-Asadi dipenjara dan harta kekayaan mereka dirampas serta mereka diusir dari rumah tempat tinggal mereka.

2.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H), berpendapat bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian dirinya sendiri ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa takutnya kepada bani Asad.

3.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat bahwa Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang melawan bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.

4.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin ‘Adi (w. 206 H), pendapat ini sama dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya ketika berperang dengan bani Asad.

Namun, menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling benar adalah riwayat terakhir.

Kehidupan Umru’ Al-Qais 

Di dalam buku-buku atau lteratur sastra Arab telah terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa sebenarnya nama Umru’ al-Qais Terdapat bermacam-macam nama bagi penyair ini, yaitu Hunduj, ‘Adiyan, dan Mulaikah. Nama pendeknya Abu Wahab, Abi Zaid, dan Abu Harits. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dijuluki dengan nama Dzu al-Qurut[2] dan al-Malik ad-Dlalil[3]. Akan tetapi julukan (laqab)nya yang paling terkenal adalah Umru’ al-Qais. Julukan al-Qais diambil dari nama salah satu berhala di masa Jahiliyyah. Mereka mengagungkannya  dan menisbatkan segala sesuatu kepadanya.

Sebagian ahli sastra Arab berpendapat bahwa nasab Umru’ al-Qais  dari ayahnya Semith bin Umru’ al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin Amr bin Zubaid bin Madzhad dari Suku Amr bin Ma’ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa di masa Jahiliyyah terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama Umru’ al-Qais, sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4]. Adapun tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah sastra Arab tidak mengetahui dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.

Dari segi nasab tersebut, sangat berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman ini. Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed, di tengah-tengah Bani Asad, rakyat ayahnya. Ia hidup di dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar berfoya-foya. Kehidupannya sebagai anak seorang raja berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya. Ia memiliki kebiasaan bermain cinta, bermabuk-mabukkan, dan melupakan segala kewajiban sebagai anak raja yang seharusnya pandai mawas diri dan berlatih untuk memimpin masyarakat. Ia kerapkali dimarahi oleh ayahnya karena perangainya yang buruk, bahkan akhirnya dia diusir dari istana.

Selama masa pembuangan, Umru’ al-Qais bergabung dengan para penyamun, preman/brandalan, serta tunawisma Arab yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke sebagian besar daerah jazirah Arab untuk menghabiskan waktunya bersama masyarakat Badui. Orang-orang Badui ini gemar sekali mengikutinya karena disamping mereka butuh akan hartanya, mereka juga membutuhkan spritit lewat puisi-puisinya untuk menghadapi lawan-lawan mereka.

Masa pengembaraan penyair ini berlangsung cukup lama. Dan pengalaman pengembaraannya itu kelak akan membawa pengaruh yang amat kuat pada puisi-puisinya. Selama pengembaraannya itu, ia mendapatkan pengetahuan, pelajaran, dan pengalaman yang baru yang dituangkan dalam karya-karyanya. Dibandingkan dengan penyair lain yang tidak banyak berkelana, puisi Umru’ al-Qais memiliki nilai lebih, baik dari keindahan maupun sistematika bahasa.

Kebiasaan buruk Umru’ al-Qais yang senang berfoya-foya, tidak juga hilang meskipun ia dalam masa pembuangan. Suatu hari, ketika ia sedang berada di salah satu warung minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir menyampaikan berita mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan kabilah Bani Asad, yaitu sebuah kabilah yang sedang memberontak terhadap kekuasaan ayahnya. Mendengar berita kematian orang tuanya itu tidak membuatnya terkejut dan menuntut balas, tetapi berita itu tidak disambut baik olehnya, bahkan dengan malas-malasan ia berkata[5]:

 “ضيعني صغيرا, وحـملني دمه كبيرا, لا صحو اليوم, ولا سكر غدا, اليوم خمر, وغدا أمر”

“Dulu, sewaktu aku kecil, aku dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku dibebani dengan darahnya, biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untuk bermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya”[6].

Namun akhirnya, ia berangkat juga menuju Nejed untuk menuntut balas atas kematian orang tuanya. Dalam menunaikan pembalasannya itu, ia terpaksa meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitarnya. Sehingga pertempuran itu berkecamuk lama, dan akhirnya ia melarikan diri menuju kerajaan Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan, penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara, Turki, dan tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan kurang lebih 82 sebeum Hijriyyah atau 530-540 Masehi.

Karya Sastra Umru’ Al-Qais

Sebagian besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-Mu’allaqat, puisi Umru’ al-Qais merupakan puisi yang palin terkenal dan menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah. Mu’allaqat Umru’ al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, maupun balaghah.

Keistimewaan puisi-puisinya, bersandarkan pada kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam pengembaraannya. Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat. Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya memiliki tujuan yang sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan cara menarik perhatian dengan cara istikafus-Shahby[7], cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai seorang wanita yang cantik.

Orang yang mempelajari puisi karya Umru’ al-Qais dengan mendalam, maka akan ditemukan bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti’arah (kata-kata kiasan dan perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab. Walauun terkadang puisi-puisinya juga tidak luput dari perumpamaan yang cabul, tetapi itu tidak mengurangi nilai dalam puisinya, karena bentuk kecabulannya itu tidak terlalu berlebihan, dan perumpamaan semacam itu merupakan kebiasaan dari para penyair Arab.

Secara garis besar bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah mu’allaqat-nya meliputi beberapa tema, antara lain:

  • Mengenai perpisahan seorang sahabat yang membekas dan memilukan, yang menyebabkan air mata bercucuran menyertai kepergfiannya untuk mengembara.
  • Mengenang hari daratul jaljal sebagai cerminan kisah romantis. Tema ini merupakan ungkapan cinta sejati yang tidak mungkin terlupakan. Dan konon tema inilah yang membuat Umru’ al-Qais terpilih menjadi penyair al-Mu’allaqat.
  • Mengenai senda gurau yang diibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur.
  • Mengenai doa untuk kekasihnya Unaizah, sebagai persembahan cinta yang sejati.
  • Mengenai pertarungan untuk merebut idaman hati.
  • Menggambarkan malam dan waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya.
  • Mengenai penderitaan akan kegagalan.
  • Mengenai simbolisasi kuda dengan kecepatan yang luar biasa.
  • Mengenai pengibaratan pemimpin suku Badui dengan kilat dan hujan, sedangkan pengikutnya dengan jurang yang dalam dan pegunungan yang tinggi.

Walaupun pemakaian kata-kata kiasan, pengibaran dengan alam, dan simbolisasinya, tidak hanya didominasi oleh puisi-puisi Umru’ al-Qais, tetapi dilakukan juga oleh para penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi Arab, berpendapat bahwa ialah orang yang pertama kali menciptakan puisi-puisi kontoversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam puisi-puisinya.

Terkadang ia juga berkata vulgar yang mengarah ke pornografi dalam ungkapan-ungkapan komparasi  dan pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula aroma kecerdasan dan kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi kepemimpinannya. Hal itu diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:

فظل العذرى يرتمين بلحمها  ¤  وشحم كهداب الدمقس المفتل

وظل طهاة اللحم من بين منضج  ¤  صفيف شواء أو قدير معجل

 

“Gadis-gadis itu terus melahap dagingnnya dan lemaknya bagaikan kain sutra putih”

“Mereka terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada yang direbus setengah matang”

ولو أن ما أسعى لأدنى معيشة  ¤  كفانى ولم أطلب قليل من المال

ولكنما أسعى لمجد مؤثل  ¤  وقد يدرك المجد المؤثل أمثال

“Seandainya yang kuusahakan ini untuk kehidupan yang rendah, aku sudah kecukupan, dan tak perlu lagi mencari secuil harta”

“Akan tetapi, aku berusaha untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang keagungan sejati itu mampu tergapainya orang-orang sepertiku”

Di bawah ini merupakan contoh puisi Umru’ al-Qais dalam bab Ghazal yang menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di bawah ini[8]:

ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة  ¤  فقالت لك الويلات إنك مرجلى

تقول وقد مال الغبيط بنا معا  ¤  عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل

فقلت لها سيرى وارخى زمامه  ¤  ولا تبعدينى من جناك المعلّل

“Suatu hari ketika aku sedang masuk  ke dalam Haudat[9] kekasihnya Unaizah, maka Unaizah berkata kepadaku: “Celakalah kamu, jangan kamu beratkan untaku”.

“Ketika punggung untanya agak condong ke bawah (karena berat), maka ia berkata kepadaku:  “Turunlah hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan untaku ini”.

“Di saat itu, kukatakan kepadanya: “Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu”.

Penyair ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait puisi di bawah ini[10]:

فلمّا اجزنا ساحة الحىّ وانتحى  ¤  بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل

هصرت بفودى رأسها فتمايلت  ¤  على هضيم الكشح ريّا المخلخل

مهفهفة بيضاء غير مفاضة  ¤  ترائبها مصقولة كالسّجنجل

وجيد كجيد الرئم ليس بفاحش  ¤  اذا هي نصته ولا بمتعطل

وفرع يزين المتن اسود فاحم  ¤  انيث كقنو النخلة المتعثكل

“Ketika kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung”

“Maka kutarik dirinya sehingga ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca”.

“Lehernya jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata”.

“Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang korma”.

Pada bait puisi di atas Umru’ al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya dengan gayanya yang khas, dan gambaran yang seindah itu tidak dapat terlukiskan, kecuali bagi orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah dengan pengalaman yang luas, sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan sesuatu dengan berbagai macam perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.

Contoh lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu kejadian dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar terjadi. Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah ini[11]:

وليل كموج البحر مرخ سدوله  ¤    عليّ بأنواع الهموم ليبتلى

فقلت له لمـّا تمطّى بصلبه  ¤  واردف اعجازا وناء بكلكل

الا ايّها اللّيل الطويل الا انجلى  ¤  بصبح وما الإصباح منك بأمثل

“Di kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan  untuk mengujiku (kesabaranku)”.

“Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya”.

“Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti dengan pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu”.

Pada bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali. Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan contoh dari kepandaian Umru’ al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan. Sehingga seolah-olah itu benar-benar terjadi.

Bait puisinya terkumpul semuanya dalam kasidah mu’allaqat-nya. Mu’allaqat Umru’ al-Qais sangat terkenal dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan Arab. Penyair ini menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk mengabadikan suatu kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya besama sang kekasih Unaizah.

Pada suatu ketika Umru’ al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya itu selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan terbujuk dengan puisi Umru’ al-Qais. Karena itulah, Umru’ al-Qais berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan anak pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu, bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian barulah diikuti kaum wanita dari belakang.

Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata air, Umru’ al-Qais tidak keluar bersama mereka, bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum wanita keluar menuju mata air, maka Umru’ al-Qais keluar mendahului mereka agar dapat sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang terletak di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik batu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.

Ketika rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air Juljul, maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan meletakkannya di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru’ al-Qais yang tengah asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil pakaian mereka semua, dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka keluar dari mata air itu  dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu, semua kaum wanita terkejut dan meminta Umru’ al-Qais untuk mengembalikan pakaian mereka. Namun Umru’ al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat.

Akhirnya, dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul dalam keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan Umru’ al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan ia meminta Umru’ al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui bahwa Umru’ al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan meminta Umru’ al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam kasidah mu’allaqat-nya.

Umru’ al-Qais juga memiliki puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya yang paling terkenal dan menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya, terdapat dalam kumpulan mu’allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:

قفا نبك من ذكرى حبيب ومنـزل  ¤  بسقط اللوى بين الدحول فحومل

فتوضح بالمقراة لم يعف رسمها  ¤  لما نسجتها من جنوب وشمال

“Marilah kita berhenti untuk menangis (mengenang) kekasih dan rumahnya di Siqthi liwa antara Dakhul dan Haumal”

“Tudlih dan Miqrat, bekas-bekasnya belumlah lenyap karema hembusan angina selatan dan angina utara”

Umru’ al-Qais juga memiliki puisi yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata mutiara, seperti yang terdapat di bawah ini:

 

إذا المرءا لم يخزن عليه لسانه  ¤  فليس على شيئ سواه بخزان

فإنك لم يفخر عليك كفاخر  ¤  ضعيف ولم يغلبك مثل مغلب

“Seseorang, bila lisannya tidak dapat memelihara dirinya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat dipeliharanya”

“Sesungguhnya kamu tidak akan dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak akan dikalahkan oleh orang yang berkali-kali kalah”

Dīwan (kumpulan puisi-puisi) Umru’ al-Qais telah mengalami cetakan berulang-ulang. Pertama kali dicetak di Paris pada tahun 1837 M oleh De Slane. Pada tahun 1870 dibukukan kembali oleh Ahlwardt dan pada tahun 1958 Muhammad Abu Fadl Ibrahim bersama lembaga Dār al-Ma’arif Kairo telah mengeluarkan kembali Dīwan Umru’ al-Qais yang baru, yaitu dengan mengambil dari nushah yang ditulis oleh De Slane. Dīwan tersebut meliputi 28 kasidah dengan sarah (penjelasan) Assantamri (riwayat dari orang Kufah)[12].

Hani Bin Qabishah Bin Hani  Bin Mas’ud Asy-Syaibani

Hani bin Qabishah bin Hani bin Mas’ud asy-Syaibani adalah seorang kepala kabilah dari bani Syaiban, yang terkenal dengan keberaniannya pada akhir zaman Jahiliyyah.

Mengenai keberaniannya, suatu hari, ia diminta oleh Raja Kisra dari Persia, untuk memberikan amanat kepada Nu’man bin al-Mandzur, salah seorang Raja Munadzirat di Hira, Irak, tetapi ia menolak. Maka, terjadilah peperangan antara Persia dan Bakr, suku bani Hani, di sebuah tempat dekat Basrah di Irak, yang dikenal dengan perang Dzi Qaar (yaumu Dzi Qaar), dalam peperangan itu suku Bakr memperoleh kemenangan. Di bawah ini adalah pidato Hani kepada kaumnya pada perang tersebut:

“يا معشر بكر, هالك معذور, خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينجى من القدر, وإن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, الطعن فى ثغرالنحور, أكرم منه فى الأعجاز والظهور, يا آل بكر, قاتلوا فما للمنايا من بد”.

“Wahai segenap orang-orang kabilah Bakr, mati dalam medan peperangan lebih baik daripada orang yang selamat dengan lari dari perang. Melarikan diri (ketakutan) tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sesungguhnya kesabaran merupakan salah satu faktor penyebab kemenangan. Kematian bukanlah sebuah kehinaan. Menyongsong kematian (maut) lebih baik daripada menghindarinya. Tusukan di tenggorakan lebih mulia daripada tusukan di leher dan pundak. Wahai keluarga Bakr, berperanglah! Janganlah kalian takut akan mati, karena kematian akan dimana pun akan menghadang kalian”

Aktsam bin Shaifi

Aktsam bin Shaifi dikenal sebagai orator bangsa Arab Jahiliyyah yang paling bijak, ia juga dikenal sebagai seorang yang paling mengetahui silsilah keturunan bangsa Arab. Di dalam orasinya ia banyak menyisipkan kata-kata hikmah dan peribahasa. Pendapat yang dikeluarkan selalu tepat dan argumentasinya kuat. Selain dikenal sebagai seorang orator yang ulung, ia juga sebagai hakim yang dihormati dan disegani.

Aktsam bin Shaifi memiliki kedudukan yang tinggi disisi kaumnya dan termasuk tokoh pemimpin yang dimuliakan, dan juga penguasa pembesar di kalangan mereka. Sangat sedikit pada masanya, orator yang dapat menandinginya dalam keluasan pengetahuan di bidang silsilah keturunan bangsa Arab, dalam penciptaan pribahasa, dan kata-kata hikmah, juga dalam memecahkan berbagai permasalahan, dan dalam keluhuran pemikirannya.

Aktsam bin Shaifi merupakan ketua dari para orator yang diutus oleh Raja Nu’man untuk menghadap Raja Kisra, Persia. Raja Kisra sangat kagum terhadap Aksam, sehingga ia menyatakan: “Seandainya bangsa Arab tidak memiliki lagi orator sepertimu, kamu sendiri pun sudah cukup”.

Aktsam bin Shaifi memiliki usia yang panjang, ia sempat mengalami masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, Ketika ia mendapat berita mengenai di utusnya Nabi Muhammad Saw, ia mengumpulkan kaumnya dan mengajak mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw.

Di dalam pidato-pidatonya, Aktsam jarang menggunakan kata-kata majaz, kalimat-kalimat pidatonya begitu ringkas, padat, merdu, dan mengandung makna yang luas. Pidato-pidatonya juga banyak dihiasi dengan kata-kata mutiara dan pribahasa. Ungkapan orasinya tidak begitu mementingkan persajakan (rima), tetapi lebih cenderung untuk memuaskan pendengarnya dengan argumentasi yang baik  dan bukti. Dia menyandarkan orasinya pada kekuatan pengaruh dan kesan yang ditimbulkan dari kepiawaiannya dalam berorasi. Di bawah ini adalah salah satu contoh orasinya (pidato) yang disampaikan dihadapan Raja Kisra, Persia:

“إن أفضل الأشياء أعاليها, وأعلى الرجال ملوكم, وأفضل الملوك أعمها نفعا, وخير الأزمنة أخصبها, وأفضل الخطباء أصدقها, الصدق منجاة, والكذب مهواة, والشرّ لجاجة, الحزم مركب صعب, والعجز مركب وطئو آفة الرأى الهوى, والعجز مفتاح الفقر, وخير الأمور الصبر, وحسن الظن ورطة, وسوء الظن عصمة, إصلاح فساد الرعية خير من إصلاح فساد الرأعى, من فسدت بطانته كان كالغاص بالماء, شرّ البلاد بلاد لا أمير بها, شرّ الملوك من خافه البرئ, المرء يعجز لا المحالة. أفضل الأولاد البررة, خير الأعوان من لم يراء بالنصيحة, أحق الجنود بالنصر من حسنت سريرته, بكفيك من الزاد ما بلغك المحل, حسبك من شر سماعه, الصمت حكم وقليل فاعله, البلاغة الإيجاز, من شدد نفر, ومن تراخى تألف”

“Sesungguhnya, seutama-utamanya sesuatu adalah yang paling tinggi. Setinggi-tinggi orang adalah raja mereka. Seutama-utama raja adalah yang paling merata kemamfaatannya. Sebaik-baik masa adalah masa yang paling subur (jaya). Seutama-utama orator adalah orator yang paling jujur. Kejujuran adalah penyelamat. Kedustaan adalah lembah kehancuran. Kejahatan adalah berlarutnya pertikaian. Tekad kuat adalah kendaraan yang paling sulit dinaiki. Kelemahan adalah kendaraan yang paling mudah dinaiki. Penyakit berpikir adalah hawa nafsu. Kelemahan adalah kunci kefakiran. Sebaik-baik perkara adalah kesabaran. Baik sangka adalah sesuatu yang menyulitkan. Buruk sangka adalah suatu perlindungan. Memperbaiki kerusakan rakyat lebih baik daripada memperbaiki kerusakan penguasa. Barang siapa yang rusak kawan-kawan dan kroni-kroninya, bagaikan tenggelam dalam air. Seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak memiliki pemimpin. Sejahat-jahat raja adalah raja adalah raja yang ditakui oleh orang-orang bersih. Seorang akan menjadi lemah jika tidak memiliki usaha. Sebaik-baik pembantu adalah orang yang tidak menentang nasihat. Sebaik-baik tentara yang berhak mendapatkan kemenangan adalah tentara yang baik intusi perangnya. Cukuplah bekal buatmu, yang dapat menghantarkan sampai ke tempat tujuan. Cukuplah kejahatan itu, kamu mendengarnya saja. Balaghah adalah ijaz (kata ringkas dan padat makna). Barang siapa yang kasar akan dijauhi orang, dan barang siapa yang ramah akan didekati orang”.

Qus bin Sa’idah Al-Iyadi

Qus bin Sa’idah al-Iyyadi merupakan seorang orator ulung Arab Jahiliyyah dan menjadi idola dalam ke-balaghah-an orasinya, kata-katanya banyak mengandung hikmat dan nasihat-nasihat yang baik. Ia menganut kepercayaan tauhid dan beriman kepada hari kebangkitan. Ia menyeru masyarakatnya untuk menghentikan penyembahan terhadap berhala, dan berusaha membimbing mereka untuk menyembah kepada Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Dia mengorasikan hal itu kepada masyarakatnya dalam berbagai acara dan pada musim-musim pasaran.

Sebagian ahli sastra Arab menyatakan bahwa Qus bin Sa’idah al-Iyyadi adalah orator pertama yang berorasi di tempat yang tinggi, orator pertama yang mengatakan dalam orasinya kata-kata “amma ba’du” (kemudian dari itu/selanjutnya), dan orator pertama yang berorasi sambil bertelekan (memegang) pedang dan tongkat. Masyarakat banyak yang datang kepadanya untuk meminta pengadilan dan penyelesaian terhadap sebuah permasalahan, dan ia pun mampu mengadili mereka dengan pemikiran yang jernih dan keutusan yang tepat.

Qus bin Sa’idah al-Iyyadi juga orang pertama yang mengatakan: “Pembuktian atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkari”. Ia pernah menjadi duta (wakil) yang diutus kepada Kaisar Romawi. Pada suatu ketika Kaisar Romawi bertanya kepadanya:

“Akal apakah yang paling mulia?”

Qus menjawab: “Akal yang membuat seseorang dapat mengenal dirinya”.

Kaisar bertanya: “Ilmu apakah yang paling utama?”

Qus menjawab: “Ilmu yang dapat membuat seseorang melindungi dirinya”.

Kaisar bertanya: “Sifat apakah yang paling mulia dari seorang ksatria?”

Qus menjawab: “Yaitu sifat ksatria seseorang akan mampu mengendalikan air mukanya”.

Kaisar bertanya: “Harta apakah yang paling mulia?”

Qus menjawab: “Harta yang dapat membuat seseorang dapat menyelesaikan hak-haknya”.

Nabi Muhammad Saw sebelum diutus menjadi pernah mendengar Qus berorasi di pasar Ukadz di atas unta yang berwarna kelabu. Beliau Saw begitu mengagumi keindahan kata-katanya dan mengagumi kelurusannya serta memujinya. Qus berusia panjang dan meninggal menjelang Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul.

Kata-kata yang digunakan dalam berorasi begitu selektif, sehingga kesan yang ditimbulkan sangat kuat, jauh dari kesalahan, dan senda gurau. Saja’ (prosa bersajak), pharase-pharase pendek-pendek, selalu muncul secara spontan dalam setiap orasinya. Di antara pidatonya, adalah pidato yang disampaikannya di pasar Ukadz, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shubhi al-A’sya (1: 212), seperti yang terdapat di bawah ini:

أيها الناس, أسمعوا وعوا, من عاش مات, ومن مات فات, وكل ما هو آت آت, ليل داج, ونهار ساج, وسماء ذات أبراجو ونجوم تزهر, وبحار تزحر, وجبال مرساة, وأرض مدحاة, وأنهار مجراة, إن فى السماء لخبرا, وإن فى الأرض لعبرا, ما بال الناس يذهبون ولا يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركوا فناموا؟ يقسم قس بالله قسما لا إثم فيه: إن لله دينا هو أرضى لكم وأفضل من دينكم الذى أنتم عليه. إنكم لتأتون من منكرا”. 

 

“Wahai segenap manusia dengarlah dan sadarlah. Sesungguhnya orang yang hidup itu akan mati. Orang yang mati itu telah berlalu. Segala yang akan datang itu pasti datang. Malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, langit yang berhias bintang-bintang. Bintang gemintang yang berkerlap-kerlip, lautan yang bergelombang, gunung-gunung yang tinggi menjulang, bumi yang menghampar, dan sungai-sungai yang mengalir. Sesungguhnya di langit itu ada kabar berita, dan di bumi itu penuh dengan pengajaran. Bagaimanakah gerangan berita tentang orang-orang yang telah pergi dan tak kembali? Adakah gerangan karena mereka suka dan mereka menetap di sana? Qus bersumpah demi Allah, suatu sumpah yang tidak mengandung dosa: Sesungguhnya Allah memiliki agama yang lebih disukai-Nya buat kalian, dan lebih utama daripada agama yang kalian jalani. Sesungguhnya kalian benar-benar mendatangkan urusan yang mungkar (yang tidak disukai)”.

Diriwayatkan bahwa setelah berorasi itu, Qus mendendangkan Syi’rnya:

فى الذاهبـين الأوليـ  ¤  ـن من القرون لنا بصائر

لما رأيـت مـواردا  ¤  للموت ليس لها مصادر

ورأيت قومى نحوهـا  ¤  تمض: الأكابر والأصاغر

لا يرجع المـاضى إلى  ¤  ولا من الباقين غـابر

أيقنت أنى لا محــا  ¤  لة حيث صار القوم صائر

“Pada orang-orang terdahulu yang telah berlalu pergi berabad-abad silam, kita mendapatkan berbagai pelajaran”

“Ketika kulihat meeka beramai-ramai menuju telaga kematian yang tidak dapa dihindari”

“Da kulihat kaumku pun menuju ke arah sana dengan tidak perduli, mereka yang tua renta maupun mereka yang muda belia”

“Yang telah berlalu tak akan kembali lagi kepadaku, dan sementara mereka yang masih tersisa tak akan pernah tetap berada”

“Aku pun yakin, bahwa tak ayal lagi aku pun pasti berlalu pergi, menuju tempat ke mana kaumku pergi”

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.